Tragedi Mereka yang Meninggal Sendirian dan Kesepian

Pada 2012, setahun setelah gempa Tohoku, Jepang digegerkan oleh tiga kasus kematian tragis. Kasus pertama terjadi pada keluarga Saitama yang diduga meninggal karena kelaparan. Kasus kedua dialami oleh dua bersaudari usia kepala empat yang kemungkinan mati kedinginan di Sapporo. Kasus terakhir melibatkan seorang perempuan berusia 45 tahun dan anaknya yang berumur 4 tahun di Tachikawa, Tokyo.

 

Ketiga kasus kematian sendirian yang terjadi beruntun ini menjadi berita sensasional sekaligus pengingat tentang melemahnya struktur sosial masyarakat Jepang. 

 

Masyarakat yang menua

 

Dibandingkan dengan negara-negara lain, Jepang memiliki populasi lansia terbesar di seluruh dunia. Tingginya populasi lansia juga beriringan dengan tingginya insiden kematian seorang diri. Saking seringnya terjadi, orang-orang Jepang menyebutnya kodokushi (孤独死). Kokudoshi pertama tercatat pada 1970an dan angkanya terus merangkak naik tiap tahun. 

 

Pada 1994 kematian akibat kodokushi tercatat sebanyak 1.049, tiga kali lebih tinggi dari 1983. Pada 2009 angka ini naik pesat menjadi 32.000. Scott North, sosiolog di Osaka University menyangsikan angka ini karena pemerintah Jepang tidak menyimpan catatan kematian lansia dengan baik. Walaupun begitu, kodokushi tetaplah tragedi sosial yang menunjukkan betapa sepi dan kejamnya kehidupan modern.

 

Mayoritas korban kodokushi adalah orang-orang tua berusia 50 tahun ke atas. Mereka tinggal sendirian atau bersama dengan pasangannya yang sama-sama menua, mengurung diri di apartemen atau rumah tapak. Anak-anak mereka terlalu sibuk dengan keluarga atau pekerjaan dan enggan meminta tolong tetangga atau petugas sosial. Keengganan ini berasal dari sikap meiwaku yang berarti menolak memberatkan atau menjadi beban keluarga dan masyarakat. 

 

Namun fenomena kodokushi lebih dari sekedar rasa tabu meminta tolong ke orang lain. Ia adalah hasil dari demografi yang terus menua, menipisnya jaringan relasi sosial, pertumbuhan ekonomi yang stagnan, dan kebijakan politik yang hanya terfokus pada populasi muda saja. Meninggalkan populasi lansia yang terus tergerus oleh zaman.

 

Danchi dan orang tua yang tertinggal

 

Lansia-lansia Jepang memenuhi komplek rumah susun buatan pemerintah yang disebut danchi. Komplek rumah susun ini bisa dianggap sebagai relik kebudayaan yang melambangkan kemajuan ekonomi, modernitas, dan ketahanan Jepang pasca kalah telak di Perang Dunia II. Danchi didirikan pada 1960an di seluruh pelosok Jepang sebagai cara untuk mengganti rumah-rumah rakyat yang diratakan oleh bom atom sekaligus menampung populasi muda yang selamat dari perang.

 

Komplek rumah susun ini sangat diminati oleh masyarakat. Danchi terbuat dari tembok kokoh yang disinari mentari serta dilengkapi peralatan rumah tangga terbaru dan dapur yang terang dengan wastafel besi, sebuah simbol status kekayaan dan modernitas kala itu. Secara tak langsung danchi mengakui betapa sentralnya posisi ibu dalam rumah tangga.

 

Booming danchi diikuti dengan ledakan populasi bayi pasca-perang. TK dan PAUD didirikan di dalam kompleks, diikuti taman bermain dan kolam untuk melayani generasi baru. Para tetangga saling terhubung satu sama lain lewat gosip dan aktivitas kolektif anak-anak mereka. Sayang, popularitas danchi hanya bertahan dua dekade. Pada pada 1980an, keluarga-keluarga Jepang yang telah mapan memilih pindah ke rumah tapak.

 

Popularitas danchi terus menurun sampai-sampai pemerintah menghancurkan kompleks yang tidak lagi dihuni. Di sisi lain, stagnasi ekonomi Jepang pada 1991 memaksa mereka yang tidak sempat membeli rumah tapak untuk terus menyewa danchi sampai akhir hayat. Harga sewa danchi yang murah pula yang membuat kompleks apartemen ini populer di kalangan lansia, keluarga dan/atau orangtua tunggal miskin, imigran, pensiunan industri pemakaman, mantan anggota yakuza, atau mereka yang terlilit hutang. Komunitas warga danchi yang dinamis pun digantikan oleh komunitas orang-orang terpinggirkan dan terisolasi. 

