The Last of Us Is Right

Bahkan sebelum The Last of Us tayang di HBO, saya tahu bahwa ia berasal dari sebuah game yang sangat populer. Saya masih ingat jelas kira-kira satu dekade yang lalu, teman-teman saya memilih untuk main game ini daripada… beneran ngerjain tugas kuliah. Waktu itu saya tidak ikut main. Saya bukan gamer (jenis game yang saya mainkan adalah yang tidak butuh komitmen seperti Candy Crush atau Tetris). Tapi saya masih ingat visual dan betapa teman saya mengagumi ceritanya.

“Can, ini kayak film,” serunya waktu itu dengan mata berbinar-binar dan bukan karena efek narkoba.

Satu dekade kemudian The Last of Us hadir di HBO dan hampir semua kritik menyebutnya sebagai adaptasi game terbaik sejauh ini. Dua episode sudah dirilis dan sepertinya serial ini akan menjadi the next Game of Thrones (atau the next Stranger Things mengingat Game of Thrones sudah punya anak berjudul House of Dragons). Sejauh ini, The Last of Us memang menggigit. Ia memberikan sentuhan humanis yang sudah ditinggalkan musim-musim terakhir The Walking Dead.

The Last of Us bercerita tentang seorang bapak-bapak extra hot bernama Joel (tidak ada DILF di dunia ini yang lebih tepat casting daripada Pedro Pascal) yang harus mengarungi dunia apocalyptic bersama gadis remaja bernama Ellie (Bella Ramsey, seperti halnya Pascal, Ramsey adalah alumni Game of Thrones). Dalam serial ini, dunia yang kita kenal sudah berubah. Kira-kira dua puluh tahun yang lalu, sebuah wabah misterius muncul yang menyebabkan orang-orang terkena infeksi dan akhirnya berubah menjadi (seperti) zombie. Di episode pertamanya penonton mendapatkan informasi penting bahwa Ellie sepertinya imun terhadap infeksi ini. Ellie sepertinya akan menjadi jalan keluar dari mimpi buruk ini.

Tulisan ini saya buat khususon untuk merespons orang-orang yang bilang bahwa kemunculan Indonesia di serial ini adalah rasis. Atau semacamnya.

Sedikit konteks, dua episode pertama The Last of Us dibuka dengan sebuah prolog yang sangat efektif untuk menunjukkan betapa horornya masa depan dunia dalam karakter serial ini. Episode pertama dibuka dengan acara talkshow seram pada tahun 1968. Topik pembahasannya adalah bahaya apa kira-kira yang akan mengancam manusia. Satu ilmuwan membahas soal sebuah virus seperti influenza yang gampang menyebar (wink wink). Satu lagi membahas soal jamur yang tujuannya untuk mengontrol, yang tentu saja menjadi permasalahan utama The Last of Us.


Episode dua melakukan hal yang sama hanya saja setting-nya di Jakarta. 20 tahun yang lalu, seorang profesor mycology (ahli jamur) bernama Ratna (Christine Hakim), dijemput oleh militer saat makan siang. Kita semua warga Indonesia tahu betapa big deal-nya ini. Bu Ratna kemudian sampai di sebuah tempat untuk meneliti jamur yang sampelnya dari manusia dan kemudian jasad. Penemuan Bu Ratna begitu mengguncang sampai ia menyarankan Pak Agus (Yayu Unru) yang menjemputnya untuk mengebom seluruh kota.

Begitu episode ini rilis (dan tentu saja cuplikan adegannya bertebaran di seluruh media sosial) banyak orang berteriak. Tidak sedikit orang yang merayakan ini bahwa Christine Hakim dan Yayu Unru hadir dalam serial yang satu rumah dengan Succession. Tapi banyak juga warga internet yang mengolok-ngolok keputusan ini. Banyak yang bilang rasis entah karena color grading-nya (Jakarta warnanya kuning seperti kebanyakan gambaran Hollywood atas negara dunia ketiga) atau juga karena mungkin hanya negara dunia ketiga yang bisa menjadi tuan rumah parasit.

Saya tidak bisa membela soal pilihan color grading karena itu keputusan kreatif sutradaranya. Tapi soal poin kedua? Saya sangat percaya bahwa Indonesia bisa banget jadi rumah parasit.

Kalau kalian tidak ingat, mari kita flashback ke awal 2020 ketika COVID-19 masih di depan pintu. Ingat bagaimana reaksi para politikus kita? Ingat bagaimana respons orang-orang yang bertanggung jawab atas nasib orang banyak itu? Ada menteri yang bercanda bahwa orang Indonesia tidak akan mungkin tertular karena kita gemar makan nasi kucing. Ada juga mantan menteri yang bilang cara mencegah penularan adalah dengan “jangan panik, enjoy aja.”. Orang yang sama bahkan bilang bahwa penelitian Harvard soal kemungkinan Indonesia tertular juga tidak valid. Ada juga yang bilang pandemi tidak akan masuk karena soal perizinan yang susah.


The Last of Us memang produk fiksi tapi melihat bagaimana politikus-politikus kita bereaksi, sangat make sense kalau penyebaran virusnya wolrdwide karena saya yakin sekali kalau jamur yang dimaksudkan serial ini benar-benar bisa hidup di manusia, kita hanya bisa menghitung hari.

Masih ada delapan episode The Last of Us dan saya tidak yakin kalau Indonesia akan dibahas-bahas lagi mengingat serial ini masih punya banyak cerita yang harus diceritakan. Tapi pembukaan episode dua The Last of Us lumayan membuat saya kepo untuk melihat apa yang terjadi dengan outbreak awal di Jakarta. Bayangkan kemacetan Jakarta dengan zombie? Pasti sungguh seru. Dan karena ini HBO, mereka pasti punya resource untuk merealisasikannya.

The Last of Us dapat disaksikan di HBO Go