Pada 22 Juli 2025, Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump menandatangani perjanjian kerja sama dagang dengan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto. Perjanjian ini bertujuan mengatasi defisit perdagangan AS terhadap Indonesia. Dalam kesepakatan tersebut, ekspor Indonesia ke AS akan dikenai tarif sebesar 19 persen. Sebaliknya, produk-produk AS seperti jagung, kedelai, kosmetik, teknologi, dan pesawat dapat masuk ke Indonesia tanpa bea masuk. Selain itu, Indonesia diwajibkan mengizinkan penyimpanan data pribadi di wilayah hukum AS, sesuai permintaan perusahaan-perusahaan Amerika.
Kesepakatan ini merupakan bagian dari proses de-eskalasi perang tarif yang diluncurkan Presiden Trump pada 2 April 2025. Menurut Aime Williams, kerja sama Indonesia-AS mencakup pengakuan terhadap regulasi Amerika di sektor obat-obatan, otomotif, dan agrikultur. Indonesia juga sepakat untuk mencabut pembatasan ekspor atas komoditas industri dan mineral strategis yang dikirim ke AS. Sebagai bagian dari komitmen dagang, Indonesia diperkirakan akan membeli pesawat buatan AS senilai 3,2 miliar dolar, serta produk agrikultur sebesar 4,5 miliar dolar. Kesepakatan ini merupakan hasil negosiasi yang mencegah penerapan tarif 32 persen atas ekspor Indonesia ke pasar Amerika.
Kebijakan ini dirancang untuk menguntungkan Amerika Serikat dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Selain Indonesia, Inggris dan Vietnam juga terlibat dalam negosiasi tarif dengan Presiden Trump, yang seluruhnya berujung pada hasil yang lebih menguntungkan bagi AS. Sejumlah analis geopolitik dan ekonomi melihat langkah ini sebagai awal dari babak baru neo-merkantilisme dalam perdagangan global. Berbeda dari pendekatan perdagangan bebas, neo-merkantilisme menekankan penggunaan tarif dan intervensi negara untuk mengakumulasi kekayaan nasional serta mempertahankan kekuatan ekonomi-politik. Dalam konteks ini, Trump menggunakan proteksionisme sebagai instrumen untuk menjaga hegemoni Amerika yang semakin tergerus oleh deindustrialisasi dan globalisasi finansial. Strategi ini bertujuan membentengi industri dalam negeri dengan membatasi impor dan menegosiasikan ulang relasi dagang demi kepentingan nasional AS.
Victoria Torino, dalam Tariffs in U.S. Trade Policy, mencatat bahwa Amerika Serikat telah menggunakan tarif sebagai instrumen politik sejak kemerdekaannya dari Inggris pada abad ke-18. Kenaikan tarif yang saat ini didukung oleh Partai Republik—partai Presiden Trump—menandai kembalinya mereka pada tradisi proteksionisme nasional yang kerap diadopsi ketika menghadapi ketidakstabilan ekonomi. Dalam sejarahnya, Partai Republik secara konsisten mendukung tarif proteksionis, mulai dari era Perang Saudara hingga abad ke-20. Puncak dari pendekatan ini terjadi pada tahun 1930, ketika Kongres mengesahkan Smoot-Hawley Tariff Act, yang menaikkan tarif impor hingga 20 persen tepat saat krisis ekonomi global, Great Depression, mulai melanda.
Dalam sejarahnya, penerapan Smoot-Hawley Tariff Act menyebabkan penurunan volume impor Amerika Serikat hingga 40 persen dalam dua tahun pertama implementasinya. Kebijakan ini turut memperparah Great Depression, ketika ekonomi AS runtuh dan pengangguran massal meluas akibat serangkaian krisis finansial. Kenaikan tarif yang tajam menyebabkan ekspor makanan dan produk setengah jadi merosot drastis, memperdalam kontraksi ekonomi. Meski sebagian pengamat berpendapat bahwa tarif bukan penyebab utama Great Depression, mereka sepakat bahwa kebijakan tersebut memperburuk krisis dengan memicu aksi balasan dari mitra dagang dan mempercepat penurunan perdagangan global.
