Timnas Maroko dalam Empat Hikmah

Timnas Maroko dalam Empat Hikmah 

Mahfud Ikhwan

Pentingnya sejarah dan tradisi dalam sepakbola. Itu kenapa sangat sulit didapatkan jagoan dan juara baru dalam sepakbola. Di Piala Dunia demikian, di kompetisi antarklub pun begitu. Maka, Anda bisa mendapati tim-tim yang terlalu besar dan terlalu kuat dan terlalu membosankan untuk terus-terusan mendapatkan gelar, sementara ratusan atau malah ribuan tim lainnya sama sekali tak punya kesempatan.


Sejarah memberikan kepercayaan, tradisi memberi acuan. Tanpa itu, seseorang atau sebuah tim tak pernah tahu seberapa jauh mereka bisa melaju. Tanpa pengalaman atau ingatan atau kebiasaan juara, orang akan mudah dijangkiti rasa puas, sebuah dosa besar seorang atlet. Tak punya acuan atas capaian masa lalu, orang mungkin sudah cukup dengan menjadi nomor dua atau nomor tiga, atau apa yang dengan mengawang dan tanpa ukuran yang jelas mereka sebut sebagai “lebih dari yang kita bayangkan sebelumnya”. Atau, yang lebih buruk lagi, mencoba memfilsafatkan kekalahan, dalam ungkapan-ungkapan semacam “Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda”, atau “Memang belum waktunya”, atau “Tuhan memang tidak menghendaki”, atau penghiburan diri yang menggelikan seperti “Juara tanpa mahkota”.


Brazil, juara terbanyak ajang ini dengan 5 gelar, tak punya tradisi juara hingga penyelenggaraan ke-6 Piala Dunia. Mereka bahkan gagal dengan sangat buruk ketika mencoba mengawali tradisi dan sejarah itu dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia pasca-Perang. Saat itu mereka bukan siapa-siapa di Piala Dunia, dan tak ada apa-apanya di sepakbola kawasan. Bukannya gelar juara, sejarah sepakbola menganugerahi mereka Maracanazo, sebuah aib sekaligus duka, sementara piala yang bahkan sudah disiapkan Presiden FIFA untuk diberikan kepada mereka digondol oleh tim yang sudah terbiasa mendapatkanya, si tetangga mungil dari selatan, Uruguay, pemegang sejarah sebagai juara Piala Dunia pertama. Luka Maracanazo dan lahirnya seorang pemain ajaib bernama Pele kemudian memberi mereka gelar pertama. Namun, ketika akhirnya Brazil mendapatkan trofi itu delapan tahun kemudian, mereka bahkan tak membuat semua orang percaya. Pele dkk. memberikan trofi Jules Rimet pertama untuk Brazil di Stockholm dan menjadikan mereka tim pertama yang juara di luar benua, namun banyak orang mengatakan bahwa itu Piala Dunia yang tak pernah ada, dan seseorang sengaja membuatnya sebagai tipu-daya siaran televisi semata. Empat tahun kemudian, di Santiago, pemain ajaib lain bernama Garrincha memberikan trofi serupa. Lalu, sisanya adalah sejarah.

Sejarah itu harus diciptakan. Tradisi mesti diawali. Dan karena itu beberapa tim berusaha dengan sangat keras, kadang dengan segala cara, bisa mendapatkannya. Italia mengawali serial kemenangannya dengan cara ugal-ugalan. Ketika menjadi tuan rumah Piala Dunia ke-2 dirasa tak cukup untuk menjamin gelar, mereka membajak pemain-pemain matang kelahiran Argentina yang mereka klaim berdarah Italia, yang kemudian dicatat dalam sejarah sepakbola dalam nada ironi sebagai para oriundi. Dengan itu gelar pertama akhirnya mereka dapat, dan mereka ingin yang kedua, dan untuk mendapatkannya kembali, mereka tak ingin para oriundi itu membelot atau berubah pikiran. Maka, sang diktator Musollini mengirimkan kawat ancaman: “menang atau mati”. Dari sanalah Italia memulai dan terbiasa menjadi salah satu yang terkuat di dunia. Hal yang sama dilakukan Argentina dengan gelar pertamanya pada 1978, sebuah Piala Dunia yang digenangi darah para pembangkang rezim sekaligus dipenuhi tipu muslihat, khususnya terhadap Brazil dan Belanda. Inggris mungkin akan selalu membanggakan sikap ksatrianya, tapi gelar pertama mereka—dan sejauh ini satu-satunya—tak mungkin terjadi tanpa mengkadali Jerman (Barat) dengan gol yang tak pernah ada.   

