Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, adalah presiden yang gemar membuat pernyataan-pernyataan yang enak dikutip. Sampai-sampai, pidato-pidatonya yang disampaikan secara gempar dan dramatis itu dicacah-cacah para fanboy dan dijadikan kutipan motivasional sampai sekarang. Nukilan pidato Bung Karno kerap jadi slogan yang dilekatkan dalam berbagai konteks masa kini. Salah satunya adalah perkara “mental tempe”.
Konon, Sang Presiden pernah bersabda seperti berikut ini:
"Kami menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak jadi bangsa yang hidup hanya dari 2,5 sen sehari. Bangsa yang kerja keras, bukan bangsa tempe, bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita-cita."
Mendengar pidato Bung Karno yang gegap gempita, orang mungkin langsung membuang tempe yang terhidang di meja makannya. Ih, gengsi banget. Malu-maluin punya hubungan dengan tempe. Makanan orang miskin.
Namun, tujuh dekade setelah itu, tempe terbukti memiliki berbagai kualitas yang harusnya dibanggakan oleh orang Indonesia. Apa saja sih kualitas mental jempolan yang terwakili oleh tempe? Berikut adalah paparannya.
1. Sebenar-benarnya J̶a̶w̶a̶ Indonesia
Narasi tentang asal-usul tempe yang paling populer di dalam negeri adalah narasi yang membuat kita membusungkan dada dengan bangga: tempe adalah makanan asli, paten, seratus persen original Indonesia.
Tidak seperti makanan dengan bahan baku kedelai lain yang biasanya berasal dari Cina atau Jepang, tempe diyakini berasal dari Nusantara, tepatnya dari tanah Jawa.
Tempe disebutkan di Serat Centhini, sebuah manuskrip yang ditulis di awal abad 19. Dalam bab 3 dan bab 12 manuskrip tentang tata peradaban Jawa abad 16 tersebut, kata “tempe” ditemukan dalam penyebutan hidangan jae santen tempe dan kadhele tempe srundengan. Hal ini, juga jika merujuk pada catatan sejarah lain, menunjukkan bahwa tempe sudah dikenal di Jawa pada abad 16 dan dibuat dari kedelai hitam, dan mungkin dikembangkan di daerah Mataram, Jawa Tengah, atau di wilayah yang sekarang dikenal dengan Yogyakarta.
Satu kamus bahasa Jawa-Belanda dari tahun 1875 menyebutkan bahwa pembuatan tempe diawali semasa era Tanam Paksa di Jawa. Saat itu masyarakat Jawa terpaksa menggunakan tanaman yang asal tumbuh di pekarangan seperti singkong, ubi, dan kedelai sebagai sumber pangan. Kedelai kemudian difermentasi menggunakan kapang Aspergillus. Teknik pembuatan tempe ini kemudian menyebar ke seluruh Nusantara, dibawa oleh arus migrasi orang Jawa.
Sayangnya, catatan tentang sejarah tempe memang sangat minim. Rupanya orang Keraton, seperti halnya Bung Karno, terlalu adiluhung untuk makan tempe. Tempe dianggap sebagai makanannya wong cilik yang tidak pantas direkam sejarah.
Kini, para peneliti dalam negeri bersikeras orang Jawa sudah makan masakan kedelai hitam, spesies kedelai yang asli Indonesia, sejak abad 12. Tempe mungkin baru dikembangkan dengan kedelai putih setelah Cina datang memperkenalkan spesies baru ini kepada orang asli.
Ngomong-ngomong, ada juga argumen yang mengatakan bahwa tempe sebenarnya diperkenalkan oleh orang Cina, dan merupakan hasil sampingan dari tahu —makanan asal Cina yang dibuat dari kedelai putih dengan cara pengolahan yang lebih rumit, sehingga sering dianggap sebagai makanan ningrat. Namun, demi kepentingan nasional (baca: mendongkrak rasa bangga akan produk dalam negeri) mari kita abaikan saja teori ini.
2. Tinggi gizi, rendah emisi
Pada zaman revolusi, tempe diasosiasikan dengan makanan orang susah. Maka tentu saja Bung Karno melihat orang-orang yang makan tempe sebagai orang-orang yang lemah, malas, dan gampang menyerah. Bung Karno gagal melihat bahwa ciri-ciri tersebut adalah ciri-ciri orang yang terlalu lama digerus kemiskinan, kegagalan, dan sistem yang korup—bukan ciri-ciri pemakan tempe.
Di luar negeri, kedelai juga diasosiasikan sebagai makanan orang lemah. Para karnivor homofobik bahkan menciptakan istilah “soy boy” untuk merujuk ke cowok-cowok lemah berotot mleyot yang kurang maskulin. Istilah ini berasal dari teori sumir bahwa phytoestrogens yang terkandung dalam produk kedelai dianggap meningkatkan hormon estrogen dan mengganggu produksi testosteron—sehingga orang yang makan produk kedelai dianggap kurang lakik dibanding mereka yang makan daging.
