Transportasi Umum Jambi: Dari Gairah ke Dilema
Ditulis: Aldi Muheldi
Dalam berita yang tidak mengagetkan siapapun, Indonesia merupakan juara negara yang warganya paling malas berjalan kaki. Penelitian Stanford University menyatakan masyarakat Indonesia hanya berjalan 3.513 langkah per hari, jauh dari saran WHO yang menyarankan jalan kaki sebanyak 10.000 langkah per hari. Bisa dibilang, cinta mati sama motor dan mobil pribadi jadi penyebab utamanya.
Fenomena ini juga terjadi di kota bumi Melayu, yaitu Kota Jambi, laju jumlah kendaraan kota ini terhitung cepat. Menurut BPS Provinsi Jambi, data terbaru yang di dapat pada tahun 2022, ada sekitar 901.118, kendaraan ini terdiri dari mobil penumpang 110.394, bus 13.203, truk 65.883, dan sepeda motor 711.097. Jumlah kendaraan yang banyak ini tentunya membuat jalanan macet.
Kemacetan biasanya terlihat di sekitar Tugu Juang dan Jelutung, terutama di hari Senin-Kamis (Jumat jarang karena terpotong waktu ibadah) antara pukul tiga hingga empat sore, ketika aktivitas sekolah dan pekerjaan berangsur selesai. Kemacetan juga kerap ditemui di hari Sabtu dan Minggu di pukul satu hingga empat sore, karena banyak orang ingin pergi ke acara pernikahan atau berlibur dengan keluarga.
Jadi apa solusinya? Tentunya membuat infrastruktur transportasi umum yang oke alias nyaman, cepat, dan bisa diandalkan.
Trans Siginjai & Capsule Bus (Trans Koja): Revolusi Mobilitas di Kota Jambi
Dari tanggal 13 Desember 2017, pemerintah Kota Jambi membuat gebrakan dengan meresmikan Bus Rapid Transit (BRT) bernama Trans Siginjai. Layanan bus ini tidak boleh dipandang sebelah mata, apalagi harganya tidak akan membuat kantong kalian kering. Cuma Rp. 3.000 buat koridor 1, Rp. 5.000 buat koridor 2, dan bisa dibayar menggunakan e-wallet.
Trans Siginjai ini seperti menjadi juru selamat pengganti angkot yang perlahan hilang ditelan zaman. Karena angkot sudah jarang terlihat sejak medio 2010-an di kota ini. Rute yang disediakan bisa dikatakan lumayan panjang, sampai melintas keluar kota, yaitu dari Pijoan, Muaro Jambi hingga masuk kota. Ada 19 halte untuk naik-turun penumpang.
Banyak orang yang sudah mencoba Trans Siginjai. Fasilitas yang diberikan sangat bagus; ada AC, tempat sampah, alat pemadam kebakaran, bahkan ada buku doa buat yang pengen baca. Selain itu, tempat duduk diatur ke arah satu sama lain, jadi di tengah-tengah buat mau berdiri. Dan tidak cuma itu, bus ini juga menyediakan WiFi. Ini menggambarkan komitmen pemerintah dalam membuat transportasi umum yang lebih memadai.
<=Semakin lama, Trans Siginjai, semakin dilihat oleh warga Kota Jambi. Animo yang tinggi membuat pemerintah menambah jumlah armada Trans Siginjai. Tidak cuma itu, Trans Siginjai juga menambahkan halte baru yang ada di kampus Universitas Jambi (UNJA), tepatnya di Mendalo, Muaro Jambi. Di sana ada 4 halte, ada di gedung FST, depan perpustakaan, samping Gedung UNIFAC (Rektorat baru), dan sebelah gerbang utama UNJA. Ini sangat berdampak nyata buat mahasiswa karena membantu aktivitas mahasiswa.
Kemudian, layanan transportasi di Kota Jambi makin bersemangat dengan datangnya Bus Kapsul alias Trans Koja (Kota Jambi). Bus yang diresmikan pada 28 Oktober 2019 ini punya bentuk yang unik yang menjadi daya tarik tersendiri. Bus ini tidak main-main karena menyediakan berbagai fasilitas modern seperti tempat duduk 13 kursi, AC, CCTV, WiFi gratis, Charger USB, dan tempat duduk prioritas. Trans Koja sendiri ini dijalankan oleh pihak swasta, tapi hal ini tidak menyurutkan keinginan warga untuk menaikinya.
Bus Bangkrut dan Antusiasme Redup di Kota Jambi
Namun pandemi membuat layanan bus Jambi mengalami kemerosotan. Animo masyarakat hilang karena mobilitas yang turun drastis dan ketakutan untuk berada di ruang publik. Pun setelah pandemi lewat, tidak ada lagi semangat dari warga untuk naik transportasi umum lagi. Mungkinkah karena mereka ikut tergerus oleh eksistensi ojek daring, atau ada faktor lain yang juga ikut bermain?
Redupnya Trans Koja seperti melihat usaha yang sedang berapi-apinya, kalah oleh bencana alam yang datang tiba-tiba. Tapi mengalamatkan semua masalah ke pandemi tampaknya juga kurang tepat. Yang pasti, Trans Koja harus angkat kaki dulu dari Kota Jambi.
Menurut saya, permasalahan lainnya dari matinya Trans Koja dan surutnya animo Trans Siginjai adalah kurangnya riset soal kebiasaan transportasi masyarakat. Perencana kurang serius dalam melihat pola mobilitas warganya. Pelajar, pekerja, dan ibu rumah tangga tentunya punya pola mobilitas yang berbeda. Masalah ini bukan hal yang bisa dianggap enteng dan butuh pengamatan yang lebih jeli. Ini penting supaya masyarakat lebih ingin menggunakan transportasi umum daripada transportasi pribadi.
Selain itu, masyarakat nampaknya masih melihat Trans Koja dan Trans Siginjai sebagai layanan hiburan, alih-alih moda transportasi yang wajib digunakan sehari-hari. Mungkin hal ini bisa terjadi karena ada pendekatan komunikasi pemerintah yang kurang terealisasikan. Sehingga belum ada perubahan mindset masyarakat soal ini.
Saya sendiri punya pertanyaan pribadi soal perkembangan transportasi umum Jambi. Kemana arah kemauan layanan bus ini? Dan untuk siapa layanan bus ini tertuju? Pertanyaan ini, kalau bisa terjawab, setidaknya akan memberikan fondasi yang lebih kuat untuk arah pembangunan transportasi umum Jambi.
Sebetulnya, Pemkot Jambi sudah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan layanan bus. Janji-janji manis perihal layanan bus ini tentunya digaungkan supaya masyarakat mau kembali naik bus. Tapi sayangnya, sampai sekarang tidak ada tanda-tanda warga Kota Jambi kembali naik layanan ini.