Tim-tim yang kelihatan natural menciptakan sejarah dan tradisi juaranya adalah Prancis dan Spanyol. Namun, mereka setidaknya harus punya basis yang mentradisi, yang membuat mereka dihitung dan diperhitungkan (dan karena itu kemudian menghitung diri) dalam percaturan sepakbola dunia selama bertahun-tahun. Prancis menjadi Juara pada 1998 setelah tiga kali menjadi semifinalis. Untuk Spanyol, capaian semifinal pada Piala Dunia 1950 hampir pasti tidak ada hubungannya dengan gelar mereka di 2010. Namun, mereka punya tradisi di level regional. Juga semacam momentum, yang membuat mereka, di satu masa, menjadi satu-satunya tim yang mendominasi semua kejuaraan, baik regional maupun global. Yang lebih penting lagi, Spanyol adalah katedralnya sepakbola. Di liga lokal mereka bercokol dua klub yang mendominasi sepakbola dunia dan Eropa dalam dua abad terakhir. Dan itu menjelaskan lebih banyak hal dari yang lainnya. 

Bicara tentang satu-satunya keajaiban dalam terciptanya sejarah dan tradisi juara di Piala Dunia adalah Jerman (Barat). Mereka adalah tim compang-camping setelah dikoyak perang ketika mereka menyeberangi perbatasan Swiss untuk ikut serta Piala Dunia 1954. Setelah digasak 8-3 di babak grup oleh Hungaria, tim itu lolos dan terus bertahan sampai final, dan di sanalah mereka menghabisi balik pembantainya itu setelah sempat tertinggal dua gol. Keajaiban di Bern, kata orang-orang Jerman. Jerman 1954 akan jadi teladan sempurna para underdog yang mengangankan keajaiban, dengan catatan kita mengabaikan teori konspirasi tentang seorang dokter Jerman Timur yang membelot dan menyuntik para pemain Jerman Barat dengan “glukosa”.

Pada kebanyakan kasus, sejarah dan tradisi itu dibangun bertahap. Beberapa dalam masa waktu yang panjang atau sangat panjang. Beberapa harus dengan sangat keras dipertahankan atau diupayakan. Dalam kasus Jerman, misalnya, untuk merebut gelar juara keempat mereka di Brazil 2014, mereka memulai dari nol lagi sejak kegagalan memalukan di Euro 2004, dan selama sedekade mereka tak semata membangun tim baru tapi juga membongkar dan memikirkan ulang cara mereka bermain sepakbola. Untuk Inggris, segala upaya itu bahkan seperti tak ada ujungnya. Mereka jelas tim yang disegani, tapi mereka tak pernah mampu mengkonversi persepsi menjadi trofi. Spanyol adalah contoh lain bahwa satu cara bermain sepakbola hanya bisa dipakai di satu masa, dan karena gagap mengoreksi diri, mereka tak mendapatkan apa-apa dalam sepuluh tahun terakhir. Dalam lebih banyak kasus, basis sejarah bahkan tak pernah sempat menjadi tradisi. Lihat Hungaria, Yugoslavia, Cekoslowakia, dan terutama Belanda. Mereka punya sejarah sepakbola, tapi tak pernah punya tradisi juara.

 

Maroko, tanpa nada meremehkan, masih jauh dari tim-tim yang disebutkan di atas. Tapi, sebagaimana dikatakan oleh pelatihnya, Walid Regragui, mereka baru saja menulis sejarahnya: sebagai tim Afrika yang sampai ke semifinal, melampaui apa yang pernah dicapai Kamerun, Nigeria, Senegal, dan Ghana. Mereka bisa melaju jauh, sangat jauh, dan jelas mereka tidak jauh dari sekadar tim yang beruntung. Namun, mereka butuh lebih dari kejutan dan keajaiban untuk lebih jauh lagi. Mereka butuh membangun tradisi.

Sepakbola menjanjikan keajaiban, namun olahraga senantiasa eksakta. Keajaiban menciptakan harapan yang melambung tinggi, sementara eksakta menarik harapan itu jatuh ke bawah seperti grafitasi yang menarik batu dari udara ke tanah. 


Keajaiban adalah nama tengah sepakbola. Ia memberi kemungkinan-kemungkinan atas hal-hal yang biasanya tidak mungkin. Itu kenapa slogan-slogan kosong macam “imposible is nothing” jadi punya dasar, hanya karena ia dipasang di pinggir lapangan sepakbola. Hanya di sepakbola tim-tim kutukupret diberi kesempatan bermimpi, dan kadang kala bisa mewujudkan, mengalahkan tim-tim raksasa yang dengan cara hitungan apa pun akan sulit digulingkan. Hanya di sepakbola, seorang pemain biasa, atau sangat biasa, bisa tiba-tiba menjadi pahlawan super. Jika Anda tidak pernah mendengar kisah bak dongeng kiper cadangan bernama Jimmy Glass yang menyelamatkan klub Carlisle United jatuh ke liga amatir di menit ke-95 dengan golnya (ya, golnya, bukan penyelamatannya) pada musim panas 1999 di kasta kelima Liga Inggris, maka setidaknya Anda pasti tahu kisah Leicester City, tim calon degradasi yang tiba-tiba menjadi juara Liga Inggris musim 2015/16. Kisah yang kurang lebih sama terjadi dengan Denmark dan Yunani di Piala Eropa.

