Tuhan itu Trans

Tuhan itu Trans: Dari Sophie Xeon untuk Dunia


Menyebut Sophie Xeon jenius adalah penghinaan. Masalahnya, saking terlalu sering dipakai oleh penulis musik, kata ‘jenius’ jadi kehilangan makna. Saya sendiri bingung adakah diksi yang tepat untuk membungkus kekaguman saya terhadap Sophie Xeon.

Saat Sophie Xeon meninggal pada 2021 silam, tak hanya para penggemar, rekan sesama pesohor ikut merasa kehilangan. Musisi asal Prancis, Chris, yang dikenal dengan grup Christine and the Queens misalnya, lekas-lekas merespons rasa kehilangannya lewat utas untuk Sophie.

“Sophie adalah produser yang luar biasa, seorang visioner, seorang yang menjadi acuan. Dia memberontak melawan masyarakat yang berpikiran sempit dan normatif dengan menjadi pemenang mutlak, baik sebagai seniman maupun sebagai perempuan. Aku tidak percaya dia sudah pergi. Kita perlu menghormati dan menghargai kenangan dan warisannya. Jangan pernah lupakan para peretas jalan,” ujar Chris.

Kehilangan mendalam juga dirasakan oleh pemenang Grammy Award empat kali Sam Smith yang menyebut kehilangan Sophie bagaikan kehilangan malaikat. “Dunia kehilangan salah satu malaikat. Seorang visioner sejati dan ikon generasi kita. Cahaya Sophie akan terus menginspirasi banyak orang untuk generasi mendatang,” tulis Sam Smith. 

Sophie meninggal dunia dengan sangat mengejutkan.

Di ujung Januari 2021, ia berniat menyaksikan bulan purnama dari balkon apartemennya di Athena, Yunani. Malang tak dapat ditolak, ia terpeleset dan jatuh. 

Kamu betul, tanpa Sophie, dunia mungkin tetap berjalan seperti biasa. Tapi, andai Sophie berumur panjang, ia mungkin akan terus mengeksplorasi segala kemampuan musik dan kesadaran politik dalam dirinya; ia akan menginspirasi banyak hal kepada pendengarnya.

Sophie lahir pada 17 September 1986 dan dibesarkan di Glasgow, Skotlandia. Semasa kecil, ayahnya kerap memutar kaset musik elektronik di mobil dan mengajak Sophie ke pesta rave. Bak anak kecil dapat mainan, Sophie dalam sekejap langsung jatuh hati kepada musik.

"Saya menghabiskan seluruh waktu saya mendengarkan kaset-kaset itu. Saya mencurinya dari mobil,” ujar Sophie dalam sebuah wawancara. 

Tak puas menjadi pendengar, ia meminta keyboard sebagai kado ulang tahun kepada sang ayah. Begitu permintaan dikabulkan, Sophie segera tenggelam dalam penciptaan musik–sejak usia 9 tahun. Setahun kemudian, ia mengungkapkan keinginan yang bikin orang tuanya kelojotan: ingin berhenti sekolah dan fokus jadi produser musik. Permintaannya kali ini tak dikabulkan. 

Tapi hasrat bermusik Sophie makin menggebu. Saban hari ia hanya mengurung diri di kamar, mendengar dan mencipta musik. Ini terus berlangsung sepanjang masa remajanya. Kelak, ia memulai karier profesional dengan membentuk sebuah band bernama Motherland. Di band itu, ia bersama rekannya Sabine Gottfried, Matthew Lutz-Kinoy, dan Marcella Dvsi bermimpi bisa hidup dari musik. 

Serangkaian aktivitas dimulai, dari merekam lagu bersama hingga manggung di Berlin dan Inggris selama 2008–2009. Tapi Sophie, sebagaimana orang jenius lainnya, tak bisa menghentikan sejuta ide liar di kepalanya. Berbekal pengalaman yang sudah dilalui, Sophie memulai debut berjudul “Nothing More to Say” yang  dirilis pada Februari 2013 melalui label Glaswegian, sebuah label rekaman yang berbasis di London Selepas merilis debut, di pertengahan 2014, Sophie makin menggila dan banyak berkolaborasi dengan musisi terkenal seperti Madonna, Kim Petras, Charli XCX dan Bibi Bourelly.

Berbagai kolaborasi membuat nama Sophie dikenal. Hingga di tahun 2018, Sophie menunjukkan siapa dia sesungguhnya melalui album bertajuk Oil of Every Pearl's Un-Insides. Album ini juga menempatkan Sophie menjadi seorang visioner dalam industri musik. Ia mengenalkan genre baru yakni hyperpop ke industri musik yang lebih besar. Hyperpop lantas menjelma tak hanya sebatas genre, tapi sebuah keyakinan jika tiap musik akan memiliki penggemarnya sendiri.

Melalui musiknya, ia berhasil memadukan bebunyian ekstrim dan sesuatu yang indah secara bersamaan. Sophie meninggalkan warisan untuk orang yang yakin jika musik tak sebatas bebunyian semata.

Perayaan Identitas Transgender

Album Oil of Every Pearl's Un-Insides ini menuai pujian dari kritikus musik. Album tersebut lantas mendapat nominasi untuk Best Dance/Electronic Album di Grammy Awards Tahunan ke-61. Di periode ini pula, Sophie dengan lantang berkata bahwa ia seorang transgender.

