Meniru Robin Pecknold, Aku Juga Mau Bilang Thank You So Much Buat Joyland Festival
Jumat sore awan hitam menggantung di langit Senayan, Jakarta Selatan. Ribuan orang sudah memadati Gelora Bung Karno (GBK) Baseball Stadium untuk menghibur diri di Joyland.
Wajah mereka cerah dan semringah membayangkan bisa menonton musisi idola selama tiga hari ke depan bagai bertemu calon pacar. Tapi, perlahan air turun dari langit menemani David Bayu tampil menjelang magrib. Orang-orang berhamburan mencari tempat berteduh. Sebagian tetap menyaksikan mantan vokalis Naif ini tampil sambil mengenakan jas hujan.
Menjelang malam, hujan makin deras. Venue becek. Pertunjukan dihentikan sekejap. “Pertunjukan kami hentikan sementara dikarenakan cuaca yang tidak mendukung. Akan kami lanjutkan lagi setelah hujan berhenti dan memastikan semua perlengkapan aman untuk digunakan kembali. Terima kasih atas pengertiannya,” tulis pengumuman dari promotor lewat layar besar panggung di Joyland Stage dan Plainsong Live Stage.
Tapi untunglah, hujan mereda selepas isya. Festival berlanjut meski sepatu kotor dan banyak penonton nyeker. Dari beberapa orang yang saya temui, tak ada yang mengeluhkan hujan yang membuat festival berhenti. “Ya, namanya juga hujan, datang dari Tuhan, bukan penyelenggara,” kata seorang teman sambil cengengesan.
Hari pertama ditutup dengan penampilan nyaris sempurna dari Fazerdaze, The Last Dinosaurs dan Mew. Demi alasan keamanan, saya lebih banyak menyimpan handphone di dalam tas. Saat mengecek pesan masuk, saya melihat pesan kawan: (ini bisa gak ya screnshoot chat dia dimasukin?)
Teman saya ini namanya Tanya (bukan nama sebenarnya). Ia sudah lama menantikan Fleet Foxes tampil di Indonesia. Akhirnya, penantian Tanya selama 15 tahun terbayarkan. Grup folk indie folk asal Seattle ini sukses memukau para penggemar dengan membawakan banyak lagu jagoannya seperti Can I Believe You, Maestranza, Blue Ridge Mountains dan White Winter Hymnal. Penampilan mereka memukai dari audio maupun visual.
Sayang Robin Pecknold tak banyak bicara selama tampil. Ia hanya mengucapkan, “Thank you so much,” berkali-kali. Tapi tak apa, ia tetap memukau. Apalagi di mata Tanya. Berikut saya bagikan pengakuan Tanya yang cinta mati dengan Fleet Foxes.
(((Ilustrasi Tanya, perempuan berumur 35 tahun)))
Aku lupa kapan pertama mendengarkan Fleet Foxes. Tapi yang aku ingat, lagu pertama mereka yang aku dengerin itu Mykonos. Awalnya gak langsung suka. Tapi makin lama didengerin, aku makin suka. Eh lama-lama jadi suka banget. Kayak misal Third of May / Ōdaigahara, itu ada di album Crack-up (2017), Tapi aku baru dengerin lagu itu dengan khidmat pas 2020.
Kesan pertama saat aku mendengarkan lagu mereka, aku jadi pengin dingin-dinginan di bawah pohon pinus. Waktu itu abis beli headphone baru, Marshall doang sih, tapi ternyata pake headphone itu dengerin FF jadi kayak diguyur siraman rohani, segar sekali. Lalu, kegiatan mendengarkan mereka pas subuh itu jadi semacam ritual sebelum aku mulai meditasi & jurnaling.
Aku admire banget the way Robin compose the lyrics. The level of self awareness di tiap liriknya itu gila bgt. He puts so much wisdom (sotoy) Jadi dengerin FF tuh kayak mengkaji buatku. Perasaanku membuncah bahagia sekaligus ada kesedihan yang gak bisa dijelaskan tiap dengar lagu mereka. Mungkin kesedihan eksistensial yangg ketrigger sama lirik-lirik dan musik mereka.