Oleh karena itu, sebagai bagian dari kebijakan New Deal, Presiden Franklin D. Roosevelt memperkenalkan Reciprocal Trade Agreements Act pada 1934, yang menandai perubahan besar dalam arah kebijakan perdagangan AS. Undang-undang ini memungkinkan pemerintah menegosiasikan ulang tarif dengan negara-negara mitra, membuka jalan bagi normalisasi hubungan dagang. Pada 1939, AS telah meratifikasi sejumlah perjanjian dagang bilateral guna membangun sistem perdagangan internasional yang lebih terbuka. Akibatnya, tarif rata-rata AS turun tajam dari 46 persen pada 1934 menjadi hanya 12 persen pada 1962.
Salah satu tujuan Roosevelt adalah mengalihkan sumber pendapatan negara dari tarif menuju pajak pendapatan, seiring dengan meningkatnya kebutuhan anggaran untuk membiayai program-program kesejahteraan. Namun, seperti dicatat oleh Ha-Joon Chang dalam Kicking Away the Ladder, proteksionisme tarif tetap memberikan ruang bagi pertumbuhan industri domestik AS pada masa itu. Dalam kesimpulannya, Victoria Torino mencatat bahwa tarif tinggi pada abad ke-19 berkontribusi besar terhadap pendapatan negara dan menciptakan surplus fiskal yang menopang proses industrialisasi awal AS. Meskipun kebijakan tarif Presiden Trump pada 2025 secara teknis menyerupai semangat negosiasi Reciprocal Trade Agreements Act, dalam jangka panjang, dampaknya justru cenderung menjadi beban—lebih besar tiang daripada pasak.
Menurut proyeksi Penn Wharton Budget Model (2025), rencana tarif Presiden Trump diperkirakan akan menambah pendapatan negara sebesar USD 5,2 triliun dalam sepuluh tahun ke depan—dana yang direncanakan untuk membayar utang nasional. Namun demikian, tarif tersebut juga diproyeksikan menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) serta pendapatan per kapita masyarakat secara signifikan. Laporan tersebut menyimpulkan bahwa rumah tangga AS pada akhirnya akan berada dalam posisi yang lebih buruk, karena beban cukai atas barang impor akan dialihkan kepada konsumen domestik. Penurunan impor dan arus modal juga diperkirakan mendorong investor dan pemerintah asing untuk melepas aset-aset berbasis dolar. Di samping itu, kebijakan Trump dinilai menimbulkan ketidakstabilan dan ketidakpastian dalam iklim ekonomi. Dalam jangka panjang, PDB AS diperkirakan akan menyusut antara 6 hingga 8 persen, dengan penurunan pendapatan seumur hidup warga AS berkisar USD 22.000-58.000.
Lalu, jika semua ini terjadi, siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh kebijakan Presiden Trump? John Bellamy Foster, dalam The U.S. Ruling Class and Trump Regime, menyebut pemerintahan Trump sebagai bentuk “oligarki terbuka” dari kelas berkuasa, di mana kekuasaan negara federal tak lagi berpretensi mewakili kepentingan seluruh rakyat. Demokrasi liberal Amerika—yang idealnya menegaskan pemisahan antara negara dan pasar serta membatasi campur tangan langsung kelas pemilik modal dalam politik—secara efektif dihancurkan oleh kehadiran Trump dan para kroninya yang berasal dari lingkaran kapitalis besar.
Menurut Foster, krisis struktural dalam kapitalisme Amerika dan global telah membuka jalan bagi naiknya rezim sayap kanan yang secara terang-terangan berpihak pada dominasi kelas kapitalis. Dalam kondisi ini, negara bukan lagi alat regulatif atau penyeimbang, melainkan instrumen langsung dari kepentingan pemodal. Kebijakan tarif, alih-alih memperkuat ekonomi nasional secara menyeluruh, justru mempertegas pergeseran kekuasaan: dari negara demokratis ke negara oligarkis yang melayani segelintir elite ekonomi.
Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya kelas kapitalis bukan merupakan kelas penguasa di Amerika Serikat. Namun menurut John Bellamy Foster, yang membedakan periode Trump adalah keterbukaan dan ketidakseganan kelas kapitalis untuk mengambil peran langsung dalam pemerintahan. Jika sebelumnya dominasi mereka berlangsung melalui jalur institusional dan pengaruh tak langsung, kini keterlibatan mereka bersifat eksplisit dan tanpa tabir.
Dalam sejarahnya, kapitalis finansial merupakan fraksi paling dominan dalam kelas penguasa AS. Kapitalis finansial ditandai oleh kemampuannya mengendalikan ekonomi melalui mobilisasi modal maya (fictitious capital)—aset-aset keuangan yang nilainya terlepas dari produksi riil tetapi menjadi fondasi sistem keuangan modern. Oligarki finansial AS, dengan demikian, merupakan kelas penguasa yang tidak selalu memerintah secara langsung, tetapi juga tidak pernah benar-benar terpisah dari struktur negara.
Paul A. Baran dan Paul Sweezy dalam Monopoly Capital menegaskan bahwa Amerika Serikat bukanlah demokrasi dalam arti substantif, melainkan negara yang dikendalikan oleh oligarki ekonomi. Mereka menulis: “Jika suara adalah sumber nominal kekuasaan politik, maka uang adalah sumber kekuasaan yang sebenarnya: sistem ini tampak seperti demokrasi, tetapi dijalankan dengan logika plutokrasi.” Dalam pengertian ini, kelas kapitalis finansial senantiasa bereaksi terhadap kebijakan negara dengan menyalurkan kekuatan mereka melalui kendali atas arus investasi—membatasi atau mempercepat perputaran modal sesuai dengan kepentingan mereka.
Pada era neoliberal yang dimulai oleh Presiden Ronald Reagan sejak akhir 1970-an, kebijakan deregulasi besar-besaran memberi keleluasaan bagi perusahaan dan wiraswasta untuk memperluas operasinya tanpa kendala negara. Dalam konteks ini, para kapitalis mengalihkan pengerahan modal ke sektor finansial—terutama real estat, asuransi, dan pengkreditan. Didukung oleh deregulasi keuangan, penurunan suku bunga, serta pemotongan pajak atas kekayaan dan korporasi, mereka meraih keuntungan dengan membebankan biaya hidup kepada warga melalui sistem utang—terutama dalam perumahan, kesehatan, dan pendidikan.
Sementara itu, banyak perusahaan AS memindahkan basis produksinya ke Asia demi menekan biaya tenaga kerja dan meningkatkan margin keuntungan, yang pada akhirnya mempercepat proses deindustrialisasi di dalam negeri. Di saat yang sama, muncul generasi baru kapitalis teknologi pada dekade 1990-an yang menciptakan ilusi kebangkitan kapitalisme Amerika berbasis inovasi dan teknologi tinggi. Namun pada dasarnya, hasil dari semua ini adalah konsentrasi kekayaan di tangan kapitalis finansial, bersamaan dengan bangkitnya kapitalis teknologi sebagai aktor dominan baru.
Dalam lanskap ini, Donald Trump muncul sebagai figur khas dari kapitalis finansial Amerika. Lahir pada 1946 dari Fred Trump, seorang kapitalis real estat, Donald Trump merupakan representasi dari fraksi kapitalis properti berbasis New York. Ia adalah produk dari neoliberalisme itu sendiri—rezim kebijakan yang memungkinkan kelas seperti dirinya mengakumulasi kekayaan melalui spekulasi, utang, dan eksploitasi pasar properti yang deregulatif. Sebagai presiden, ia membawa serta kepentingan kelas tersebut ke dalam jantung kekuasaan negara.
