Tiga Hari Setelah Argentina Juara

Tiga Hari Setelah Argentina Juara 

Mahfud Ikhwan

“Ini bukan saatnya membuat analisa. Ini saatnya berpesta,” demikian kata Messi setelah pertandingan final. Saya, selama tiga hari ini, tidak melakukan kedua-duanya. Dan nyaris tidak melakukan apa-apa.
Saya tidak menulis satu kalimat pun yang mencoba mengutak-atik atau menjelaskan kenapa pertandingan final berjalan demikian; saya bahkan tak membalas ucapan selamat yang dikirimkan seorang teman lewat aplikasi pengirim pesan. Jika ada kalimat yang keluar setelah pertandingan itu, itu adalah beberapa cuwitan yang hanya menunjukkan kelegaan—meskipun, sejak pertandingan berakhir 3-3 di akhir perpanjang waktu, saya sudah tak berharap apa-apa kecuali akan menulis “TAEK!!!” (dengan kapital dan tiga tanda seru) untuk mengekspresikan perasaan saya sepanjang pertandingan, apa pun hasil akhir tendangan penalti. 
Dan saya juga tidak berpesta, tentu saja—tak seperti Messi dkk. Saya memang tidak suka pesta, tapi terutama karena saya tak punya alasan untuk melakukannya. Saya mendukung Argentina sejak belum benar-benar mengerti sepakbola, tapi saya bukan orang Argentina, dan saya benar-benar tak punya alasan bahkan yang paling lemah untuk, misalnya, meledakkan petasan atau turun ke jalan mengibar-ngibarkan bendera. (Para pendukung Argentina di Ambon atau di Bangladesh atau di Pakistan mungkin punya alasan lebih untuk melakukan perayaan kemenangan, tapi saya selalu merasa perayaan itu adalah privilese orang Argentina sendiri.) Jadi, ya, seperti yang sering saya lakukan ketika hasil pertandingan sepakbola (baik kemenangan atau kekalahan) terlalu besar untuk ditanggungkan, saya hanya ingin merayakannya (jika itu disebut merayakan) dengan tidak melakukan apa-apa.  
(Saya menikmati kegembiraan dan perasaan lega dengan gelar Copa America Argentina setelah 28 tahun, tapi bukan gelar itu yang betul-betul saya tunggu selama ini.) Praktis, ini adalah kemenangan pertama “saya” sebagai pendukung Argentina. Saya bahkan mesti belajar mencecapnya, pelan-pelan meresapinya, dan mengukur seperti apa dan sebesar apa rasanya. Dan saya sedang membandingkan bedanya dengan apa yang saya rasakan ketika klub-klub yang saya dukung, Liverpool atau Milan, memenangkan gelar. Saya jelas ingin membandingkannya dengan saat timnas Indonesia juara, sayangnya hal terakhir ini tak pernah terjadi sejak saya memiliki dan membangun ikatan perasaan dan identifikasi dengannya. 
Argentina adalah dongeng indah dari Bapak ketika pertama saya mendengarnya sebagai bocah enam tahun yang belajar membaca. Saya menghafal nama-nama: Burruchaga, Valdano, Giusti, dan terutama Maradona. Ketika berusia 10 tahun, Argentina yang baru saja dikalahkan Jerman Barat dengan penalti yang tak seharusnya saya simak sebagai kisah anak tiri sebatangkara yang disingkirkan oleh persekongkolan orang-orang jahat. Saat mulai bisa mengakses koran, mendengar lebih banyak dari radio, dan sesekali mencuri baca dari seorang tetangga yang kadang pulang dari kerja membawa tabloid Bola, saya sudah tahu siapa yang hendak saya bela ketika Piala Dunia ’94 menjelang. Kegagalan yang sangat buruk di Amerika, dengan dipulangkannya Maradona karena tuduhan memakai doping, adalah waktu yang sempurna untuk menegaskan pemihakan saya terhadap si lemah yang teraniaya. Dan selanjutnya adalah … derita.
