Transportasi Umum di Surabaya Biasa Saja

Transportasi Umum di Surabaya Biasa Saja, yang Indah-indah Hanya Marketing Pejabatnya
Surabaya menjadi kota termacet di Indonesia versi INRIX, perusahaan analis data pengelolaan lalu lintas yang berbasis di Washington. Menurut penelitian INRIX, berdasarkan hours lost in congestion alias waktu yang hilang karena menghadapi kemacetan di Surabaya sebanyak 62 jam. Angka tersebut menempatkan Surabaya di peringkat pertama sebagai kota termacet di Indonesia mengalahkan Jakarta.
Sayangnya, meskipun kemacetan di Kota Pahlawan semakin parah, kebijakan terkait transportasi umumnya masih jalan di tempat. Suroboyo Bus dan Trans Semanggi yang dihadirkan sebagai solusi kemacetan tidak memberikan dampak signifikan. Kebijakan sektor transportasi di Surabaya seperti tak pernah digarap dengan serius dan terkesan seperti gimmick politik doang.
Mimpi Membangun Trem dan Menolak Sumbangan Bus Kemenhub
Di saat Jakarta sibuk membangun busway pada tahun 2004 silam, Surabaya malah mewacanakan pembangunan trem dan MRT. Trem dianggap lebih cocok ketimbang busway karena Kota Pahlawan memiliki banyak jalur rel warisan Belanda. Meskipun secara konsep bagus dan meyakinkan, trem dan MRT yang diwacanakan sejak Surabaya masih dipimpin Bambang DH belum terealisasi hingga beliau lengser dan digantikan oleh Tri Risma H.
Di era kepemimpinan Bu Risma, keinginan Surabaya memiliki trem semakin kuat. Saat kota-kota lain seperti Jakarta, Jogja dan Semarang beramai-ramai membangun BRT, Surabaya malah tidak tertarik. Kota kami kekeh dengan impiannya untuk membangun trem, monorail dan MRT. Bahkan, saat Kemenhub menawarkan bantuan menghibahkan bus ke  Surabaya, Bu Risma menolaknya dengan alasan Surabaya lebih cocok dengan mode transportasi berbasis rel.
Masalahnya, rencana indah yang tidak diimbangi kerja konkret hanyalah pepesan kosong. Transportasi berbasis rel yang terus dipropagandakan oleh pejabat Surabaya tidak pernah terealisasikan. Bahkan, menjelang akhir masa jabatannya, tepatnya pada tahun 2018, Bu Risma yang selama ini menolak bantuan bus dari Kemenhub justru banting setir dan meluncurkan Suroboyo Bus.
Suroboyo Bus Lebih Cocok Disebut Sebagai Bus Wisata
Kelahiran Suroboyo Bus diberitakan media dengan heboh. Bus kebanggaan Kota Surabaya ini disebut-sebut sebagai bus pertama di Indonesia yang mengusung konsep ramah lingkungan karena sistem pembayarannya menggunakan sampah botol plastik dan tidak menerima uang.
Suroboyo bus dicitrakan sebagai transportasi umum yang unik dan solutif. Selain bisa mengantarkan warga Surabaya bepergian dengan kendaraan yang nyaman, Suroboyo Bus digadang-gadang mampu mengajarkan warga Surabaya untuk peduli lingkungan. Namun, konsep tersebut hanya menarik untuk pemberitaan di media dan pencitraan pejabat saja. Faktanya, membeli tiket bus dengan sampah plastik itu ribet, tidak praktis dan justru merepotkan penumpang.  
Bayangkan, warga Surabaya harus memunguti sampah botol plastik dulu agar bisa naik bus. Kalau tidak punya botol plastik, kami sengaja membeli air mineral kemasan di minimarket demi bisa naik Suroboyo Bus.  Sangat tidak efisien dan rempong, kan?