Dengan demikian, pemerintahan Presiden Trump dapat dipahami sebagai komite politik bagi para investor dan kapitalis Amerika Serikat dalam menjalankan agenda ekonomi mereka. Hal ini tercermin jelas dari basis pendukung utama Trump dalam Pilpres 2024, yang didominasi oleh para investor dari perusahaan-perusahaan tertutup (non-go public) dan pelaku private equity. Di antara mereka adalah Tim Mellon, pewaris dinasti perbankan Mellon; Ike Perlmutter, mantan eksekutif Marvel; Peter Thiel, investor di PayPal dan Palantir; Marc Andreessen dan Ben Horowitz dari Silicon Valley; serta Elon Musk, pemilik X, Tesla, dan SpaceX. Mereka mewakili tiga poros utama kapitalisme Amerika saat ini: kapital finansial, industri minyak besar (big oil), dan sektor teknologi.
Menurut John Bellamy Foster, Trump bukanlah arsitek, melainkan agen dari transformasi politik-ekonomi yang sedang berlangsung—figur populis yang membawa agenda kelas berkuasa ke dalam format nasionalis dan anti-globalis. Doug Henwood sudah mencatat sejak 2016 bahwa pemerintahan Trump pada dasarnya adalah “rezim miliarder”. Sementara itu, laporan dari Public Citizen mengungkap bahwa total kekayaan kolektif anggota kabinet Trump mencapai 460 miliar dolar AS—mewakili hanya 0,0001% dari populasi Amerika, namun memiliki kendali besar atas kebijakan nasional.
Dalam konfigurasi ini, Trump bukan sekadar presiden—ia adalah perpanjangan tangan kelas kapitalis Amerika, menjalankan negara sebagai instrumen untuk mengamankan dan memperluas kepentingan ekonomi segelintir elite.
Tarif Ke Luar, Deregulasi di Dalam
Dalam Trumpism as Nationalist Neoliberalism, Adriano Cozzolino berargumen bahwa ideologi yang dibawa Trump bukanlah penyimpangan dari neoliberalisme, melainkan bentuk lanjutannya—sebuah evolusi logis yang tetap bertujuan mendistribusikan kekayaan ke atas. Di satu sisi, Trump mengusung nasionalisme ekonomi melalui penarikan AS dari berbagai perjanjian dagang dan penerapan tarif proteksionis. Namun di sisi lain, ia memperkuat agenda neoliberalisasi domestik dengan mendorong deregulasi sektor swasta dan pelemahan kapasitas negara. Kombinasi ini mencerminkan respons rasional kapitalis Amerika dalam menghadapi ancaman struktural dari China sebagai penantang utama hegemoni AS.
Neo-merkantilisme Trump bukan sekadar retorika nasionalis, melainkan strategi untuk mempertahankan posisi dominan kapitalisme Amerika dalam tatanan global. Kapitalisme AS beroperasi dengan logika zero-sum: kemenangan satu aktor berarti kekalahan yang lain. Maka, tarif dan kebijakan perdagangan dijadikan alat untuk menundukkan negara-negara berkembang seperti Indonesia dan Vietnam agar tetap berada dalam orbit dominasi kapitalis Amerika. Ini terlihat jelas dalam perjanjian dagang antara Indonesia dan AS yang diteken pada 22 Juli 2025—yang bukan hanya menyasar sektor barang, tetapi juga memperluas kontrol atas infrastruktur digital dan keuangan. Permintaan agar data pribadi warga Indonesia disimpan di AS mencerminkan kepentingan kapitalis teknologi, sementara pendanaan ekspor agrikultur dan industri Amerika mencerminkan strategi kapitalis finansial dalam menanamkan dominasi struktural melalui perdagangan.
