Tren Film Horor Indonesia

Industri film lokal sedang giat-giatnya mengeluarkan film. Genre komedi, keluarga, dan drama masih merajai pasar. Namun ada genre yang diam-diam merambat naik—genre itu, tentu saja adalah horor. Mari melihat tren film horor Indonesia dalam beberapa babak dekade, dimulai dari tahun ‘80an.

 

Memang, film horor sudah bermunculan di pasar Indonesia dari tahun ‘70an. Namun keterbatasan data membuat kami harus memulai pembabakan ini dari dekade ‘80an. 
 

Film 1980an

Dekade awal ‘80an dimulai dengan film horor legendaris Pengabdi Setan. Film ini pula yang memulai tren penggunaan simbol keagamaan dalam melawan setan. 

 

Dekade ini juga ditandai dengan maraknya eksplorasi hantu-hantu lokal seperti leak, sundel bolong, siluman ular, genderuwo, Nyi Blorong, dan Nyi Roro Kidul. 

 

Keberadaan hantu/setan serta protagonis perempuan menjadi plot device untuk memasukkan unsur eksploitasi seks, lewat perselingkuhan, pemerkosaan dan pembunuhan mereka. Ini yang nantinya menjadi motif pembalasan dendam mereka. 

 

Walau begitu, bukan berarti para perempuan ini tidak melakukan perlawanan ketika hendak diperkosa—hal ini terjadi di Nenek Lampir (1987) dan Pembalasan Ratu Pantai Selatan (1989). 

 

Menariknya, hantu dan setan laki-laki terkadang dibunuh oleh protagonis perempuan, seperti yang terjadi di Lowo Ijo (1987). Tapi tentunya mereka harus melalui ancaman pemerkosaan sebelum bisa mengalahkan sang antagonis. 

Baihaqi dan Zulfan (2019) menyebut penggunaan plot ini merupakan cara pegiat film untuk menghindari sensor Orba. Namun seksploitasi dan kesadisan ini pula yang membuat film-film ini bisa menembus pasar internasional. 

 

Film 1990an

Masa ini ditandai dengan surutnya film horor. Plot film-film dekade ini cenderung menceritakan soal kesulitan ekonomi yang berujung ke penipuan dan pembunuhan untuk jabatan dan harta. 

Korban pun menghantui dan membunuh balik para pembunuh, sebelum akhirnya ditaklukkan oleh komplotan yang selamat atau kyai. 

Unsur eksploitasi seks masih rutin ditampilkan lewat pemerkosaan (Dangerous Seductress (1992), Gairah Malam (1993) inses (Gaun Merah (1994), pernikahan paksa (Misteri Janda Kembang (1991)), dan pengorbanan perawan serta laki-laki (Dangerous Seductress (1992) dan Birahi Perempuan Halus (1997).  

 

Unsur asing mulai masuk di dekade ini, ditunjukkan lewat perantara benda mistik seperti kalung dari Mesir. Kalung Iblis (1992) dan Bisikan Nafsu (1996) menggunakan plot device ini.  

 

Film 2000an

Tren film di awal dekade ini mulai bergeser dari seksploitasi ke pertemanan yang berusaha memecahkan misteri yang diakibatkan oleh hantu-hantu di sekitar mereka. Setting dan protagonis mulai bergeser ke siswa-siswi SMA (Mirror (2005)) 

yang membalas dendam atas perundungan yang mereka rasakan (Panggil Namaku 3x (2005) dan Bangku Kosong (2006)). 

Adaptasi atas kejadian nyata juga mulai bermunculan (Kereta Hantu Manggarai (2008)).

 

Namun unsur seksploitasi kembali muncul di akhir dekade ini, ditandai lewat Hantu Jembatan Ancol (2008), Darah Perawan Bulan Madu (2009), Paku Kuntilanak (2009), dan Diperkosa Setan (2010). Tahun ini pula menjadi debut Dewi Persik sebagai bintang film horor yang sensual. 

 

Film 2010an

Seksploitasi kembali muncul. Kali ini lebih vulgar, melibatkan aktor-aktor film dewasa seperti Maria Ozawa (Hantu Tanah Kusir (2010)), Tera Patrick (Rintihan Kuntilanak Perawan (2010)) dan Sasha Grey (Pocong Goyang Pinggul (2011). 

Ada pula kontroversi rivalitas antara Julia Perez dan Dewi Persik di Arwah Goyang Karawang (2011). 

Tren film berdasarkan kejadian nyata ikut berlanjut, ditandai dengan Ruqyah: The Exorcism (2017). Sekuel dari film-film tahun-tahun sebelumnya juga banyak dirilis di tahun ini.

 

Film 2020an

Penggunaan simbolisme agama dalam film horor semakin menguat di tahun-tahun ini. Beberapa diantaranya adalah Makmum (2019), Makmum 2 (2021), Qorin (2022), Khanzab (2023), dan Kiblat yang kemudian diganti judulnya menjadi Thagut (2024). 

Perubahan nama ini terjadi setelah film ini dikritik keras oleh MUI karena menampilkan sosok iblis sedang shalat dan penggunaan kata ‘kiblat’ yang terkesan menjelekkan ka’bah. 

 

Namun kritikan ini nampaknya tidak akan membuat para sineas berhenti memproduksi film-film bertema keagamaan, meskipun isinya terkesan melecehkan sakralitas agama.