Tapi, awas, jangan cari lebih banyak contoh lagi, bahkan jika Anda menonton ribuan pertandingan dan membaca ratusan  buku sepakbola seperti saya; niscaya Anda akan kecewa. Keajaiban di sepakbola tak sering terjadi sebagaimana ia diomongkan. (Jika keajaiban sering terjadi, itu namanya kelaziman.) Ia sering dibesar-besarkan; sebuah kejadian 1000 banding 1 atau bahkan lebih dari itu, dan kita membayangkan hal itu seakan terjadi setiap hari.

Maroko jelas lebih dari sekadar memiliki kesempatan; mereka mungkin tak disangka sampai empat besar dibanding tiga tim lainnya, tapi orang mulai mencermati bahwa mereka memang harus diberi kredit lebih dibanding sekadar disebut sebagai “tim kejutan”. Orang menghitung pemain-pemain kunci yang mereka miliki, setidaknya pada diri Bono, Amrabaat, Hakimi, Saiss, Boufal, dan Ziyech. Juga pada pola bermain bertahan yang dipakai Regragui. Namun, karena itu juga, orang menjadi tahu di mana kekuatan tim ini sekaligus sampai mana batasnya. Dan menjadi lebih jelas lagi batas-batas itu ketika ia dibandingkan dengan tim-tim yang menjadi lawannya.

Prancis yang jadi lawan mereka di semifinal, misalnya, adalah tim yang tidak atraktif, namun sangat efisien. Orang mungkin selalu menyebut-nyebut nama para penyerangnya (Mbappe, Giroud, Griezmann, Dembele dan masih banyak lagi), tapi kekuatan tim Deschamp sejak awal turnamen terutama adalah kemewahan dan kedalaman skuadnya. Maka, jika Anda tak mempercayai tradisi dan sejarah bisa jadi faktor determinan dalam babak tos-tosan (karena Maroko toh menang lawan tim yang jauh lebih punya tradisi dan kaya sejarah seperti Belgia, Spanyol, dan Portugal), maka percayalah bahwa kedalaman skuad sulit ditipu, apalagi dalam turnamen ketat dan melelahkan seperti Piala Dunia. 

Piala Dunia adalah sebuah turnamen empat pekan yang mengharuskan setiap tim bermain hampir setiap dua hari sekali. Ia menjadi lebih berat lagi dengan babak tambahan dan adu penalti. Memang ada tim-tim terbaik yang memenangkan kejuaran, tapi sisa terbesarnya adalah tim yang paling siap secara fisik (dan mental). Takdir mungkin bisa ditawar dan dibengkokkan oleh Maroko, tapi mereka tak mampu membengkokkan hukum olahraga: tim yang lebih kuat punya kesempatan lebih besar. 

Prancis diterpa badai cedera sejak sebelum turnamen, dan cedera juga menghantui mereka seiring laju mereka di kejuaraan. Namun, mutu dan kedalaman skuad mereka membuat siapa pun yang diturunkan Deschamp tak berpengaruh pada hasil akhir. Ketika semua orang membahas Mbappe dan Giroud, justru Theo dan Kolo Muani yang menyumbang gol. Maroko mengalami hal sebaliknya. Jelas bukan tim yang buruk, tapi Maroko adalah jenis tim yang bisa disebut “11 pemain utama dan cadangannya”. Mereka selalu turun dengan komposisi pemain yang tetap atau berusaha tetap dan cara bermain yang kurang lebih sama. Jika itu tidak terjadi, maka mereka adalah rumah kartu yang rumpang. Dan saat itulah kita akan melihat mereka dengan cepat runtuh. 

Dimulai dari tak dimasukkannya bek Nayef Aguerd yang terkena flu dan disusul keluarnya kapten Roman Saiss di menit ke-20 karena cedera, mereka kelabakan ketika kemasukan gol cepat. Tak ada pilihan, mereka keluar menyerang. Dengan pemain seperti Boufal, Hakimi, Ziyech, dan El-Nesyri, mereka jelas punya lebih dari cukup untuk menjadi tim yang menyerang. Namun, Maroko yang bermain menyerang adalah Maroko yang berbeda dengan Maroko yang melaju ke semifinal. Maroko yang menyerang barangkali bisa membereskan Kanada, tapi akan sulit menahan Kroasia dan Belgia dan kemudian melewati Spanyol dan Portugal. Gol jarak dekat Kolo Muani yang baru masuk beberapa detik tak lebih dari hujan deras di sore hari setelah seharian kita melihat mendung hitam yang menggantung: hanya soal waktu saja.  

