Tambal Sulam Transportasi Publik Surabaya
Jika jumlah kendaraan bermotor menjadi penentu peringkat sebuah kota di Indonesia maka niscaya Surabaya akan senantiasa ada di papan atas (bahkan teratas) klasemen. Beberapa tahun terakhir jumlah kendaraan bermotor yang ada di Jawa Timur sendiri adalah yang tertinggi di Indonesia dan kota dengan jumlah kendaraan bermotor terbanyak adalah Surabaya.
Kota ini memang telah sejak lama sangat bergantung pada kendaraan bermotor pribadi. Sebutan kota terbesar kedua di Indonesia tidak mengada-ada. Perkembangan jumlah penduduk di kota ini tak kalah dinamis dibandingkan Jakarta. Sayangnya, dari segi transportasi, Surabaya adalah metropolitan yang ketinggalan zaman.
Surabaya awalnya memiliki jejaring transportasi publik berbasis angkutan kecil sebagai ujung tombak. Ada yang menyebut bemo, angkot, ada juga yang menyebut lyn–secara umum sebenarnya tidak ada kesepakatan soal cara penyebutan. Jejaring ini menyebar dan menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lainnya. Namun sama halnya dengan (banyak) kota lain di Indonesia, jejaring ini tidak berkembang terutama dari segi armada dan pelayanan. Di sisi lain, industri otomotif bergeliat. Kebijakan pemerintah membuat mereka bisa melakukan penetrasi pasar dengan masif. DP 0 rupiah dan bunga kredit yang lebih murah, misalnya, memungkinkan masyarakat memiliki kendaraan bermotor dengan lebih mudah. Ini adalah babak pertama dari sebuah perjalanan menuju kekacauan transportasi umum di Surabaya
Demam startup digital yang melanda Indonesia 2010-2017 memunculkan alternatif-alternatif moda transportasi berbayar, dari Gojek yang produk domestik hingga Grab dan Uber sebagai kompetitor. Surabaya menjadi salah satu pangsa pasar besar bagi para penyedia layanan gig economy berkedok transportasi umum modern ini. Penolakan pun sempat muncul. Demonstrasi digelar para pengemudi angkutan umum untuk menolak kehadiran ojek dan taksi online yang dianggap akan merebut rezeki mereka. Babak kedua ini berakhir ironis, meski terjadi kesepakatan, tapi ‘geng hijau’ mulai merajai jalanan Surabaya. Alasannya tentu saja akses yang lebih mudah, layanan yang lebih nyaman, dan biaya yang lebih murah (tentu karena mereka bakar uang).
Palu vonis mati transportasi umum di Surabaya pun diketuk saat pandemi. Pembatasan kegiatan dan mobilitas masyarakat, pengaturan jarak temu antar manusia, pengurangan kapasitas angkutan umum membuat para pengemudi angkutan umum yang sebelumnya sudah sesak nafas naik level menjadi asma akut. Ketiadaan penumpang membuat mereka kesulitan mendapatkan pemasukan untuk menjalankan bisnisnya, terutama kemudian terjadi kenaikan harga BBM. Alhasil satu per satu undur diri, pensiun dari jalanan Surabaya.
Sebetulnya diantara babak kedua dan palu vonis mati sempat muncul sebuah inovasi dari Pemkot Surabaya berupa rangkaian bis kota modern yang menggunakan sampah botol plastik sebagai metode pembayaran. Setelah bertahun-tahun publik dijanjikan MRT, BRT, Surotram dan Boyorail akhirnya ada secercah harapan. Sayangnya harapan itu harus bernegosiasi dengan realita. Keberadaan Suroboyo Bus lebih menyerupai bus wisata daripada transportasi publik yang bisa diandalkan. Rute yang dilalui hanya satu: Selatan ke Utara dan kembali lagi, melewati beberapa titik bersejarah dan penting di Surabaya yaitu Jembatan Merah, Tugu Pahlawan, Jalan Tunjungan dan Balai Pemuda.
