Trans Jogja, Kematiannya dalam Tiga Babak
Oleh: Finlan Adhitya Aldan
Di seberang Monumen Jogja Kembali, ada sebuah halte milik Trans Jogja, armada bus andalan pemerintah Yogyakarta. Namanya Halte Monjali 2. Posisinya dihimpit oleh arus padat motor yang berkerumun di jalur lambat Jalan Ringroad Utara, salah satu jalan arteri paling ramai di seluruh provinsi DI Yogyakarta.
Untuk mencapai halte ini, seseorang perlu berjalan di trotoar sempit yang tertimbun daun mati dan rumput tinggi, ratusan meter dari perempatan terdekat. Di beberapa bagian, trotoar begitu rusak sampai melewatinya seperti sedang menjelajahi padang ilalang. Orang yang ingin pergi ke halte juga tidak bisa mengambil jalan pintas karena sebelah trotoar dibarikade oleh dinding semen tinggi sampai perempatan besar di ujung jalan.
Dengan akses yang begitu buruk, siapa yang mau menggunakan halte itu? Atau lebih pentingnya, siapa yang masih (mau) naik Trans Jogja?
Jawaban singkatnya, tidak. Jawaban panjangnya saya urai dalam tiga babak.
Babak Satu: Mahasiswa dan Wisatawan, Bukan Warga
Sejak awal pengoperasiannya di tahun 2008, rute Trans Jogja bertumpu pada dua titik kunci: Universitas Gadjah Mada (UGM) dan kawasan Malioboro. Dari enam rute awal, lima melalui UGM dan tiga melalui Malioboro. Dua titik tersebut bertahan menjadi destinasi utama Trans Jogja sampai saat ini. Hal ini ditunjukkan oleh akademisi ITN Yogyakarta, Yunistiawan Eka Pramana dalam dua penelitian.
Penelitian pertama menunjukkan kalau wilayah Malioboro merupakan lokasi di Kota Yogyakarta dengan aksesibilitas Trans Jogja tertinggi. Penelitian kedua menunjukkan Caturtunggal, Sleman—tempat UGM berlokasi—adalah daerah dengan aksesibilitas Trans Jogja tertinggi. Per 2019, 11 dari 17 rute Trans Jogja melalui wilayah ini. Dengan kata lain, Trans Jogja awalnya didesain untuk memaksimalkan mobilitas mahasiswa dan wisatawan.
Yang menarik, keterjangkauan Trans Jogja paling rendah justru terletak di wilayah permukiman. Contohnya adalah desa Minomartani yang merupakan desa terpadat di Kabupaten Sleman. Berdasarkan penelitian tersebut, tebak berapa persen lokasi di desa ini yang terlayani oleh Trans Jogja?
Nol persen.
Desa terpadat sekabupaten itu tidak dilalui transportasi publik sama sekali.
Babak Dua: Jalan Sempit, Mobil Semarak
Penyebab akses yang buruk ini bisa kita telusuri dari kodrat jalanan Yogyakarta yang begitu sempit. Mayoritas jalan cuma punya lebar 3–6 meter, sedangkan lebar bus Trans Jogja sendiri sudah 2,5 meter. Otomatis, bus hanya bisa melaju di jalan-jalan terbesar kota. Padahal, akses utama yang menghubungkan kawasan permukiman banyak berupa jalan-jalan kecil yang hanya muat dua mobil pribadi.
Rekayasa pelebaran jalan juga sangat sulit. Dengan ukuran provinsi yang mungil, tidak banyak lagi tanah Yogyakarta yang tersisa untuk diluluhlantakkan, apalagi di wilayah perkotaannya. Opsi cuma dua: gilas bangunan atau lindas lahan pertanian. Keduanya jelas akan menimbulkan konflik dengan pemilik lahan–isu yang sudah terkenal pelik di Yogyakarta sejak dahulu kala.
Karena transportasi publik tidak mampu menjangkau jalan-jalan kecil perumahan, maka mau tidak mau para kaum pekerja harus memiliki kendaraan pribadi. Kebutuhan ini diringankan lewat program down payment nol persen untuk kendaraan bermotor yang terus menerus diperpanjang.
Mengenai laju pertambahan kendaraan bermotor, DIY adalah jagonya. Laporan Dinas Perhubungan DIY yang berjudul Transportasi dalam Angka 2022 menunjukkan, jumlah kendaraan bermotor di DIY meningkat dari 3,3 juta unit di tahun 2019 menjadi 3,6 juta unit di tahun 2021. Artinya terdapat penambahan 150 ribu kendaraan bermotor per tahun. Jika kita rata-ratakan, ada 410 kendaraan bermotor baru di jalanan DIY setiap harinya. Maka tak aneh kalau jalanan Yogyakarta kian hari semakin macet.