Sepakbola selalu, dan tak pernah lebih dari, permainan dan tipu daya. Dan itu sepertinya tak hendak diingkari oleh pemerintah Qatar yang menjadi penyelenggara Piala Dunia 2022, yang mengacu hukum Islam untuk menolak alkohol dan homoseksualitas sekaligus mengislamisasi ajang profan itu dengan menyisipkan ayat-ayat Al-Quran di upacara pembukaannya. Mereka menyebut maskot mereka yang dianggap oleh orang-orang Barat mirip hantu Casper itu sebagai La’eeb, player, si pemain. Apa pun acuan Anda, Anda dengan mudah bisa mengendus hal-hal yang tidak terlalu baik dari nama itu—bahkan jika Anda betul-betul penggemar sepakbola macam saya. 


Untuk Anda yang senang mengacu kepada agama, seperti sebagian pendukung baru Maroko, Anda pasti tahu la’eeb, atau dalam transliterasi Indonesia laa’ib (pemain), berasal dari kata yang sama dengan la’ib (permainan). Dan kata “permainan”, dalam Al-Qur’an selalu berendengan dengan frasa “tipu daya”, dua hal buruk yang berulang-ulang diperingatkan Tuhan untuk diwaspadai dari dunia. Sepakbola adalah gambaran paling sempurna dari apa yang disebut Al-Quran sebagai “permainan dan tipu daya”.

Dalam sejarahnya, sepakbola selalu didambakan membawa kepada kebajikan. Ia pernah dibayangkan jadi alat pembebasan bagi para buruh melarat dari penindasan kaum majikan. Ketika berjumpa semangat nasionalisme di awal abad ke-20, ia dikira akan membebaskan bangsa-bangsa terjajah dari kolonialisme. Kalangan liberal melihat sepakbola penuh dengan potensi untuk mendorong toleransi, menjembatani perbedaan (bangsa, suku, agama, warna kulit), menggalang kesetaraan, dan membebaskan orang-orang dari prasangka. Sementara orang-orang progresif tak henti-henti menggali kekuatan-kekuatan revolusioner sepakbola dan terus mencoba mengampanyekannya. Tapi mari kita cermati, apa yang terjadi setelah hampir seratus tahun sejak Piala Dunia dimulai. Qatar 2022 menunjukkan bahwa: a) sepakbola tetap, dan akan tetap, milik para majikan; b) nasionalisme, di hadapan penggemar Messi dan Ronaldo adalah masa lalu yang telah silam, sementara di depan pendukung Argentina di Bangladesh dan Belanda di Ambon, misalnya, ia tak pernah punya urusan dengan negara dan bangsa; c) “Bukan kami yang melarang, tapi agama kami,” demikian pernyataan para pangeran Qatar terhadap media Barat tentang homoseksualitas dan alkohol, sembari mengencangkan perasannya atas keringat para buruh dari India dan Nepal; d) tak ada revolusi, hanya konsumsi dan konsumsi dan konsumsi.

“Ini bukan hanya kemenangan Arab dan Afrika, melainkan juga kemenangan Islam,” kira-kira demikian yang bisa kita tangkap dari potongan-potongan video dan narasi-narasi pendek seperti Cordova Media di media sosial tentang keberhasilan Maroko melaju hingga semifinal. Kadang, saluran yang lebih resmi seperti Aljazeera juga dengan sengaja melakukan hal yang kurang lebih sama. Narasi-narasi seperti itu berguna untuk menangkis narasi media Barat mainstream, khususnya dari Eropa Barat dan Skandinavia, yang munafik dan rasis. Tapi jika Anda menanggapi pernyataan di atas dengan penuh rasa percaya, saya dengan sangat meminta untuk memikirkannya ulang, sebelum Anda nanti menyesal bahwa “permainan indah” ini mengganggu waktu salat Anda, membuang-buang waktu berharga Anda untuk hal-hal yang sia-sia, membangkitkan sikap asabiah yang tak ada faedahnya, dan pada akhirnya melemahkan semangat umat dari berjuang li i’lai kalimatillah.

Sudahlah, ini toh hanya sepakbola; tak lebih dari permainan dan tipu daya. 

Jika Anda percaya sepakbola memberi Anda sesuatu, bersiaplah memperoleh yang sama sekali sebaliknya. Ini sebenarnya bukan hikmah, melainkan nasihat. Dan ini nasihat yang serius. Sangat serius!


18-12-2022