Padahal, tempe boleh jadi unggul atau paling tidak setara dalam soal gizi jika disandingkan dengan daging sapi. Malah, tempe lebih rendah lemak jenuh dan garam, serta tinggi serat dan kalsium.
Tempe juga empat kali lebih hemat energi untuk produksi, dan 20 kali lipat lebih hemat emisi gas rumah kaca, dengan harga yang jauh lebih murah daripada daging sapi. Menurut Our World in Data pada 2018, untuk menghasilkan 1.000 kilokalori daging sapi, peternak harus membabat lahan seluas 119,49 meter persegi. Bandingkan dengan 1.000 kalori kacang-kacangan, termasuk kedelai, yang hanya butuh 2,11 meter persegi lahan. Selain itu, 1 kilogram daging sapi bertanggungjawab atas emisi gas sebesar 99,48 kgCO2eq, sementara 1 kilogram kacang-kacangan hanya menghasilkan 0,43 kgCO2eq.
Mengairi lahan kedelai juga lebih hemat air dibandingkan memberi minum sapi. Untuk 1 kilokalori daging sapi dibutuhkan 10,19 liter air, sementara satu kilokalori kacang-kacangan hanya dibutuhkan 3,63 liter air.
3. Tangguh dan serba bisa
Ngomong-ngomong soal tempe, kita akan membayangkan satu papan kedelai putih i̶m̶p̶o̶r̶ yang ditumbuhi jamur. Padahal, tempe bisa dibuat dari kacang-kacangan selain kedelai putih, yakni kacang koro (tempe benguk), kacang lamtoro (tempe mlanding), kecipir, kacang hijau, kacang merah, kacang tanah, dan kacang gude. Tempe juga bisa dibikin dari ampas produksi makanan lain, misalnya tempe gembus yang dibuat dari ampas tahu, dan tempe bungkil yang terbuat dari ampas kacang tanah. Warga miskin Banyumas dulu makan tempe dari ampas kelapa, yang disebut tempe bongkrek. Sayangnya, hidangan ini berangsur menghilang karena sering terjadi keracunan bongkrek yang menyebabkan kematian. Sastrawan Ahmad Tohari menulis tentang pageblug keracunan bongkrek di desa miskin yang dilanda kelaparan dalam bukunya Ronggeng Dukuh Paruk, sebuah presentasi sastrawi yang menunjukkan bahwa mati akibat makan bongkrek adalah sehina-hinanya tewas sebagai wong cilik. Kamu orang kaya dan pengen makan tempe? Silakan bikin tempe pakai kacang edamame!
Selain bahan bakunya yang bisa pakai apa saja, tempe juga bisa diolah jadi berbagai macam hidangan lezat yang pantas menghiasi meja pesta para baginda. Dari oseng-oseng sampai keripik, dari tempe balok sampai sayur lodeh, dari tempe mendoan sampai isian arem-arem, tempe bisa menjelma jadi apapun yang bikin lidah menari.
5. Warga Dunia yang Kosmopolitan
Selain bangga akan buatan dalam negeri, orang Indonesia juga bangga jika warganya bisa sukses di luar negeri dan diakui negara adidaya. Tempe, sebagai putra daerah unggulan, berhasil melakukan itu.
Masyarakat yang terobsesi hidup sehat cepat menyadari bahwa makanan plant based yang dimakan orang miskin untuk bertahan hidup ternyata adalah superfood dengan kandungan gizi mantap. Sebagai makanan plant based dengan metode fermentasi, tempe pun naik kelas di mata dunia dengan label sehat yang tidak bisa diganggu gugat.
Di tahun 1970an, tempe dibawa ke Amerika Serikat oleh komunitas spiritual hippie vegan bernama The Farm, yang berpusat di Tennessee. Sejak itu, banyak percobaan untuk mengembangkan tempe starter kit lengkap dengan instruksi bagaimana cara membuat tempe sendiri di rumah, salah satunya usaha penelitian di Perpustakaan NIH, Washington DC, terutama tentang bagaimana mengembangkan spora tempe di iklim yang berbeda dari Indonesia. Di tahun 1980an, tempe dianggap wonder food oleh komunitas wellness di Amerika Utara, Eropa, dan sebagian wilayah Asia, terutama Jepang.
Tempe masih dianggap primadona bagi komunitas vegan, terutama mereka yang ingin makan daging bohongan. Pacific Foods di San Francisco mengembangkan Tempeh Burger, yang kemudian menjadi cikal bakal karir tempe menjadi daging bohongan. Di kemudian hari, tempe dioleh menjadi steak tempe, tempe jerky, bahkan bacon tempe!
Jalan tempe ke kancah makanan sehat dunia makin terang, sampai-sampai diramalkan permintaan pasar dunia untuk tempe akan mencapai US$5.8 milyar di tahun 2026. Sebuah kesempatan gemilang untuk menghasilkan pundi-pundi bagi para penghasil tempe di Indonesia.
Suck it up, Bung Karno!
Maka, janganlah kita malu jika dibilang punya mental tempe. Justru, kita harus bangga jika dianggap punya karakter-karakter serupa tempe.
Tegakkan dagumu, tetap injak-injak kedelai itu.