Tidak Ada Kata 'Mati' Untuk Godzilla

Subtitle: Ulasan film Godzilla x Kong dan masa depan Monsterverse.

Film Godzilla x Kong: The New Empire, berlatar 3 tahun setelah Godzilla dan Kong bertumbuk dan menangkal ancaman dari MechaGodzilla di film Godzilla vs Kong (2021). Manusia kini mulai beradaptasi dengan keberadaan monster raksasa, yang di film ini disebut sebagai titan. Godzilla menjadi ‘penjaga’ permukaan bumi dari titan-titan nakal yang membuat kekacauan. Sementara itu, Kong menetap di Hollow Earth, dunia lain yang ada di bawah kerak bumi, di mana monster-monster berkeliaran.

Kedamaian relatif ini (dengan kerusakan properti dan korban jiwa tipis-tipis) terusik setelah Monarch, organisasi yang berfokus dalam penelitian soal titan dan penangkalannya, menerima sinyal yang tidak teridentifikasi dari Hollow Earth. Sinyal ini membuat Godzilla mulai menyerang Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan titan lain untuk menambah kekuatannya. Sinyal ini juga membuat Jia (Kaylee Hottle), anggota terakhir suku Iwi yang memiliki hubungan dengan para titan, mendapatkan semacam halusinasi yang membuat ibu tirinya, Dr. Ilene Andrews (Rebecca Hall), merasa khawatir.

Setelah tidak berhasil menemukan jawaban soal sinyal ini, Dr. Ilene Andrews, peneliti ternama dunia mengenai Kong, meminta bantuan dari Bernie Hayes (Brian Tyree Henry), podcaster konspirasi titan. Untungnya berkat bantuan anggota Discord-nya, Bernie menemukan bahwa sinyal ini merupakan sinyal SOS dari Hollow Earth. Demi mengungkap misteri ini, Ilene, Jia, Bernie, Mikael (Alex Ferns) dan Trapper (Dan Stevens) pun berkelana ke Hollow Earth, tanpa tahu bahwa Kong telah membuka portal ke area baru Hollow Earth yang belum terbuka sebelumnya.

Film Godzilla x Kong: The New Empire adalah film kelima dari franchise Monsterverse, dunia di mana manusia hidup di antara monster-monster. Awalnya, Legendary Entertainment hanya berniat untuk melakukan reboot Hollywood untuk Godzilla di tahun 2014. Tapi kemudian Legendary Entertainment akhirnya menciptakan franchise Monsterverse setelah mendapatkan lisensi untuk King Kong dan karakter monster dari Toho seperti Mothra, Rodan, dan King Ghidorah.

Berbeda dengan film-film awal dimana niatan untuk memusnahkan titan masih menjadi subplot, di film ini eksistensi titan cenderung dianggap sebagai hal yang ditolerir. Manusia masih memantau aktivitas titan ini, tapi cenderung memitigasi kerusakan alih-alih berusaha menghentikan mereka. Perubahan ini sudah mulai terlihat sejak Godzilla: King of Monsters (2019), dimana beberapa titan seperti Godzilla dianggap sebagai penjaga keseimbangan bumi.

Dari sinopsis film Godzilla x Kong di atas sebetulnya kita sudah bisa melihat bahwa ini bukanlah tipe film yang ditonton untuk plot, tapi untuk melihat monster raksasa gebuk-gebukan. Pada akhirnya, inilah yang menjadi hidangan utama tipe-tipe film seperti ini.

Di franchise Godzilla sendiri, memang ada film-film yang berusaha untuk membawa tema yang lebih serius seperti film OG Godzilla tahun 1954. Godzilla Minus One (2023), misalnya, membawa kembali hakikat Godzilla sebagai alegori bom nuklir. Sementara itu, Shin Godzilla (2016) membawa tema kerentanan rakyat di bawah pemerintahan yang tidak transparan ketika menghadapi bencana.

Tapi pada akhirnya ketika monster ini menjadi tokoh utama dari franchise film, formula paling efektif di box office adalah membuat mereka baku hantam di skala yang semakin besar. Ini bukan hanya ulah Hollywood—dari franchise Godzilla masih dipegang Toho pun sudah dilakukan. Tepatnya sejak film ke 3, King Kong vs Godzilla (1962). Secara plot memang cenderung lebih dangkal, tapi toh, masih efektif dalam menarik penonton. Hal ini pula yang dilakukan oleh Monsterverse. Buat apa mengubah formula kalau yang sudah ada saja terbukti efektif?

Walau menjadi fokus sekunder, bukan berarti drama manusia dalam Monsterverse menjadi tidak relevan. Peran para manusia seperti Ilene Andrews dan Jia masih penting sebagai alat eksposisi untuk menjelaskan sekaligus mendorong plot. Di film ini misalnya, Jia memiliki peran sebagai penerjemah Kong. Para staf Monarch juga menjelaskan motif Godzilla supaya dia tidak terlihat seperti monster tantrum dengan kebencian terhadap orang Eropa belaka.