Alih-alih menjadi bus yang bisa diandalkan warga Surabaya untuk berangkat kerja dan mobilitas lainnya, Suroboyo bus lebih tepat disebut sebagai bus wisata dengan rute dan armada yang terbatas.
Kebijakan Silih Berganti, Penumpang Bus Belum Tinggi
Pada tahun 2020, saat Tri Risma langser sebagai Wali Kota Surabaya dan digantikan oleh Eri Cahyadi. Dibawah kepemimpinannya, aturan tentang pembelian tiket Suroboyo Bus yang wajib menggunakan sampah botol plastik  resmi dihentikan, diganti dengan uang elektronik sebesar Rp5 ribu.
Selain itu, Eri Cahyadi juga mengizinkan Teman Bus—layanan bus yang dikelola oleh Kemenhub—beroperasi di Surabaya. Tepatnya pada tanggal 31 Desember 2021, Teman Bus yang diberi nama Trans Semanggi resmi  mengaspal di jalanan Surabaya dengan tarif Rp 6,200.
Trans Semanggi diharapkan mampu menyempurnakan layanan Suroboyo Bus yang sudah lebih dahulu beroperasi. Praktis, sejak 31 Desember 2021, Surabaya memiliki dua bus dengan operator berbeda yaitu Suroboyo Bus yang dikelola oleh Pemkot Surabaya dan Trans Semanggi yang dikelola oleh Kemenhub bekerja sama dengan Dishub Surabaya.
Sayangnya, kehadiran Suroboyo Bus dan Trans Semanggi masih belum maksimal dan belum mampu mengurangi kemacetan di Surabaya. Jumlah penumpang kedua bus tersebut belum banyak, rata-rata penumpang harian Suroboyo Bus pada tahun 2022 hanya 2.728 orang, sementara Trans Semanggi 890.000 orang dalam sebelas bulan.
Jumlah penumpang Trans Semanggi dinilai paling tinggi dibandingkan Teman Bus di kota lain. Akan tetapi, angka 890.000 termasuk sangat kecil bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Surabaya yang mencapai 2.972.801 jiwa. Jumlah penumpang Trans Semanggi juga kalah jauh dengan jumlah penumpang Trans Jakarta yang mencapai 1 juta penumpang per hari.  
Transportasi Umum di Surabaya Biasa Saja, Yang Bagus Hanya Marketingnya
Membaca perjalanan transportasi umum di Surabaya, mungkin sempat terlintas di benak Anda jika pemangku kekuasaan di Kota Pahlawan sudah berusaha memberikan fasilitas transportasi umum yang memadai, tapi warga Surabaya masih enggan menggunakannya. Tunggu, jangan berprasangka buruk dulu.
Menurut saya yang warga Surabaya, secara teori Suroboyo Bus dan Trans Semanggi memang terlihat bagus. Namun, dalam praktiknya banyak masalah yang perlu diperbaiki. Seperti: 
1.     Koridor dan rute terbatas
Koridor Suroboyo Bus dan Trans Semanggi masih terbatas dan tidak menjangkau sebagian besar wilayah Surabaya. Trans Semanggi hanya memiliki 3 koridor dengan rincian sebagai berikut: koridor 1 dengan rute Terminal–Tanjung Perak via Raya Darmo, koridor 2 dengan rute Raya Lidah Wetan–Karang Menjangan–Kejawan Putih Tambak, dan koridor 3 memiliki rute Terminal Purabaya–Kenjeran Park–MERR dengan satu tambahan koridor yang masih dalam tahap perencanaan yaitu koridor 6 yang melayani rute Terminal Purabaya–UNAIR kampus C. 
Sementara untuk Suroboyo Bus hanya memiliki dua rute, yang pertama adalah rute Purabaya - Rajawali dan rute kedua adalah Oso Wilangun - Sawunggaling. Jika dilihat dari rute-nya, kedua bus tersebut (Suroboyo Bus dan Trans Semanggi)  hanya melewati jalan besar dan atau pusat kota. Bagaimana warga Surabaya mau naik bus, kalau lokasi yang kami tuju tidak dilalui oleh bus tersebut? 
