Tetanggaku adalah Neraka yang Nyata di Dunia

Tetanggaku adalah Neraka yang Nyata di Dunia
Subtitel: Ngiek Pemotong Kayu dan Misophonia yang Menggila
Sepuluh tahun yang lalu aku menganggap bahwa Squidward Tentacles adalah tetangga payah yang tidak asik. Tepat dewasa kini, aku menganggap justru menganggap bahwa Spongebob dan Patrick adalah tetangga menyebalkan nomor dua di dunia. Ya, nomor dua. Karena tentu saja nomor satunya adalah tetanggaku.
Setelah Papa meninggal pada 2009, lingkungan yang biasanya hormat, mendadak menyepelekan keluarga kami. Tak terkecuali tetangga samping rumahku. Ia membuka bisnis mebel tanpa mengajukan izin. Sejak saat itu, polusi suara menjadi makanan pokok kami. Tak hanya deru mesin, dendang lagu-lagu dangdut yang dimuntahkan speaker raksasa pun turut menggetarkan kaca-kaca rumah kami.
Aku yang saat itu SMP tentu terlalu takut untuk protes. Hari-hari menjelang ujian nasional pun aku habiskan dengan menutup telinga dan setelahnya menangis karena hasilnya buruk tak terkira. “Bajingan! Tetangga bajingan!” tangisku dalam pangkuan Mama.
Puncaknya adalah ketika pandemi Covid-19. Semua kegiatan berporos di rumah. Baik itu kuliah dan pekerjaanku sebagai penulis amatiran. Zoom dan presentasi adalah neraka yang nyata karena tak jarang dosen menegur bahwa suara di belakangku terlalu riuh, sedangkan tiap hari harus pergi ke kafe terdekat untuk kuliah online aku tampu.
Kuliahku gagal. Bising dari mesin pemotong kayu tetanggaku memang hanya salah satu alasan kegagalan itu. Namun, itu cukup signifikan. Sering aku pergi ke tempat sepi seperti Imogiri, namun bising seakan terus berputar di kepala. Ia tak mau pergi ke mana-mana.
Pola tidur pun berubah. Semua menjadi kacau. Aku memilih begadang ketika malam seperti kelelawar dan tidur ketika subuh mulai muncul hanya untuk menghindari mendengar mesin kayu celaka tersebut. Entah paham hustle culture atau tidak, mabel tetanggaku itu kerja 24/7. Bayangkan saja minggu-minggu aku harus mendengar, “Ngieeeek, ngeeeeek, ngiiiieeeek,” sepanjang waktu!
Markus Mueller-Trapet dari Dewan Riset Nasional Kanada melakukan penelitian soal apakah suara bising dapat mempengaruhi kesehatan mental. Jawabannya, ya! Suara tumbukan, seperti langkah kaki, benda-benda yang berjatuhan, gesekan furnitur yang terus menerus dipindahkan, menjadi penyebab peserta merasa sangat terganggu dan jengkel. 
Seseorang bisa mengalami misophonia jika terus mengalami hal yang seperti aku alami. Misophonia adalah gangguan emosi dan fisik yang dipicu oleh suara. Misophonia adalah kelainan neurofisiologis dan perilaku kompleks yang berasal dari multifaktorial dan ditandai dengan peningkatan respons fisiologis dan emosional yang disebabkan oleh intoleransi terhadap rangsangan pendengaran tertentu. Misophonia yang parah bisa membuat seseorang mengalami kecemasan parah jika berada di sebuah lingkungan yang bising. 
Dalam hipotesis penelitian Relation between Noise Pollution and Life Satisfaction Based on the 2019 Chinese Social Survey, masyarakat berstandar pendidikan tinggi kadang memperoleh standar hidup yang lebih tinggi. Dalam tulisan itu menyebutkan, masyarakat yang memiliki pendidikan tinggi memiliki keuntungan dalam membentuk suatu masyarakat sosial yang menyukai suasana “tenang dan damai”. Jika penelitian itu berlangsung di Bantul, daerah sekitar tempat tinggalku, hipotesis itu bisa langsung terbantahkan lantaran tetanggaku adalah orang berpendidikan tetap saja menciptakan lingkungan yang menyeramkan dengan adanya polusi suara dari mesin-mesin pemotong kayu miliknya. 
Menurut penelitian tersebut, perlu mengurai alasan berkurangnya kepuasan hidup bagi kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat yang disebabkan polusi suara. Kepuasan hidup dapat bertautan dengan efisiensi seluruh aspek kehidupan terutama efisiensi kerja. Ketidakpuasan terhadap kehidupan berbahaya bagi individu dan masyarakat. Parah-parah, masalah bising justru berubah menjadi perkelahian. Masalah yang awalnya berkaitan dengan antar-individu, bisa menjalar ke masyarakat. Kasus macam ini pernah terjadi di desa sebelah, juga sama-sama disebabkan suara mesin pemotong kayu dan suara speaker musik para pekerjanya. Lantaran mengganggu karena dekat dengan tempat ibadah, mereka diprotes warga. Sayangnya, kedua belah pihak sama-sama alot dan berakhir dengan perseteruan dalam masyarakat.
Tiap malam aku memikirkan kematian. Aku berpikir, di sana, di ruang tunggu arwah setelah kematian, entah menurut versi agama Islam, Kristen, Hindu, atau penyembah bakwan sekalipun, apakah ada suara mesin kayu? Apakah di surga dan neraka itu berisik? Apakah di sana pada hari minggu juga gaduh?
Tak ada kematian yang membahagiakan, bukan? Namun, jika dipaksa menjawab, aku akan mengatakan bahwa kematian Papaku, John Lennon, dan Hemingway menjadi tiga dari beberapa kematian yang cukup “keren”.
David Chapman, setelah menembak John Lennon dengan peluru yang dimuntahkan Revolver Colt 38 special. Di hadapan jasad “idolanya”, ia dengan santainya membaca The Catcher in the Rye-nya JD. Salinger sembari menunggu pihak kepolisian membekuk dirinya. Sedangkan Hemingway, dengan shotgun 12 gauge laras ganda yang kerap dipakai untuk berburu, menghancurkan batok kepalanya.  
Namun, kematian mereka cukup membuat diriku mengingat bahwa bertahan hidup kadang tidak ada salahnya walau berisik terus memukul-mukul gendang telinga. Aku masih terlampau mencintai Mama dan Kakakku. Belum lagi masih ada gadis yang aku sayangi, One Piece belum tamat, sedang GTA VI masih rilis dua tahun lagi.