Di film ini, saya rasa drama manusia yang diberikan lebih baik daripada film sebelumnya seperti Godzilla: King of Monsters atau Godzilla vs Kong. Paling tidak, di film ini saya tidak merasa pembuat skripnya sedang menghina kecerdasan saya, seperti ketika saya melihat ekoteroris tobat karena melakukan hal bodoh atau Mechagodzilla konslet karena ruang kontrol disiram air. Momen-momen cheesy aneh itu masih ada sih di film ini. Bagaimana podcaster teori konspirasi yang tidak terkenal bisa ikut ke Hollow Earth juga sulit dinalar—tapi ini mungkin karena saya overthinking saja. 

Tapi relasi antara Ilene dan Jia memperkuat tema found families, mengingat Kong pun memiliki subplot di mana dia menjadi bapak adopsi Suko. Rebecca Hall dan Kayle Hottle patut mendapat pujian atas keberhasilan mereka untuk membuat skrip jelek menjadi tontonan yang cukup. 

Saya tidak ada masalah dengan drama manusia, bagaimanapun perspektif manusia adalah hal yang membuat destruksi dan perkelahian antar monster ini memiliki makna. Kenapa penting untuk menghentikan Skar King ke permukaan bumi? Karena dia bisa menghancurkan dunia manusia. Kenapa kita perlu khawatir melihat Godzilla mencari power up? Karena ancaman yang diantisipasi bisa menghancurkan dunia manusia.

Drama manusia inilah yang membuat konsekuensi dari gebak-gebuk monster ini bermakna. Sayangnya, konsekuensi itu tidak terlihat di film ini. Manusia seakan memasrahkan kehancuran yang terjadi akibat pertempuran titan. Ketika ini diabaikan, akhirnya film Monsterverse jadi tereduksi menjadi sekedar pertunjukan monster bergulat.

Tapi kalau boleh jujur, sebetulnya pertunjukan monster bergulat pun bukan konsep yang buruk. Orang-orang datang untuk menonton ini, jadi bukankah memberikan apa yang penonton mau adalah langkah yang tepat. Saya pribadi sih akan mau saja menonton 2 jam monster bergulat, dengan catatan bahwa itu adalah pertunjukan yang bagus.

Pertanyaannya, apakah adegan aksinya bagus?

Dari segi sinematografi, banyak hal baik yang bisa kita lihat di adegan actionnya. Adegan aksinya terlihat epik dari segi skala. Adegan aksi di Hollow Earth juga menarik dengan segala kekacauannya. Dari segi teknikal, yang bisa saya beri catatan hanya bagian sound effect-nya yang tidak sesuai dengan skala dari aksi yang terjadi.

Di sisi lain, saya merasa bahwa adegan aksi di Godzilla x Kong juga tidak optimal. Apabila pertempuran antar titan ini adalah hidangan utama dari film ini, ada beberapa hal yang seharusnya bisa dilakukan lebih baik lagi, terutama di adegan klimaks yang menurut saya kurang. 

Ada Tokusatsu Dalam Koreografi Godzilla vs Kong

Hal menarik yang saya perhatikan dari menonton film franchise Godzilla ini adalah penggunaan formula tokusatsu. Entitas dari properti intelektual berbeda bertemu, menghadapi konflik kecil satu sama lain, lalu akhirnya bersatu melawan Si Besar Jahat. Untuk menghadapi ancaman besar ini, entitas-entitas ini mendapatkan kekuatan baru yang akan mengubah design mereka (supaya ada merchandise yang bisa dijual) lalu mengakhiri pertempuran dengan jurus terkuat baru.

Godzilla dengan model pink dan Kong dengan sarung tangan besi menjadi bagian dari ‘kekuatan baru’ yang membuat adegan aksi lebih menarik. Penonton ingin tahu sejauh apa kekuatan mereka berkembang. ‘Power up’ ini terlihat lebih kentara untuk Kong karena kita bisa melihat dampak dari kekuatan barunya. Gigi Skar King yang mental karena pukulan Kong menjadi visual yang mengesankan.

Di sisi lain, sulit untuk mendapatkan kesan kekuatan baru Godzilla versi pink. Selain warnanya yang berubah, tidak ada perubahan berarti dibandingkan dengan godzilla sebelumnya. Atomic breath-nya masih berbahaya, sama saja seperti dulu. Satu-satunya penanda bahwa dia semakin kuat mungkin hanya kemampuannya untuk bisa mengimbangi Shimo, titan yang memiliki badan lebih besar daripada Godzilla.