Di dalam negeri, Amerika Serikat sedang mengalami perombakan besar dalam tatanan politik-ekonomi seiring gelombang neoliberalisasi yang semakin dalam. Melalui rancangan undang-undang Big, Beautiful Bill (BBB), Presiden Trump mendorong redistribusi kekayaan ke atas dengan memangkas subsidi bagi warga miskin, penyandang disabilitas, serta jaminan sosial—demi membiayai pemotongan pajak bagi kelas atas. Menurut laporan Ian Fleming dan Myles McCormick di Financial Times, undang-undang ini akan memberikan pemotongan pajak senilai 4,5 triliun dolar AS, melanjutkan kebijakan serupa yang pertama kali dijalankan Trump pada masa jabatan pertamanya pada 2017.
Dampaknya sangat timpang. BBB akan memotong pendapatan bagi 20 persen warga AS termiskin sebesar 2,3 persen atau sekitar 560 dolar per tahun. Sebaliknya, satu persen penduduk terkaya akan mengalami kenaikan pendapatan sebesar 2,1 persen atau sekitar 23.265 dolar. Selain memperlebar ketimpangan ekonomi, kebijakan ini juga akan menambah beban utang negara sebesar 3,3 triliun dolar AS pada tahun 2034.
Tak hanya itu, BBB juga meningkatkan anggaran militer dan keamanan hingga 150 miliar dolar. Dana ini dialokasikan untuk pembangunan sistem pertahanan udara “Golden Dome,” pengembangan armada kapal perang, dan perluasan lembaga imigrasi ICE yang berfungsi sebagai patroli perbatasan dan penindak migran. Dengan demikian, BBB bukan sekadar paket fiskal, melainkan instrumen politik untuk memperkuat aliansi antara kapitalisme oligarkis, militerisme, dan nasionalisme sayap kanan dalam lanskap domestik Amerika Serikat.
Cozzolino berargumen bahwa Trumpism adalah sintesis antara kebijakan makroekonomi pro-bisnis ala supply-side economics dan kebijakan dagang neo-merkantilis. Kombinasi ini bukan sekadar penyimpangan ad hoc, tetapi merupakan respons terorganisir dari kelas kapitalis Amerika terhadap krisis internal kapitalisme itu sendiri. Ketika tingkat keuntungan stagnan—baik di sektor riil maupun finansial—maka konsesi-konsesi yang sebelumnya diberikan kepada masyarakat luas, seperti subsidi, jaminan sosial, maupun investasi ke negara-negara Global South, mulai dicabut. Tujuannya jelas: merebut kembali kontrol atas arah politik dan memastikan akumulasi kapital tetap berada di tangan elite.
Dalam konteks inilah, kebijakan Trump bukan sekadar populisme reaksioner, melainkan ekspresi logis dari kapitalisme yang tengah merespons tekanan struktural. Ketika sistem gagal lagi menjamin pertumbuhan, maka yang diserang bukan hanya lawan eksternal seperti China atau negara berkembang, tetapi juga hak-hak sosial warga negara sendiri.
Seperti dikatakan Warren Buffett secara gamblang, “Sekarang ini ada peperangan kelas, tetapi kelas saya, kelas orang kaya, yang membuat perang, dan kita menang.” Kalimat ini merangkum logika Trumpism dengan tajam: ini adalah bentuk perang kelas dari atas, dibungkus dengan retorika nasionalisme dan digerakkan oleh kepanikan atas menurunnya profitabilitas kapital.
Walaupun demikian, tidak berarti seluruh kapitalis Amerika bersatu padu di belakang pemerintahan Presiden Trump. Bertentangan dengan klaim John Bellamy Foster bahwa kelas kapitalis secara keseluruhan mendukung Trump, kenyataannya terdapat friksi internal yang tajam, terutama ketika Trump mengumumkan kebijakan tarif dan meluncurkan Big, Beautiful Bill (BBB). Sejumlah fraksi dalam kelas penguasa—khususnya mereka yang lebih bergantung pada stabilitas makroekonomi global dan pasar terbuka—melihat langkah Trump sebagai bentuk gangguan terhadap konsensus neoliberal yang selama ini menguntungkan mereka.
