Tuberkulosis dan Vampir

Tuberkulosis dan Vampir dalam Red Dead Redemption 2 di Dunia Nyata

Sebenarnya saya bukan penyuka game. Paling banter saya main Temple Run yang dari segi gameplay, ya udah gitu aja. Tapi saya mulai tergelitik manakala saya scrolling Tiktok. Video-video orang-orang yang dibuat mewek saat main game bermunculan di FYP saya. Saya langsung membatin, “oh, bisa ya?” Game yang saya maksud di sini adalah Red Dead Redemption 2 (RDR 2).

Rupanya, bagian ketika Arthur Morgan, sang lakon dalam film RDR 2 terkena tuberkulosis (TBC) membuat para pemainnya bersedih. Penyakit TBC saat itu begitu mematikan hingga dikait-kaitkan dengan vampir. Begitu terikatnya dua hal ini sampai-sampai ia menjadi latar belakang utama game. 

Kok bisa sih? Mari kita ulas fakta sejarahnya!

Kepanikan akan Vampire Menghantui New England

RDR 2 berlatar belakang di New England tahun 1899. Dalam ceritanya, Arthur Morgan tertular TBC ketika geng Van der Linde menagih utang kepada petani yang sedang sakit parah. Sang petani tiba-tiba saja batuk darah dan menyemburkannya ke wajah Arthur. Ini kebalikan dari dukun yang menyemburkan ramuannya supaya pasiennya bisa sembuh.

Nah, kenapa Arthur bisa ikut geng Van der Linde? Ya, karena pekerjaan Arthur sebagai penembak jitu. Tapi tak hanya itu, ia juga harus membantai vampir yang menghantui Saint Denis. Untuk menyelesaikan misi melawan vampir, Arthur harus menemukan lima tulisan misterius yang melapisi dinding Saint Denis dan memecahkan misterinya. Barulah Arthur bisa menemukan si vampir.

Game ini memang tidak memberikan korelasi yang mencolok antara sakit TBC dengan vampirisme. Tapi, kejadian ini sebetulnya tercatat dalam sejarah. Pada abad ke-19, sebuah penyakit batuk-batuk menyerang banyak warga di wilayah Rhode Island, Connecticut, Vermont. Penyakit itu dicirikan dengan: batuk darah, kehilangan berat badan, dan kulit menjadi putih pucat.

Gosip pun berkembang menjadi bola liar. Masyarakat menduga itu adalah penyakit yang disebabkan oleh vampir. Diawali ketika nyaris satu keluarga terjangkit batuk-batuk di Rhode Island. Seorang laki-laki bernama Edwin mulai mengalami gejala penyakit batuk-batuk itu. Sebelumnya, sang ibu yang bernama Mary Brown bersama dua saudara perempuannya, Mary Olive dan Mercy Lena telah meninggal dunia karena penyakit yang sama. 

Sang Ayah, George Brown, akhirnya mengizinkan warga menggali makam keluarganya untuk menyelamatkan anak laki-lakinya. Mereka terkejut ketika mendapati mayat Mercy tak mengalami pembusukkan. Warga mendapati tubuh Mercy justru tampak terpelihara dengan baik. Mereka pun menusuk tubuh Mercy dan kaget bukan main saat tubuh itu masih mengeluarkan tetesan darah.

Peristiwa itu membuat warga cepat menyimpulkan bahwa Mercy adalah seorang vampir. Mereka pun membuat ritual dengan mengambil hati Mercy dan membakarnya. Lalu, abu itu diberikan kepada Edwin untuk dilahap sebagai metode penyembuhannya. Kira-kira apa yang terjadi setelah Edwin memakannya? Apakah batuk-batuknya sembuh atau justru semakin batuk-batuk karena tersedak serpihan mirip debu?

Jawabannya, Edwin tetap saja meninggal. Ritual itu dianggap gagal. Peristiwa itu memicu kepanikan massal dan dicap sebagai pandemi vampir. Peristiwa ini membuat Rhode Island dikenal sebagai “ibukota vampir”.

Penelitian Dokter Akhirnya Mengakhiri Pandemi Vampir
Pandemi vampir memicu oknum-oknum dukun untuk mencari lahan bisnis, mereka menjual jasa keliling dengan berbagai ritual. Para aparat kota juga mengeluhkan kehadiran para dukun ini, semakin membuat kepanikan tak terkendali.

Titik terang akhirnya muncul ketika para dokter gigih melakukan penelitian. Pada akhir abad ke-19, seorang dokter dan ahli mikrobiologi asal Jerman, Robert Koch, yang menemukan bahwa penyakit batuk-batuk itu adalah TBC. Sementara, tubuh Mercy Lena yang tak lekas membusuk disebabkan cuaca New England yang saat itu sedang dingin, sehingga jasadnya menjadi lebih awet—seperti dimasukkan ke dalam freezer kali ya.

Hal ini membuat kepanikan masyarakat mulai mereda. Penyakit itu bukan dari setan, tapi memang ada penjelasan ilmiah. Yah, meski menyedihkannya, obatnya belum pula bisa ditemukan. Melanjutkan penelitian dari Koch, Dr. L. Trudeau melakukan penelitian lebih lanjut di Saranac Lake, New York. Pada 1880-an hingga satu dekade berikutnya, Trudeau membuka sanatorium untuk merawat pasien TBC. Mereka dibiarkan duduk berjemur dan menghirup udara segar untuk mengurangi sakitnya. Sanatorium segera dibuka berceceran di New England. 

Pemerintah juga terus menyuarakan pencegahan TBC lewat Hari Pencegahan penyakit, 12 Oktober 1914. Akhirnya, kasus TBC mengalami penurunan tajam sejak tahun 1920-an. Memasuki tahun 1943, seorang dokter bernama Selman A. Waksman menemukan bakteri yang menciptakan streptomisin antibiotik untuk mengatasi TBC.

Walaupun saat itu antibiotik itu tak menjamin TBC itu akan kambuh lagi. Tapi setidaknya, dengan segala penemuan rasional ini, warga langsung menepis pelimpahan kesalahan pada sosok vampir atas meninggalnya banyak orang, padahal penyebabnya adalah sebuah bakteri.

Yah, bersyukurlah di era modern ini, penanganan TBC sudah jauh lebih baik. Dan jangan lupa, pakailah masker untuk mencegah penularan penyakitan pernapasan. Apalagi, beberapa tahun ini, kita juga sedang dilanda batuk-batuk baru yang disebut Covid-19, bukan?