Jika dibandingkan dengan Burning Godzilla di Godzilla: King of Monsters atau ketika Kong mencincang Mechagodzilla seperti samcan dengan kapak yang mendapat kekuatan atomic breath Godzilla, klimaks pertempuran melawan Skar King terasa mengecewakan. Padahal di formula film tokusatsu akhir pertempuran biasanya menjadi klimaks terpenting. Protagonis mengakhiri ini dengan serangan terkuatnya, yang biasanya didapatkan dari power up terbarunya. Tapi serangan yang mengakhiri Skar King justru diberikan oleh Shimo.

Wingard mungkin merasa bahwa Skar King yang bertemu ajalnya dari Shimo, titan yang dia perbudak, mungkin dianggap sebagai katarsis yang cukup baik sebagai akhir pertarungan. Sayangnya, secara visual tidak terlihat wow dan diperburuk dengan narasi yang kurang memuaskan. Ini karena film mengabaikan pentingnya membangun karakter antagonis sebagai ancaman.

Skar King muncul di Godzilla x Kong sebagai karakter antagonis terbaik di semesta Monsterverse sejauh ini. Tidak seperti karakter monster antagonis lain, dia memiliki kepribadian. Dia menunjukan tendensi haus kekuasaan, berperilaku kejam, memiliki kecerdasan, dan bahkan bisa memperolok Kong.


Masalahnya, di pertemuan pertamanya dengan Kong, dia tidak kelihatan sebagai ancaman. Kong bisa mengalahkannya dalam duel satu lawan satu. Skar King baru bisa mengalahkan Kong setelah dia memanggil Shimo.

Kalau di pro wrestling, sebelum konflik antara kedua pegulat atau lebih mencapai puncaknya di acara utama, ada sebuah proses di mana semua pegulat yang terlibat perlu terlihat kuat. Caranya bagaimana? Caranya dengan membuat para pegulat di main event untuk mengalahkan pegulat lain, yang dikenal sebagai jobber. Karena mereka punya pekerjaan (job) untuk membuat pegulat lain kelihatan kredibel.

Ketika Godzilla mengalahkan Scylla dan Tiamat, mereka membuat Godzilla terlihat kuat. Begitu juga ketika Kong mengalahkan Drow Viper. Karakter protagonis mendapat porsinya, tapi cuma Shimo yang berhasil mendapat sedikit kredibilitas setelah mencederai tangan Kong. Hal ini tidak berlaku untuk Skar King.

Akhirnya, di pertempuran terakhir, rasanya sulit untuk membayangkan Skar King sebagai lawan sepadan untuk Godzilla dan Kong. Jika kita bandingkan dengan King Ghidorah misalnya, dia mengalahkan Rodan sebelum bertarung dengan Godzilla. Dia bahkan berhasil membuat Godzilla hampir menemui ajalnya. Bahkan, bisa dibilang Mechagodzilla dengan waktu yang lebih sedikit lebih terlihat sebagai ancaman daripada Skar King.

Masalah terbesar dari ending ini adalah kurangnya pembangunan Shimo sebagai karakter. Penggemar pro-wrestling tentu tahu bahwa perubahan karakter dari jahat ke baik atau sebaliknya (turn face/heel) bisa menjadi katarsis yang seru. Tapi pertama-tama, penonton perlu peduli dengan karakter tersebut. Penonton mungkin sudah ‘peduli’ dengan nasib Skar King. Dia sudah digambarkan sebagai karakter bengis dan memperbudak Shimo dan kaum kera raksasa. Tapi bagaimana dengan Shimo?

Iya, dia digambarkan merasakan sakit dan terpaksa membantu Skar King, tapi penonton tidak mendapatkan cerita yang cukup untuk peduli secara khusus terhadap Shimo. Si Kong mini, yang secara resmi dinamakan Suko, melalui lebih banyak hal untuk bisa menjadi simbol perlawanan terhadap perbudakan Skar King. Dia tidak hanya menunjukan ketakutan sangat besar kepada Skar King, Skar King juga menendang kera titan yang melindunginya ke lava. Tapi status Shimo di film ini adalah titan dengan semburan es yang entah kenapa bisa dikontrol dengan kristal. Selesai.

Ini tentu sangat disayangkan karena Skar King adalah tokoh antagonis terbaik di Godzilla secara karakter. Standarnya memang rendah, mengingat Skar King mungkin adalah antagonis pertama yang memiliki penokohan yang tidak menyedihkan di Monsterverse. Tidak seperti antagonis lain, dia memiliki motif dan kepribadian. Tapi tentu dia bukannya tanpa masalah

Kalau kita kembali lagi kepada pro wrestling, Skar King adalah tokoh antagonis (heel) yang baik, kelakuannya membuat penonton ingin melihat kehancurannya. Permasalahannya, sebagai Heel, dia tidak dibangun sebagai karakter yang kelihatan seperti ancaman. Heel-heel di pro wrestling biasanya membangun ‘kredibilitas’ dengan mengalahkan wrestler-wrestler lain. Dengan kemenangan ini, si heel ini mendapat imaji kalau dia adalah lawan yang kuat.