Edward Luce merangkum kritik ini secara tajam: “Anggarannya mencuri hari esok untuk membantu orang kaya hari ini.” Ia menambahkan bahwa model ekonomi yang dibawa Trump pada akhirnya merugikan semua pihak: baik yang kaya maupun miskin akan kalah, dan hasil akhirnya adalah inflasi. Bagi sebagian kapitalis, terutama yang berbasis di sektor keuangan global dan ekspor teknologi, kebijakan Trump justru menciptakan ketidakpastian, menekan rantai pasok global, dan mengancam profitabilitas jangka panjang. Dengan kata lain, Trumpism bukan ekspresi keharmonisan kelas, melainkan kompromi yang rapuh dan penuh gesekan di antara berbagai fraksi dalam kapitalisme Amerika.
Tidak semua kapitalis di Amerika Serikat mendukung penuh kebijakan Presiden Trump; sebagian justru berupaya mengoreksi arah kebijakannya. Ketika Trump mengumumkan “Hari Tarif Pembebasan” pada 2 April 2025—sebuah deklarasi eskalasi perang dagang global—pasar keuangan merespons dengan kepanikan. Bursa saham dunia terguncang, dan terjadi penjualan massal aset-aset AS. Dalam kurun dua hari setelah pengumuman tersebut, valuasi pasar saham Amerika anjlok lebih dari 6 triliun dolar AS.
Dampaknya bersifat sistemik dan meluas: bursa saham di Eropa dan Asia ikut tertekan, menandakan ketergantungan global terhadap stabilitas ekonomi AS. Para kapitalis kehilangan kekayaan dalam hitungan jam, sementara pekerja dan pensiunan mengalami kerugian besar dalam portofolio dana pensiun mereka. Peristiwa ini menunjukkan bahwa Trumpisme, yang diklaim mewakili kepentingan kapitalis, justru menimbulkan instabilitas yang merugikan sebagian besar kapital—terutama mereka yang bergantung pada pasar keuangan global, bukan proteksionisme nasionalis.
Menurut Clyde W. Barrow, ketika hal ini terjadi, para kapitalis tidak akan tinggal diam. Kapitalis finansial memboikot kebijakan tersebut dengan menahan investasi. Karena negara bergantung pada pajak penghasilan dan pajak perusahaan, para kapitalis memanfaatkan ketergantungan ini dengan mengurangi investasi—yang berdampak pada meningkatnya pengangguran dan menurunnya pendapatan nasional—menyatakan ketidakpercayaan mereka secara terbuka, dan menjual obligasi negara untuk mendisiplinkan serta mengoreksi kebijakan pemerintah.
Dalam kasus Trump pada 2 April, JP Morgan Chase—bank terbesar di AS—mengumumkan prediksi bahwa resesi akan terjadi dalam enam bulan ke depan. Pernyataan ini segera diikuti oleh komentar dari para kapitalis seperti Ray Dalio, yang menyatakan kekhawatirannya terhadap kemungkinan resesi dan dampak buruk lainnya. Menurut Dalio, nilai mata uang—dalam hal ini dolar AS—merupakan satu-satunya aset utama yang dipegang oleh kapitalis finansial. Ketika nilainya turun, kekayaan mereka ikut tergerus.
Sebagai respons atas pengumuman Trump, para kapitalis menjual obligasi pemerintah AS senilai 29 triliun dolar. Aksi ini memicu kepanikan pasar dan memaksa Trump untuk mundur sementara: ia mengumumkan jeda selama 90 hari sebelum tarif atas produk-produk asing resmi diberlakukan.