Derita yang sering kali sampai di tahap keputusasaan itu sangat besar, meskipun tak semenghantui dan senyeri derita membela klub-klub yang kalah dan kalah dan terus kalah, yang setiap tahun bisa dirasakan sakitnya. Mungkin karena itu, meskipun punya sedikit reputasi dalam menulis sepakbola, saya bukan orang yang mudah membuat nujuman untuk tiap kejuaraan. Setiap tiba Piala Dunia, saya akan selalu ada di momen gagu: saya tahu semua data dan statistik menunjukkan bahwa tim tertentu akan menjadi juara, dan itu—selalu!—bukan Argentina. Jadi, jelas, setiap empat tahun sekali, saya dan jutaan orang di dunia mendukung tim yang tak punya banyak kesempatan untuk juara.
Hingga Messi cukup matang, bagi saya Argentina adalah Maradona. Maradona tak selalu membuat Argentina menang (selain Piala Dunia ’86, ia “hanya” pernah memenangi Piala Dunia Usia Muda edisi ’79), tapi saya sulit membayangkan Argentina tanpa Maradona. Skuad ’98 sebenarnya sangat menjanjikan, karena menggabungkan beberapa sisa skuad ’94 yang sedang berada di puncak karier dengan bintang-bintang baru yang sedang sangat cemerlang seperti Ortega, Lopez, Veron, Crespo, dan Gallardo. Tapi, skuad itu bukan hanya tanpa Maradona, malahan anti-Maradona. (Daniel Passarella adalah nemesis Maradona, dan ia tak mau memberi ruang untuk orang-orang nyentrik/nyeniman yang tipikal disenangi Maradona macam Caniggia dan Redondo). Sakit sekali menyaksikan mereka dihentikan oleh Belanda dengan gol hebat Bergkamp itu, tapi jelas mereka toh tak akan juara. Saat Messi mulai masuk skuad di Piala Dunia 2006 yang dipimpin Pekerman, mood  optimis dari medali emas Olimpiade Athena yang dipersembahkan oleh nama terakhir (dan beberapa nama pemain yang masuk dalam tim) masih terbawa. Tapi, tim ini pasti tak ada apa-apanya di hadapan Brazil, tempat berkumpulnya Ronaldo, Ronaldinho, Kaka, Adriano, dan Robinho. Juga fakta bahwa perhelatan dilangsungkan di Jerman! (Meskipun, kemudian, yang juara justru Italia.) Ketika akhirnya Maradona benar-benar kembali ke tim nasional sebagai pelatih di Afrika Selatan 2010, sementara Messi sedang berada di puncak kariernya, kepercayaan diri untuk juara itu juga tak serta-merta membesar, mengingat semua orang tahu siapa kekuatan baru sepakbola saat itu—dan perkiraan semua orang itu kemudian menjadi kenyataan. Bagaimana dengan Brazil 2014 yang sudah begitu dekat dengan gelar? Sejujurnya, tim yang tampil gemetaran di babak tos-tosan itu bahkan tak seharusnya sampai ke final.
Barangkali karena keraguan yang begitu lama terhadap kekuatan sendiri (jika diperkenankan menyebut Argentina tim saya), juga jalannya final yang benar-benar TAEK, saya bahkan tak menyambut kemenangan Argentina atas Prancis di Losail kemarin di saat yang pas. Ketika Montiel maju sebagai orang keempat yang mengambil penalti, dan kemudian berhasil, saya masih memikirkan belokan alur lain yang akan terjadi. Saya sempat bingung ketika Montiel berlari ke arah suporter Argentina dengan membuka kaosnya. Ketika kamera berpindah ke kerumunan pemain Argentina yang mengerubuti Messi di lingkaran tengah lapangan, saya baru ngeh: Oh, sudah juara rupanya.
Sekitar empat menit setelah itu, sepertinya saat Emi Martinez dan Enzo Fernandez tersedu-sedu di depan mikrofon wartawan, saya baru merasakan mata saya basah. 