Sebelum pertarungan terakhir, kita bisa melihat bahwa Skar King punya gaya bertarung yang lebih lincah dan cepat daripada Kong. Di pertarungan ini, Kong kelihatan bisa mengalahkannya sebelum akhirnya Skar King bisa memanggil Shimo. Masalah dari plot ini adalah Skar King tidak terlihat kuat tanpa Shimo dan ini menjadi masalah ketika Skar King menjadi Big Bad.

Jika kita bandingkan dengan Mechagodzilla misalnya, air time dari MechaGodzilla jauh lebih sedikit dari Skar King, tapi dia kelihatan seperti ancaman kredibel setelah berhasil menghajar Godzilla dan Kong secara bersamaan. Adegan di mana Godzilla babak belur oleh MechaGodzilla menciptakan kredibilitas sebagai Big Bad. Skar King memiliki kesempatan lebih banyak, tapi ini tidak dimanfaatkan dengan baik.

Mungkin penulis skrip dan Adam Wingard, sutradara film Godzilla x Kong, merasa bahwa kredibilitas Skar King bisa dibangun dengan eksposisi semata. Dari penjelasan di film kita mendengar bagaimana dia adalah musuh Godzilla di masa lampau. Kita juga ditunjukan bagaimana Skar King mampu menguasai kera raksasa lain. Tapi pada akhirnya, di film aksi seperti ini, bagaimana dia menunjukan kekuatannya di pertarungan menjadi bagian terpenting untuk membangun kredibilitasnya.


Jika pertarungan antar titan ini adalah pertunjukan utamanya, maka Godzilla x Kong membangunnya dengan tidak baik. Efek visual yang megah mungkin membuat ini masih menarik, tapi ada kesempatan yang terlewat yang seharusnya bisa membuat pertunjukan ini bisa lebih seru.

Masa Depan Monsterverse

Monsterverse belum mengumumkan keberadaan sekuel untuk Godzilla x Kong. Jika kita melihat kesuksesan komersil franchise ini, rasanya sulit untuk membayangkan Legendary akan berhenti membuatnya. Skala Monsterverse masih belum sebesar film-film Godzilla dari Toho dahulu seperti Godzilla: Final Wars (2004) atau Destroy All Monsters (1968). Tapi skala saja bukan penentu sukses dan film dengan skala epik ini malah tidak cukup laku untuk bisa untung. Pada akhirnya, kualitas cerita yang buruk dan fokus terlalu banyak kepada pertarungan antar monster ini bisa berpengaruh kepada kemampuan film untuk mendulang profit.

Masalah dari melanggengkan kesuksesan franchise film adalah kemampuan untuk menyeimbangkan kualitas yang diinginkan core audience dan penonton baru. Penonton yang memang adalah fans Godzilla atau Kong menginginkan perkembangan konstan dari film ke film. Cerita yang lebih menarik, pertarungan yang lebih seru, skala yang lebih besar. Di sisi lain, penonton baru ingin langsung menonton film terbaru tanpa merasa tersesat.

Tentu hal ini akan semakin sulit dicapai seiring dengan bertambahnya film Monsterverse baru. Pembangunan semesta semakin kompleks dan menjelaskan status quo untuk penonton baru akan membuat penonton lama merasa bosan. Di sisi lain, ketika film baru bergantung kepada cerita di prekuel, penonton baru akan kebingungan.

Saya pribadi merasa bahwa selama pertarungan antar titan ini dibuat dengan baik, maka penonton masih akan tetap datang. Kong dan Godzilla sudah membangun fanbase yang cukup besar. Beberapa fans garis keras mungkin tidak menyukai arah karakter Godzilla dan Kong yang lebih komikal. Tapi toh ini terbukti populer. Adegan Godzilla tidur di Colloseum viral di mana-mana. Walaupun saya pribadi agak terkejut tidak banyak orang membahas bagaimana Kong bisa mengalami sakit gigi.


Film tidak harus memiliki plot kompleks atau menjadi semacam alegori untuk hal yang lebih dalam untuk menjadi sukses, film hanya perlu bisa menghibur penonton. Secara inheren, monster raksasa bergulat di tengah kota adalah konsep menarik, membuat satu film menghibur dari ini bukan hal sulit. Yang lebih sulit adalah ketika beberapa film menghibur dari konsep yang sama. Monsterverse bisa melakukannya di 5 film, apakah mereka bisa melakukannya lagi dan lagi tanpa membuat penonton jenuh?