Wira-Wiri Pasca Pandemi
Meredanya pandemi, kembali bergeraknya roda ekonomi, dan kemunculan desakan warga akan kebutuhan transportasi publik mendorong lahirnya kebijakan-kebijakan baru transportasi umum di Indonesia. Surabaya termasuk yang mendapatkan dampaknya. Kementerian Perhubungan meluncurkan program Buy The Service dengan tajuk “Teman Bus” yang ditujukan untuk beberapa kota. Di Surabaya program ini sendiri menggunakan jenama “Trans Semanggi Surabaya” dan kemudian mengakuisisi rute layanan Suroboyo Bus dari Barat ke Timur Surabaya dan sebaliknya. Peluncuran tak jauh setelah rute baru Suroboyo Bus yang melayani Terminal Intermoda Joyoboyo hingga Yono Soewoyo (yang kemudian diperpanjang hingga Terminal Oso Wilangon) diluncurkan untuk melengkapi dua rute yang telah terlebih dahulu aktif yaitu Purabaya-Rajawali dan Gunung Anyar-Kenjeran.
Transportasi umum di Surabaya semakin semarak pada akhir tahun 2022. Kementerian Perhubungan yang menyelenggarakan Gerakan Kembali Naik Angkutan Umum menghibahkan beberapa unit bus listrik yang sebelumnya digunakan dalam acara G20 Summit di Bali ke Surabaya. Melayani rute Purabaya hingga Kenjeran melalui MERR, rute ini mendapat sambutan hangat dari warga, terutama mereka yang beraktivitas di kawasan Rungkut Industri dan sekitarnya.
Sayang, seperti halnya gerakan-gerakan lain yang diinisiasi pemerintah, gerakan ini berujung pada kekesalan warga karena bus listrik hanya beroperasi 10 hari. Tepat di hari pertama 2023, bus tak lagi beroperasi lagi. Konyolnya, penghentian operasi tidak disertai pengumuman sama sekali sehingga warga yang menunggu di halte pun ] terlunta-lunta. Hingga hari ini Kemenhub selaku penyelenggara program tak meminta maaf ke warga Surabaya yang terdampak. Ironis jika dibandingkan dengan cepatnya sang menteri minta maaf saat LRT mati listrik.
Masih dari awal 2023, tepatnya di bulan Maret. Pemerintah Kota Surabaya meluncurkan sebuah layanan feeder dengan jenama “Wira Wiri Suroboyo” dengan lima rute awal untuk mengakomodir kebutuhan mobilitas dan transportasi warga yang semakin kompleks dan dinamis. Sambutan hangat warga ditunjukkan dengan minat pengguna yang cukup tinggi. Saat ini layanan angkot modern ini telah melayani enam rute (rute koridor 3 dan 4 telah digabung).
Namun, keberadaan Suroboyo Bus, Wira Wiri Suroboyo dan Trans Semanggi Suroboyo rupanya belum mampu menjadi solusi untuk masifnya penggunaan kendaraan bermotor pribadi di Surabaya. Jumlah kendaraan bermotor terus bertambah. Berita kemacetan lalu lintas semakin sering terdengar, demikian juga kabar kecelakaan.Tak bisa disangkal, transportasi umum yang ada belum juga mampu mengimbangi mobilitas masyarakat di Surabaya.
Kerepotan Mengejar Zaman
Permasalahan krisis iklim yang menjadi topik bahasan serius di seluruh dunia, telah menjadi katalis perubahan strategi pengembangan kota atau habitat hidup warga yang lebih berkelanjutan. Bahkan sejak sebelum pandemi, banyak kota mulai bergerak mengambil peran aktif dalam mengatasi isu iklim. Salah satunya adalah membangun sistem transportasi yang berfokus pada mobilitas aktif dan pergerakan manusia alih-alih pada kebutuhan kendaraan bermotor
Ini mendorong sebagian warga untuk bersepeda atau berjalan kaki, misalnya. Dua aktivitas ini belakangan menjadi salah satu pilar utama sistem transportasi yang berkelanjutan. Paris dan Bogota, misalnya, mengubah strategi pembangunan infrastruktur agar lebih mengakomodir kebutuhan warga yang menggunakan sepeda dan berjalan kaki.
Namun, di tengah isu polusi yang menyeruak dan ancaman kemacetan, solusi-solusi untuk transportasi dan mobilitas warga tak bisa lagi hanya berfokus pada satu-dua aktivitas. Tidak semua orang mau dan mampu bersepeda atau jalan kaki ke mana-mana–meski tidak semua orang butuh dan bisa menggunakan kendaraan bermotor ke mana-mana.
Akhirnya kita mungkin masih akan terjebak pada sistem transportasi bermotor pribadi hingga beberapa tahun ke depan. Kita lihat saja mana yang lebih cepat terjadi, kekacauan lingkungan atau perubahan radikal menuju keberlanjutan kehidupan.