Hal serupa terjadi dalam kasus Big, Beautiful Bill (BBB). Elon Musk—yang sempat disebut sebagai “kawan pertama Trump” dan merupakan orang terkaya di dunia—menentang keras kebijakan tersebut. Musk menyebut langkah Trump sebagai sesuatu yang “sangat gila dan destruktif.” Baginya, BBB memberi keuntungan bagi industri lama seperti minyak, dengan mengorbankan masa depan industri hijau.
Kapitalis teknologi seperti Musk, yang sebelumnya mendukung Trump dan bahkan sempat diberi posisi informal sebagai kepala Department of Government Efficiency (DOGE), akhirnya menarik dukungannya. Alasannya jelas: subsidi untuk sektor energi terbarukan—yang menjadi tumpuan Green New Deal era Presiden Joe Biden dan menguntungkan kapitalis teknologi—dicabut, lalu dialihkan ke industri perminyakan. Bagi kapitalis seperti Musk, ini bukan hanya soal arah kebijakan, tapi soal siapa yang mendapat akses ke sumber akumulasi kapital negara.
Dalam konteks ini, Financial Times menyimpulkan bahwa Big, Beautiful Bill (BBB) memberikan kemenangan besar bagi sektor private equity (kapitalis finansial) dan industri minyak. Sebaliknya, industri berkelanjutan dan para kapitalis teknologi di Silicon Valley justru mengalami kemunduran. Sektor modal privat diuntungkan karena legislator membiarkan celah dalam sistem perpajakan laba, sementara kapitalis finansial memperoleh keuntungan tambahan melalui ketentuan pajak atas laba broker—yang hanya dikenai tarif atas carried interest, bukan sebagai penghasilan biasa. Selain itu, BBB juga memberikan potongan pajak untuk bunga utang, memperkuat posisi kapitalis yang bergantung pada pembiayaan berbasis leverage.
Tak hanya itu, BBB turut menguntungkan kapitalis energi fosil, terutama sektor batu bara, serta kompleks industri militer yang memperoleh tambahan alokasi anggaran. Namun, sejumlah sektor lain justru dirugikan. Penyedia layanan kesehatan dan kapitalis ritel terpukul akibat pemangkasan subsidi dan program jaminan kesehatan seperti Medicaid. Di sisi lain, kapitalis teknologi juga menderita kekalahan ganda: mereka gagal melobi pemerintah untuk menetapkan moratorium 10 tahun terhadap regulasi kecerdasan buatan (AI), dan juga kehilangan insentif serta dukungan fiskal untuk energi hijau yang sebelumnya dijanjikan di bawah kebijakan Green New Deal.
Dalam hal ini, tidak semua kapitalis Amerika mendapatkan keuntungan yang setara dari BBB maupun kebijakan tarif. Elon Musk, yang sempat menjadi figur terdekat Presiden Trump, justru tersingkir dari lingkaran pengaruh karena tidak diberi ruang untuk mengembangkan sektor energi terbarukan—bidang yang menjadi inti kepentingan bisnisnya. Namun demikian, bukan berarti seluruh kapitalis teknologi dikesampingkan dalam alokasi anggaran pemerintah AS.
Sebagian perusahaan teknologi tetap mendapat porsi strategis dari belanja negara, terutama di sektor keamanan dan militer. OpenAI, misalnya, menerima kontrak senilai 200 juta dolar AS untuk keperluan militer, menurut laporan Guardian. Sementara itu, Palantir—perusahaan teknologi militer yang bergerak di bidang intelijen dan pengawasan—mendapatkan kontrak sebesar 7,95 juta dolar dari Departemen Pertahanan AS. Dengan kata lain, meskipun kapitalis teknologi tidak tampil sebagai pemenang utama dalam BBB, beberapa di antaranya tetap memperoleh keuntungan melalui proyek-proyek strategis negara, terutama yang bersinggungan dengan sektor keamanan nasional.
