Tiga Dekade Belanja Alutsista Indonesia
“Perang memang tidak populer. Tetapi ini kuncinya. Bangsa-bangsa dan negara yang tidak siap perang, nasibnya selalu dijajah orang lain. Ini pelajaran sejarah.”
Itu bukan kalimat dari Sun Tzu atau Thucydides, dua sosok yang barangkali lekas terbesit di benak Anda ketika membaca petuah soal perang. Itu adalah penggalan pidato Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada 9 Juli 2021 lalu.
Alat utama sistem senjata (alutsista) adalah salah satu komponen penting untuk mempersiapkan perang. Invasi Rusia ke Ukraina pun telah memperlihatkan bahwa alutsista berteknologi canggih berperan sangat penting dalam perang modern.
Rusia mustahil bisa mendesak Ukraina dengan cepat tanpa strategi pemboman strategis menggunakan misil jarak jauh. Ukraina pun mustahil bertahan lebih lama tanpa kekuatan drone yang mampu mengintai dan menyerang pasukan Rusia dari kejauhan.
Dalam tiga dekade ke belakang, Indonesia juga berusaha memodernisasi alutsista. Ketergantungan pada impor senjata membuat postur pertahanan negeri ini berubah seiring waktu sesuai kerjasama bilateral dengan negara importir.
Selama masa Orde Baru, Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu pemasok alutsista Indonesia. Di pengujung Orde Baru, AS mengembargo senjata Indonesia. Akibatnya, TNI kesulitan mendapatkan suku cadang dan perawatan di hampir semua kendaraan tempur buatan AS. Misalnya, jet tempur F-16 andalan TNI-AU harus mangkrak sampai AS mencabut embargo pada 2005.
Menyikapi kebijakan tersebut, Indonesia berusaha tak lagi ketergantungan kepada AS. Indonesia menjalin kerja sama perdagangan senjata dengan lebih banyak negara lain. Termasuk dengan negara tanpa hubungan diplomatik, seperti Israel.
Pada 2003, sebagaimana catatan SIPRI, Indonesia membeli dua unit jet tempur Sukhoi SU-27 dan dua unit Sukhoi SU-30 lengkap dengan rudal pendukungnya. Indonesia pun bekerja sama dengan Korea Selatan mengembangkan pesawat tempur KF-21 Boramae yang ditargetkan rampung pada 2025. Dari Israel, Indonesia membeli pesawat pengintai bernama Searcher.
Hasilnya postur pertahanan Indonesia lebih terdiversifikasi. Pada kurun 1990-2000 terdapat 12 negara pemasok senjata ke Indonesia. Sementara, pada periode 2001-2021 terdapat 26 negara pemasok.
NO
Periode
Negara Importir
1.
1990-2000
Amerika Serikat
Belanda
Jerman
Swedia
Inggris
Prancis
Uni Emirat Arab
Australia
Singapura
Ukraina
Slovakia
Spanyol
2.
2001-2010
Prancis
Jerman
Belanda
Amerika Serikat
Rusia
Singapura
Swedia
Australia
Rep. Ceko
Korea Selatan
Denmark
Afrika Selatan
Kanada
Spanyol
Tiongkok
Italia
Polandia
3.
2011-2021
Brunei Darussalam
Kanada
Tiongkok
Denmark
Prancis
Jerman
Rusia
Korea Selatan
Amerika Serikat
Brazil
Belgia
Israel
Spanyol
Australia
Italia
Swiss
Inggris
Ukraina
Rep. Ceko
Polandia
Austria
Thailand
Norwegia
(Sumber: SIPRI)
Lima besar pemasok alutsista terbanyak ke Indonesia selama tiga dekade ke belakang secara berurutan, yakni: Jerman, Korea Selatan, AS, Inggris, dan Rusia.
Negara
Porsi
Australia
1,56%
Austria
0,05%
Belgium
0,65%
Brazil
1,32%
Brunei
0,24%
Canada
0,40%
China
3,63%
Czechia
0,21%
Denmark
0,14%
France
6,84%
Germany
15,84%
Israel
0,04%
Italy
0,82%
Netherlands
11,07%
Norway
0,41%
Poland
0,19%
Russia
11,70%
Singapore
0,09%
Slovakia
0,12%
South Africa
0,00%
South Korea
14,26%
Spain
1,75%
Sweden
0,15%
Switzerland
1,91%
Thailand
0,01%
UAE
0,26%
Ukraine
0,09%
United Kingdom
12,91%
United States
13,32%
Total
100,00%
(Catatan: mungkin bisa dibikin pie chart)
Meski demikian, Indonesia masih punya pekerjaan rumah memenuhi target program minimum essential force (MEF) yang dimulai pada 2010 lalu. MEF adalah program pemenuhan standar kekuatan minimum TNI untuk menghadapi ancaman perang.
Untuk menyukseskan program tersebut, pemerintah terus meningkatkan anggaran Kementerian Pertahanan. Angka anggaran tersebut dalam lima tahun ke belakang bisa dilihat dalam grafik di bawah ini:
Saat ini program MEF telah memasuki tahap terakhir, tapi pencapaian proyek ini sampai akhir 2019 baru 63,19%. Beban berat untuk menyukseskan program ini sekarang berada di tangan Prabowo.
Apakah Prabowo mampu?