Kemacetan ini bukannya membuat kawula Jogja beralih ke penggunaan transportasi publik, tapi justru semakin menjauhinya. Berbeda dengan si kondang Transjakarta, Trans Jogja tidak punya jalurnya sendiri. Mereka harus ikut baku hantam dan senggol bacok dengan pengemudi lain. Ini melahirkan pertanyaan baru: kenapa Trans Jogja tidak bisa punya jalurnya sendiri?
Lagi-lagi karena jalanan Yogyakarta sempit. Jalanan sempit ini juga yang membuat trotoar DIY jarang ada. Kalaupun ada, banyak yang telah disulap menjadi parkiran motor dan lapak pedagang kaki lima. Coba saja berjalan di tiga jalan utama kota Yogyakarta seperti Jalan Magelang, Gejayan, atau Kaliurang. Kamu harus menyelinap di antara jalur masuk bangunan, tiang listrik, dan mobil-mobil yang parkir sembarangan sembari diklakson motor dari belakang. Yogyakarta—kecuali tempat wisatanya—tidak dibuat untuk pejalan kaki. Jadi jangan kaget kalau orang-orang malas berjalan ke halte walaupun jaraknya relatif dekat.
Semakin sepi saja peminat Trans Jogja. Padahal, berbagai penelitian mengenai pelayanan Trans Jogja selalu menunjukkan skor yang baik (untuk contoh lihat Putri dan Prakoso, 2019 dan Marwasta dan Handoko, 2020), apalagi di aspek biaya dan kenyamanan. Tapi yang diprioritaskan warga Yogyakarta saat ini bukanlah yang murah dan yang nyaman, tapi yang cepat.
Babak Tiga: Kuasa Wabah, Supremasi Ojol
Kemudian pandemi muncul.
Jumlah penumpang Trans Jogja di tahun 2019 adalah 5,3 juta orang, lalu turun menjadi 2,7 juta orang di tahun 2020. Saya pikir jumlah penumpang akan naik di tahun 2021 ketika aturan lockdown sudah merenggang. Namun kenyataannya jumlah penumpangnya malah makin turun menjadi 1,5 juta orang. Dalam waktu dua tahun, penumpang Trans Jogja terpangkas sampai kurang dari sepertiganya.
Ketika jumlah ini kita bandingkan dengan jumlah seluruh pengguna kendaraan bermotor di Yogyakarta, penumpang Trans Jogja hanya mencakup 0,49 persennya. Setengah persen saja tidak! Bayangkan, jika kamu mengambil 200 penduduk Yogyakarta secara acak, belum tentu ada di antara mereka yang mengandalkan Trans Jogja sebagai moda transportasi.
Sama seperti data total jumlah penumpang, persentase ini juga terjun bebas pasca pandemi. Sebelumnya, persentase penumpang Trans Jogja mencapai 5–10 persen pada rentang 2016 - 2018. Memang tidak besar, tapi jumlah ini terbilang signifikan mengingat pengguna ojol pada 2023 masih berada di angka empat persen.
Namun, berkebalikan dengan Trans Jogja, persentase pengguna ojol terus meningkat. Survei Buana (2022) menunjukkan, dari 100 pengendara ojol, 92 di antaranya baru mulai narik tiga tahun ke belakang, yaitu pada masa-masa pandemi.
Selagi jumlah penumpang Trans Jogja semakin payah selama pandemi, penggemar ojol justru membludak. Lihat saja, saat ini jumlah anggota grup Paguyuban Gojek Driver Jogjakarta (PAGODJA) di Facebook sudah mencapai 25.700 orang! Itu baru satu paguyuban untuk satu aplikasi ojol. Sementara itu, jumlah armada bus Trans Jogja per April 2023 mandek di 128 unit.
Sebenarnya terlepas dari meriah atau sepinya pengguna ojol, Trans Jogja memang sudah loyo. Jumlah penumpangnya istiqomah turun, sedangkan lalu lintas semakin padat seiring dengan bertambahnya kendaraan pribadi. Pembangunan infrastruktur pendukung seperti rute khusus bus dan akses halte yang memadai pun tidak realistis karena jalanan yang sempit.
Namun, jika suatu hari Trans Jogja akhirnya mati, saya rasa tikaman terakhirnya bakal ditancapkan oleh tanduk para unicorn jasa transportasi itu.