Buatku, Robin Pecknold itu keberadaannya kayak mitos. Kok ada sih orang sangat bertalenta begitu? Bikin musik bagus, nulis lirik keren, suaranya angelic banget, multi-instrumentalist, manis pula. Lebih jauh, buatku cuma Robin yang bisa nyanyiin lirik sesederhana ‘There’s nothing I can do’ atau ‘I was like trash on the sidewalk’ dan bikin lirik sederhana itu jadi mewah.
Makanya, aku merasa bisa nonton mereka itu rasanya kayak unreal banget. Sampai sekarang aku masih agak gak percaya kalo my whole being udah merasakan langsung vibrasi musik mereka . Masih gak bisa move on dari starstruck sama Robin dan musik FF, apalagi waktu beneran denger my fave lyrics dinyanyiin.
Aku juga ngajak anakku yang baru umur 8 tahun. Dia juga suka Fleet Foxes. Karena kita sering dengerin musik bareng, anakku jadi tau siapa itu FF, Robin Pecknold itu kayak gimana, dll. Dia juga jadi menghapal nama2 personilnya — bahkan ngecek lagu2 ex drummer FF, Josh Tillman a.k.a Father John Misty. Anakku suka banget sama Can I Believe you dan Battery Kinzie. Dia masih pengin banget dengar Battery Kinzie dibawain live.
Awalnya, agak worry dia ngantuk dan cranky, tapi ternyata dia semangat menyaksikan Fleet Foxes. Semua berjalan dengan indah. Malam yang indah menyaksikan idola tampil di Jakarta. Soalnya aku sempat punya impian muluk buat nonton mereka Europe tour tahun depan. Tapi, sekarang uangnya bisa dialihkan nambahin dana pensiun deh. Terima kasih Joyland dan mas Ferry yang bikin mimpiku jadi kenyataan.
Joyland Bikin Senang Banyak Orang Tanpa Harus Gimmick
Kebahagiaan Tanya menyaksikan Fleet Foxes di Joyland Festival juga saya rasakan. Pengalaman menyambangi Joyland ini merupakan kali kedua buat saya. Sepanjang mendatangi festival ini, saya selalu terkagum-kagum dengan kesiapan penyelenggara menyiapkan semua yang dibutuhkan penonton mulai dari daftar penampil, venue yang nyaman, tenant makanan yang membuatmu tak akan kelaparan hingga penampilan lain di luar musik.
Datang ke Joyland Festival rasanya seperti mendatangi pasar malam yang ramah terhadap pengunjungnya. Festival ini juga ramah untuk keluarga. Indikator ramah keluarga ini bukan pepesan kosong, namun dibuktikan dengan fasilitas yang di area festival seperti family dan baby’s room, serta spot stroller untuk bayi dan balita. Tak sampai di situ, aturan no smoking juga diberlakukan di area utama. Maka jangan heran di festival ini kita bisa melihat banyak anak kecil berkeliaran.
Meski sempat hujan di hari pertama, hal itu tak mengurangi nilai dari festival ini. Semua orang seakan sadar jika hujan merupakan sesuatu yang tak bisa dibendung. Yang bisa dilakukan penyelenggara tentu hanya menyediakan tempat nyaman untuk berteduh. Alih-alih marah-marah kepada penyelenggara, orang malah menyiapkan diri dengan membawa jas hujan.
Joyland Festival seakan memberi nyawa lain bagi hype festival musik belakangan, ia membuktikan betapa menyenangkan pertunjukan musik jika baik penyelenggara dan penonton dapat memahami satu sama lain. Sebab dalam waktu ke belakang, tak sedikit kita mendengar cerita pahit soal konser atau festival musik. Mulai dari venue yang over-capacity, penyelenggara yang kurang mumpuni hingga band yang ngambek.
Para promotor ini mungkin melihat penonton hanya sebatas angka belaka, cuma cuan. Mungkin juga promotor ini mengira dengan gimmick mendatangkan band tertentu, para penonton sudah cukup senang. Padahal dengan ongkos besar yang harus dikeluarkan para penonton, penyelenggara harus memikirkan aspek kenyamanan dan keamanan para penonton.
Pertunjukan musik dari skala gigs maupun festival adalah ruang bahagia untuk penonton dan musisi yang tampil. Dalam hal ini, penyelenggara lain harus belajar banyak kepada Plainsong Live yang sukses menggelar Joyland Festival.