Sebagai contoh, rumah saya berada di Kebonsari dan kantor saya berada di Kalibokor. Kedua daerah tersebut tidak dilewati Suroboyo Bus dan Trans Semanggi. Mau tidak mau, saya mengandalkan kendaraan pribadi untuk ke kantor.
2.     Belum memiliki jalur sendiri
Selain memiliki koridor dan rute yang terbatas, baik Suroboyo Bus dan Trans Semanggi tidak memiliki jalur sendiri. Kondisi tersebut membuat kedua bus tersebut ikut terjebak kemacetan saat jalanan ramai. Akibatnya, waktu tempuh bus lama dan bus sering terlambat sampai di setiap halte. Akhirnya, bus tidak memiliki nilai tawar dari sisi waktu maupun kemudahan layanannya. Tidak ada bedanya naik bus dan naik kendaraan pribadi, sama-sama macetnya.
3.     Halte  ala kadarnya
Masalah lainnya, jarak halte bus di Surabaya berjauhan dan fasilitas ala kadarnya. Halte yang bagus, dengan kanopi dan tempat duduk, hanya ada di jalan utama. Sementara halte yang lain hanya ada plang kecil bertuliskan ‘bus stop’. Itupun plangnya ditempel di tiang listrik. Sangat mengenaskan sekali, kan? 
Selain itu, jarak halte di Surabaya jauh. Sebagai contoh, halte terdekat dari rumah saya yang berada di Kebonsari adalah halte Gunungsari yang berjarak 5.5 Km. Berjalan pulang pergi dari halte ke rumah tembus 11 km. Jauh sekali, ‘kan?
4.     Belum terintegrasi dengan moda transportasi lain
Meskipun tujuan Trans Semanggi untuk melengkapi Suroboyo Bus, keduanya belum terintegrasi satu sama lain. Kalau penumpang ingin oper bus, misalnya dari Suroboyo Bus ke Trans Semanggi, mereka harus membeli tiket lagi. Hal tersebut membuat perjalanan menggunakan bus menjadi lebih mahal ketimbang naik ojek daring. 
Melihat berbagai masalah tersebut, agaknya kurang bijak kalau kita mengatakan warga Surabaya malas naik transportasi umum. Sebaliknya, transportasi umum di Surabaya yang tidak didesain untuk kemudahan warga. Sudahlah rute terbatas, waktu tempuh lama, halte ala kadarnya, mahal pula. Rakyat mana yang tidak emosi dengan kondisi seperti itu?
Permasalahan ini semakin diperburuk dengan minimnya anggaran untuk transportasi umum. Buktinya, anggaran transportasi umum di Surabaya masih minim yaitu 78 miliar pada tahun 2023 padahal APBD Surabaya mencapai 11,2 triliun. Jika merujuk data Dishub Surabaya yang menyebutkan kalau idealnya jumlah armada Suroboyo Bus adalah 170 unit (saat ini baru ada 28 armada) agar bisa menjangkau semua rute di Kota Surabaya, Pemkot Surabaya minimal harus meningkatkan jumlah anggaran transportasi umum dua kali lipat alias 156 miliar. Angka tersebut bisa digunakan untuk membeli armada bus dan menambah jumlah feeder (angkutan pengumpan) agar warga yang tinggal di perkampungan bisa menggunakan feeder untuk menuju halte bus yang jaraknya jauh. 
Selain menambah armada bus dan feeder, Pemkot Surabaya perlu meningkatkan fasilitas yang ada di halte, nggak harus mewah kok haltenya, minimal ada kanopinya. Surabaya itu panas banget, kalau harus berdiri dua puluh menit di bawah terik matahari setiap hari bisa semaput. 
Pada akhirnya, yang indah-indah dari transportasi umum di Surabaya memang hanya marketingnya, pelayanannya mah biasa saja.