 

Menurunnya popularitas danchi tak hanya disebabkan oleh perubahan tren hunian. Layaknya komplek perumahan pemerintah yang dibangun di masa reparasi ekonomi, danchi sempit, sesak, dan memiliki sirkulasi udara yang buruk. Kala musim dingin suhu dalam ruangan bisa lebih dingin dari suhu di luar. Di musim panas ruangan terasa sangat panas dan lembab.  

 

Sirkulasi udara yang jelek, menurunnya populasi danchi, dan buruknya koneksi sosial antar penghuni membuat danchi menjadi sarang kematian sendirian. Jumlah kematian paling banyak dilaporkan di musim panas–bukan karena banyak orang yang meninggal di musim panas, tapi karena orang-orang baru sadar tetangga mereka sudah membusuk. Udara musim panas mempercepat proses pembusukan. Jika bukan karena faktor cuaca dan bau yang menyengat, mayat-mayat ini baru ditemukan setelah menunggak tagihan listrik atau apartemen

 

Industri tabu bernama kematian

 

Penemuan mayat di apartemen adalah mimpi buruk realtor karena menjatuhkan harga properti. Menurut mereka, penghuni yang meninggal di rumah–baik karena bunuh diri atau penyakit–akan terus menghantui rumah tersebut. Meskipun tidak lagi religius (30-39% masyarakat Jepang mendaku sebagai ateis), banyak warga Jepang masih percaya pada hal-hal takhayul dan supernatural. 

 

Keengganan masyarakat untuk mengurus kematian secara langsung melahirkan industri baru, yaitu membersihkan mayat dan rumah korban kodokushi. Salah satu pionirnya adalah Taichi Yoshida, pemilik perusahaan logistik kecil di Osaka. Pada 1990an Yoshida menyadari semakin banyak panggilan pekerjaan berasal dari keluarga almarhum atau petugas sosial yang membutuhkan bantuan untuk membereskan rumah.

 

Hal yang ia sadari dari membersihkan rumah almarhum adalah noda berwarna gelap berbentuk tubuh manusia serta cairan tubuh yang membusuk. Noda ini tidak bisa dibersihkan dengan cara biasa. Perusahaannya pun berkembang menjadi perusahaan yang memindahkan sekaligus membersihkan rumah korban kodokushi. Tiap tahunnya Yoshida menerima 300-1.500 pekerjaan untuk membersihkan rumah-rumah ini. 

 

“Mayoritas orang-orang yang meninggal sendirian agak berantakan. Setelah memakai barang, mereka tidak mengembalikannya, kalau barang mereka rusak, mereka tidak membetulkannya, dan kalau hubungan mereka hancur, mereka tidak memperbaikinya.” ucapnya pada Time. Komentar Yoshida terdengar nyelekit, tapi memang ada benarnya: banyak almarhum kodokushi adalah lansia yang memiliki tendensi menimbun barang. Tendensi ini disebut sebagai cara untuk menghalau kesepian dan isolasi sosial.

 

Seiring meningkatnya kodokushi, perusahaan pembersihan rumah seperti Yoshida pun menjamur. Menurut Association of Cleanout Professionals, per 2018 setidaknya ada 8.000 perusahaan yang berurusan dengan barang-barang peninggalan almarhum. Layanan yang ditawarkan bisa dibilang menguntungkan karena anggotanya melaporkan pendapatan kolektif sebesar 4,5 milyar dollar AS per tahun.

 

Pekerja layanan ini biasanya berasal dari kalangan muda hingga paruh baya. Mereka tak hanya berurusan dengan duka, tapi juga dengan barang-barang yang ditinggalkan oleh almarhum. Momen-momen seperti ini, disertai dengan melambatnya ekonomi Jepang, membuat orang-orang beralih ke industri penuh tabu ini.  

 

Jeongja Han, direktur perusahaan pembersihan rumah bernama Project Tail, adalah salah satunya. Kepada Bloomberg Han menceritakan ide banting setir karir ini diilhami oleh kematian ibunya. Ia terlalu sibuk dengan pekerjaan lamanya sebagai pramugari, tapi ia juga merasa keluarganya tidak bisa mengurus peninggalan ibunya. Di tengah prosesi itu Han ingin ada layanan yang mengurus hal-hal ini. Beberapa tahun kemudian seorang kawan menunjukkan berita soal naiknya jasa pembersihan rumah kodokushi. Tanpa pikir panjang Han pun banting setir. 