***    

Yakin bahwa Argentina akan juara ketika pertandingan final masih jauh dari selesai adalah kesalahan fatal. Saya melakukan kebodohan itu, dan hampir membayarnya mahal. Dan saya melakukan kecerobohan itu dua kali. Dua-duanya berkait dengan Rafa Varane.
Yang pertama, di pertengahan babak kedua, ketika Prancis baru saja memasukkan pemain pengganti ketiga dan keempatnya, Coman dan Camavinga. Saat itu, Varane maju dan mengoper dengan ceroboh ke sisi kanan garis tengah Argentina dan membuang bola secara percuma. Itu adalah unforced error Prancis yang kesekian, sementara mereka tak menunjukkan tanda-tanda akan mengejar dua gol. Dan bagi saya itu menggambarkan mereka tak akan bisa membalikkan keadaan. 
Yang kedua terjadi pada perpanjangan waktu babak kedua, sesaat setelah gol ketiga Argentina, gol yang digambarkan Sid Lowe di Guardian sebagai gol terburuk Messi sekaligus akan menjadi gol terbaiknya. Saat itu, setelah berduel memperebutkan bola di sudut kanan pertahanan Prancis dengan L. Martinez, Varane jatuh tertelungkup dengan wajah pucat dan napas tersengal. Ia kehabisan oksigen, sampai Ibou Konate menggantikannya. Dan lagi-lagi saya berpikir, kali ini Prancis benar-benar akan habis. Argentina akan mengulang skor final melawan Jerman Barat di Meksiko ’86, dan Messi akan menyejajarkan dirinya di samping Maradona. Skenario sempurna!
Tapi kita tahu bukan itu dan bukan begitu yang kemudian terjadi. Masuknya Coman dan Camavinga menjadi awal kebangkitan Prancis di babak kedua. Sementara siku bodoh Montiel mengembalikan bandul pertandingan ke arah berlawanan. Dan tiba-tiba akhir ala Meksiko City yang sempat saya bayangkan menikung menuju akhir ala Rotterdam, ketika Prancis mematahkan hati Italia dan para pendukungnya di Euro 2000. Dan saya bisa melihat Trezeguet tidak hanya pada Mbappe, tapi pada seluruh pemain berseragam biru tua yang masuk ke kotak penalti Argentina. Dan Emi Martinez yang hebat akan senasib dengan Toldo. 
Melihat De Maria di pinggir lapangan menutupi wajahnya dengan kaos cadangannya dan tersedu, saya ingin bergabung dengannya. Tidak untuk mengatakan apa-apa, hanya memberi sentuhan kecil di pundak untuk memberi tanda bahwa hal seperti ini pernah terjadi, dan sekali lagi akan terjadi: Argentina telah lama menderita, dan masih akan menderita.
Bahkan setelah Mbappe gagal menggiring bola ke tengah kotak penalti Argentina dan Otamendi dengan kalut menyapunya, dan peluit panjang pun berbunyi, saya bisa melihat trofi tak menarik hasil pahatan Silvio Gazzaniga yang sudah sangat dekat dengan tangan-tangan pemain Argentina itu kembali ditarik menjauh, dan mulai tak terlihat. 
Adu penalti di final kali ini pasti tak seperti adu penalti di perempat final. Belanda tak pernah becus adu penalti, dan mereka tak pernah mencecap juara—setidaknya di ajang ini. Ini Prancis. Mereka juara bertahan; dan mereka akan kembali juara. 
Saya baru benar-benar percaya Argentina telah juara ketika Montiel mencopot kaos nomor empatnya, berlari ke arah pendukungnya, setelah mencetak penalti keempat timnya. Dan Paredes memeluk Messi yang jatuh terduduk. 
Pada akhirnya, saya bukan saja mendapati tim yang saya tahu dan puja sejak usia 6 tahun memenangi final yang diidamkan; saya juga menyaksikan final sepakbola paling hebat yang pernah saya lihat. Pertandingan perempat final melawan Belanda yang sebelumnya saya puja-puja sebagai “belum tentu terjadi empat tahun sekali” segera tergeser ke baris belakang. Dan final UEFA Cup tahun 2001 antara Liverpool vs. Alaves, yang selama ini saya saya anggap sebagai final paling gila yang pernah saya saksikan, jelas sudah lengser dari takhtanya. 