Dominasi kapitalis finansial di Amerika Serikat menjadi salah satu faktor utama yang memungkinkan terpilihnya Donald J. Trump sebagai presiden. Namun demikian, kekuasaan Trump tetap bergantung pada sejauh mana ia mampu mengakomodasi kepentingan fraksi-fraksi kapitalis lainnya. Trump tidak hanya bertindak sebagai presiden, tetapi juga sebagai perwakilan langsung dan perwujudan dari modal itu sendiri—seorang kapitalis finansial yang memimpin komite kepentingan kelas, bukan sekadar menjalankan fungsi negara secara normatif seperti dalam presidensi sebelumnya.
Dalam konteks ini, penggunaan strategi tarif untuk memperluas dominasi kapitalisme Amerika, khususnya kapital finansial, di negara-negara lain merupakan langkah yang logis. Tarif menjadi instrumen untuk memaksakan kepentingan modal Amerika dalam tatanan global, mengamankan jalur akumulasi, dan memastikan bahwa negara-negara berkembang tetap berada dalam posisi subordinat dalam rantai nilai internasional.
Kebijakan tarif dan neoliberalisme domestik di era Trump, berbeda dengan periode sebelumnya, tidak digunakan untuk mendorong industrialisasi nasional secara substantif—meskipun retorika Presiden Trump menyatakan demikian. Sebaliknya, kebijakan ini lebih berfungsi sebagai alat untuk ‘menjinakkan’ negara-negara eksportir dan memaksakan kepatuhan terhadap kepentingan kapitalis Amerika. Tidak ada langkah nyata yang benar-benar diarahkan untuk membangun kembali basis industri manufaktur dalam negeri secara berkelanjutan.
Menurut Blocker, kebijakan tarif Trump tidak memberikan manfaat nyata bagi kelas pekerja Amerika dalam bentuk penciptaan lapangan kerja yang stabil atau peningkatan kesejahteraan. Justru yang diuntungkan adalah korporasi. Alih-alih menciptakan pekerjaan layak dan merevitalisasi sektor industri, kebijakan ini cenderung mendorong terbentuknya industri berskala kecil dengan upah rendah dan kondisi kerja yang rentan—baik dari segi lingkungan maupun kesehatan pekerja. Ini menegaskan bahwa klaim industrialisasi hanyalah kedok bagi kebijakan yang tetap berpihak pada modal, bukan buruh.
Kebijakan tarif dan neoliberalisme domestik di era Trump, tidak seperti pada periode-periode sebelumnya, tidak ditujukan untuk memulai proyek industrialisasi—meskipun hal itu diklaim dalam retorika resminya. Sebaliknya, tarif digunakan sebagai alat untuk ‘menjinakkan’ negara-negara eksportir dan memperkuat posisi tawar kapitalis Amerika dalam perdagangan global. Tidak ada kebijakan industrialisasi yang secara nyata menguntungkan sektor manufaktur domestik. Menurut Blocker, tarif tidak memberikan manfaat berarti bagi kelas pekerja dalam hal penciptaan lapangan kerja, melainkan justru menguntungkan perusahaan. Alih-alih membangun pekerjaan layak dan merevitalisasi industri, kebijakan Trump hanya mendorong tumbuhnya industri berskala kecil dengan upah rendah dan kondisi kerja yang tidak aman—baik dari sisi lingkungan maupun kesehatan.
Pada akhirnya, kondisi ini menggemakan gambaran yang telah dituliskan F. Scott Fitzgerald dalam The Great Gatsby tentang perilaku kelas atas Amerika. Fitzgerald menulis, “Mereka adalah orang-orang yang bodo amat… Mereka menghancurkan benda dan makhluk, lalu mundur kembali ke dalam uang mereka atau apa pun yang menjaga mereka tetap bersatu, dan membiarkan orang lain membersihkan kekacauan yang telah mereka buat.” Kutipan ini menangkap esensi dari logika kekuasaan di balik kebijakan Trump: kelas kapitalis dapat menciptakan krisis, mengambil keuntungan darinya, lalu menarik diri dengan tenang—sementara beban sosial dan ekonomi ditanggung oleh orang lain.