 

Hal serupa juga terjadi pada Toru Koremura, pendiri Risk-Benefit. Sebelum berkecimpung di dunia ini, Koremura adalah pialang saham. Ketika neneknya yang tak begitu ia kenal meninggal, Koremura merasakan kehilangan yang dalam. Namun yang membuat dirinya ganti pekerjaan ini adalah cerita nenek pasangannya yang meninggal. Berbeda dengan cerita nenek Koremura, nenek pasangannya berpulang sendirian, meninggalkan sang pasangan dengan penyesalan.

 

Meski sama-sama berurusan dengan peninggalan orang mati, fokus pekerjaan Han dan Koremura berbeda. Han lebih fokus pada pengumpulan dan penjualan kembali barang-barang almarhum, sedangkan Koremura pada pembersihan dan restorasi apartemen almarhum.

 

Pekerjaan Koremura sangat berat tak hanya untuk fisik tapi juga untuk ketahanan mentalnya. Bau yang ditinggalkan oleh tubuh manusia yang membusuk benar-benar susah untuk dihilangkan, seberapa rajin dan kerasnya ia menggosok dengan sabun. Ia sampai memutuskan untuk memplontoskan kepalanya agar tak perlu mencuci rambut lagi. 

 

Namun yang lebih menyedihkan adalah betapa tragisnya kondisi kematian para klien. Mayoritas adalah lansia–kebanyakan laki-laki, penimbun barang, dan tidak bisa berintegrasi kembali ke masyarakat karena kehilangan identitas maskulinnya sebagai pencari nafkah–tapi juga anak-anak muda yang teralienasi. 

 

Salah satu cerita yang masih membuat Koremura tercekat adalah ketika ia ditelepon oleh seorang ayah dari hikkikomori, golongan anak muda yang menarik diri dari masyarakat. Sang ayah menceritakan dengan dingin bahwa anaknya meninggal bunuh diri. Tak ada kesedihan, penyesalan, atau kemarahan dari suara sang ayah, seolah ia baru mendeskripsikan pekerjaannya dan bukan kematian tragis anaknya. 

 

Namun suara itu berubah menjadi isakan tangis penuh duka ketika menceritakan kondisi kamar sang buah hati. Lima menit kemudian suara yang sama kembali terdengar dingin, seolah kejadian tadi hanyalah mimpi siang bolong. 

 

Kejadian ini memaksa Koremura untuk membulatkan tekadnya sebagai pembersih kodokushi.

 

Lain cerita dengan Miyu Kojima, pekerja pembersih kodokushi dari ToDo Company. Karya dioramanya yang menggambarkan situasi apartemen dan rumah kliennya sempat viral di media sosial. Sama seperti Han dan Koremura, ia bergabung dalam industri ini karena kematian ayahnya. “Ayah bisa jadi salah satu korban kodokushi,” sebut Kojima, merujuk ke kondisi di mana ayahnya tergeletak di rumah sendirian karena stroke.

 

Solusi untuk populasi yang menua
 

Ekonomi yang stagnan dan populasi yang terus menua membuat pemerintah Jepang merasa berat untuk mengeluarkan bantuan sosial untuk para lansia yang semakin terisolasi. Namun mulai ada usaha untuk memberikan solusi ke tragedi nasional ini. 

 

Salah satunya adalah Adachi. Pada 2011 kota ini mendirikan Power of Communities Promotion dengan tugas mencatat dan melindungi lansia yang tinggal seorang sendiri. Divisi ini bekerja sama dengan organisasi dan komunitas rumah tangga. Mereka juga membuat sistem dukungan komprehensif lengkap dengan pencatatan rumah tangga lansia yang tinggal sendirian di umur 70 tahun.

 

Selain program pemerintah, perusahaan swasta seperti Secom dan Yuimarl Jinnan juga menawarkan program keamanan khusus lansia–tentunya dengan biaya yang tidak sedikit.

 

Indonesia mulai mengalami tragedi sosial ini. Seorang duda di Pademawu, Madura meninggal sendirian di dalam rumahnya. Mayatnya yang telah membusuk ditemukan oleh tetangga yang khawatir karena almarhum tak kunjung keluar rumah. Sebelas hari sebelumnya, warga Sumber Taman, Probolinggo dikagetkan oleh penemuan kerangka seorang pensiunan guru. Investigasi forensik menunjukkan sang guru telah meninggal pada Maret 2020.

 

Pemerintah harus mencari cara agar lem sosial masyarakat dan jaring pengaman seperti bantuan sosial untuk populasi rentan eksis dan bekerja dengan baik. Jika tidak, bukan tidak mungkin berita-berita seperti ini semakin sering muncul.