***

Qatar akhirnya memberikan imbalan bagi mereka yang bebal dan berkuping tebal. Tak hanya memberikan para pemuja tim nasional Argentina, manusia-manusia paling malang di dunia, gelar yang berpuluh tahun dirindukannya, Qatar juga memberikan final terhebat yang pernah disaksikan penggemar sepakbola. (Saya bisa bayangkan apa yang baru saja disesali para pemboikot itu!) Tapi, saya kira, Qatar juga adalah tuan rumah Piala Dunia yang memanggungkan penganugerahan piala dengan cara paling jorok yang pernah saya lihat. Barangkali ini sedikit tendensius, tapi saya serius.
Saya menunggu penganugerahan trofi bukan saja karena yang juara adalah tim yang sejak kecil saya puja, tapi terutama karena saya biasanya akan mendapatkan momen-momen menyentuh di sana, dan di beberapa titik, saya akan dibuat menangis olehnya. Tapi panggung yang panjang dan melintir, yang mereplika logo kejuaran, sudah membunuh momen macam itu sejak ia diletakkan di tengah lapangan.
Di panggung yang terlalu panjang itu, Mbappe, pemain yang mencetak hatrik pertama di final Piala Dunia sejak Geoff Hurst melakukannya di Inggris ‘66, lebih seperti pesakitan yang diarak telanjang dibanding seorang pencetak gol terbanyak yang baru menerima sepatu emasnya. Dan Mbappe sekali lagi dipecundangi ketika pengarah acara “mengusirnya” dari panggung, setelah sebelumnya dipaksa foto berempat bersama Messi, Martinez, dan Fernandez.
Tapi ketaknyamanan saya berpuncak pada jubah hitam transparan (konon disebut bisht) yang dianugerahkan kepada Messi oleh Emir Qatar persis sebelum trofi diserahkan. Benda itu bagi saya terlihat salah untuk banyak alasan. 
Tanpa bermaksud bebal dan tak hormat terhadap adat-istiadat Arab, jika saya Infantino, saya akan meminta Emir Qatar menganugerahkan benda itu di waktu yang berbeda, atau dengan cara berbeda, atau sama sekali tidak. Jika ia dianugerahkan kepada pemain terbaik turnamen, atau bahkan terbaik dunia pada saat itu, maka benda itu seharusnya diberikan di saat Messi dianugeri bola emas beberapa saat sebelumnya. Jika jubah itu diberikan untuk mereka yang juara, maka seharusnya ia diberikan kepada seluruh pemain Argentina persis ketika mereka mendapatkan medali emasnya. Jika itu terdengar terlalu berlebihan, maka ada banyak momen di luar penganugerahan piala untuk menjamu Messi secara pribadi dan memberikan jubah hitam transparan itu. Toh, kita mafhum, di antara Emir Qatar dan Lionel Messi ada relasi karyawan dan majikan.
Memberikan jubah itu tepat ketika Messi menerima trofi dan kemudian merayakannya bersama teman-teman setimnya, untuk saya, membuat Messi terampas dari dua hal yang seharusnya tak boleh diutak-atik: 1) seragam biru-langit yang ditaruhinya nyawa; 2) teman-teman setim yang berjuang dan bekerja—beberapa barangkali berkali-kali lipat lebih keras—bersamanya. Messi memang bintang, dan ia sudah lama menjadi bintang; ia bukan hanya lebih besar dari seluruh rekan setimnya, beberapa orang bahkan yakin kini ia lebih besar dari seluruh pesepakbola yang pernah ada. Messi berbeda, dan teman-temannya bahkan memperlakukannya dengan berbeda, tapi membuatnya secara kasat mata terlihat berbeda, di saat pengangkatan piala, oleh sebuah tim yang baru saja memperoleh gelar juara, seharusnya tak pernah terjadi di dunia olahraga.
Messi telah dipuja sejak ia menginjakkan kaki kecilnya di rumput Camp Nou 16 tahun lalu. Kini, dengan trofi Piala Dunia di genggamannya, ia barangkali akan disembah serupa dewa, dibikinkan kuil atau gereja, sebagaimana Maradona. Tapi itu adalah hak rakyat Argentina yang telah dientaskan Messi dari lembah kekalahan yang begitu dalam; juga hak ratusan juta orang di seluruh dunia yang setiap pekannya menautkan sedih dan bahagianya kepada kaki Messi. Dan hak itu, menurut hemat saya, tak bisa diambil begitu saja oleh seorang pemimpin negara kecil kaya yang, secara teknis, mempekerjakan dan membayar gajinya.  
   
***

Kira-kira sepekan sebelum final Piala Dunia, saya menulis di Jawa Pos tentang mulai menghilangnya tradisi nonton bareng pertandingan sepakbola akibat bergantinya pola orang menikmati hiburan dan berubahnya teknologi informasi. Tiga hari lalu, saya benar-benar mengalami apa yang saya tulis itu: setelah sekian lama, ini adalah final Piala Dunia pertama yang saya tonton sendirian. 
Ah, sebenarnya tak benar-benar sendirian; hanya nyaris sendirian. Di samping saya, ada Bapak yang tergolek tidur. Tapi justru karena itu, kesendirian saya jadi makin terasa.   
Tepat satu malam sebelum Piala Dunia 2022 dilangsungkan, kami mendapati Bapak kehilangan sebagian ingatannya. Ia mengingatkan saya dengan kaset tua yang terlilit pitanya ketika diputar, atau hardisk lama yang sebagian foldernya tak bisa dibuka. Semua gejala mengarah kepada demensia. 
Saya menangisinya ketika mendengar ia terbata-bata saat mencoba kembali mengaji. Itu pasti sangat berat untuk seorang santri totok sepertinya. Namun, yang lebih mematahkan hati adalah ketika mendapatinya terlihat tak tertarik dan tak mengerti sama sekali dengan sepakbola. Saya seperti melihat perpustakaan masa kecil saya terbakar di depan mata.
Ia adalah orang yang 36 tahun lalu membawakan untuk saya sepotong poster berisi empat tim semifinalis Piala Dunia Meksiko ’86. Ia memperkenalkan banyak nama negara, tapi terutama Argentina, kepada saya. Ia membuat saya bisa membedakan mana Maradona mana Giusti, mana Brehme mana Rummenigge, mana Tigana mana Platini, dan dengan telaten membantu membacakan nama Harald Schumacher dan Jean-Marie Pfaff yang sangat sulit dieja. Ia, hanya ia, yang membuat saya menggilai sepakbola dan menghabiskan terlalu banyak waktu untuknya. Dan, kini, orang yang sama, di depan TV yang menyiarkan final Piala Dunia keenam Argentina, terlihat tak tahu dan sama sekali tak tertarik dengan apa yang sedang berlangsung di layar kaca.
Ketika saya bilang bahwa yang bertanding adalah timnya Maradona melawan timnya Platini, ia menyahut dengan malas, “Lawan mana? Malaysia?” Lalu tidur kembali.
Kata Messi, ini bukan waktunya menganalisis, tapi waktunya berpesta. Saya rasa, saya bahkan tak bisa melakukan kedua-duanya.