Pengakuan ini menuai pujian sekaligus kritikan. Musik yang ia mainkan saja sudah terdengar ribet di kuping orang awam, ditambah lagi pengakuannya sebagai transpuan di dunia yang sama sekali tidak ramah bagi teman-teman trans.

Saya bahkan tidak berani membayangkan bagaimana publik merespons hal ini. Menurut saya, punya nyali dan keberanian yang tinggi saja tidak cukup, dibutuhkan juga keyakinan yang sangat solid—dan saya menangkap sebersit harapan bahwa Sophie ingin dunia yang lebih baik bagi LGBTQ+—untuk melakukan move ini.

Dalam sebuah wawancara, saat ditanya apakah ia percaya tuhan, dengan santai ia menjawab, “Tuhan itu Trans.” 

Mari kita simak secuplik wawancara Sophie dengan Paper Magazine  pada Juni 2018.

Bagaimana proses kamu memahami menjadi transpuan dan bagaimana hal itu mempengaruhi hidupmu?

Pemahaman terhadap gagasan penting tentang transgender mengubah segalanya. Karena hal tersebut memungkinkan tak ada lagi ekspektasi yang didasarkan pada tubuh sebagai tempat kamu dilahirkan, atau bagaimana kehidupan kamu seharusnya berjalan dan bagaimana seharusnya berakhir. Model keluarga tradisional dan struktur kendali dengan sendirinya menghilang.

Apa makna transness buat kamu?

Bagi saya, transness adalah mengambil kendali buat menjadikan tubuhmu lebih selaras dengan jiwamu, sehingga keduanya tidak saling berkelahi dan berjuang untuk bertahan hidup. 

Di dunia ini, kamu bisa lebih dekat dengan perasaan dan esensi sejati mengenai dirimu tanpa adanya tekanan masyarakat. Artinya kamu bukan seorang ibu atau ayah, melainkan kamu adalah individu yang memandang dunia dan merasakan duniamu sendiri. Dan menurut saya, hal ini lebih manusiawi dan universal.

Bagaimana masyarakat mendikte gender?

Itu tradisi. Kalau kamu straight from the factory (istilah dalam konteks ini merujuk pada individu yang sesuai dengan norma gender tradisional) kamu diharuskan memiliki tampilan tertentu dan disertai dengan daftar berisi faktor-faktor tertentu. Hal-hal itu harus kamu penuhi. Namun, karena tubuh lahirmu, kamu memiliki kewajiban untuk memenuhi sebanyak mungkin dari faktor-faktor itu, dan itulah yang mendefinisikan kesuksesanmu.

Sebagai individu trans, hal ini lebih tentang menjalani proses untuk menemukan dirimu sendiri. Ada sesuatu yang lebih bersifat spiritual tentang hal itu, dan apa yang mungkin terjadi setelah kamu mencapai titik itu adalah kemampuan untuk melihat orang lain tanpa penilaian—bukan seolah-olah ada yang mencoba mengambil sesuatu darimu, melainkan dengan keterbukaan.
 
Apakah Anda mengundang orang lain untuk menganut filosofi tersebut?

Saya pikir filsafat adalah cara yang berbahaya untuk menggambarkannya. Tidak ada lagi aturan di sini. Intinya adalah kamu diberi wewenang untuk memilih sendiri apa yang dirasa benar-apa yang memungkinkan kamu menjalani hidup sebaik mungkin.


Amerika, Tanah Kebebasan tapi Kok Kayak Bajingan?

Sophie secara terang benderang dan bangga mengungkap jati dirinya dalam wawancara itu. Namun, saya merasa ia mengucapkannya dengan penuh pertimbangan dan kehati-hatian. Jawaban-jawaban Sophie yang terasa sangat terukur membuat saya bertanya: bagaimana mungkin industri di Amerika Serikat–tempat Sophie dipuja–yang begitu keras menampilkan citra negara yang menjamin kebebasan berekspresi, tapi dengan sendirinya masih takut terhadap orientasi seksual seseorang?

Dalam beberapa tahun terakhir, jualan gerakan anti-LGBT di Amerika Serikat laris manis bak kacang goreng. Gerakan ini merupakan reaksi politik konservatif yang sedang berlangsung, termasuk kecaman dari anggota parlemen dan pemimpin kongres, terhadap kelompok LGBT yang mencakup pembatasan penggunaan kamar mandi, larangan layanan yang meneguhkan gender,, undang-undang kurikulum anti-LGBT, undang-undang yang melarang pertunjukan yang berisi transpuan, pelarangan buku dan boikot terhadap hal semacam itu.

Di rentang tahun 2018 dan 2023 misalnya, ratusan rancangan undang-undang anti-LGBT telah dipertimbangkan, dan lebih dari seratus rancangan itu disahkan menjadi undang-undang. Serangan balik ini secara luas dianggap sebagai kepanikan moral dan bagian dari perang budaya yang lebih besar di Amerika Serikat. Para ahli mengecam gerakan tersebut dan menyebut kebijakan anti-LGBT sebagai contoh kemunduran demokrasi.

Sebenarnya, gerakan anti-LGBT sudah berlangung sejak lama. Di masa lalu, kelompok Christian Right tanpa kenal lelah menentang hak-hak lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Christian Right pada tahun 1980-an menggunakan tema dan retorika anti gay  mengumpulkan uang dan memotivasi anggotanya, tapi tidak efektif dalam menjangkau individu di luar basis keanggotaannya yang relatif sempit. 

Pada era 1990-an dan 2000-an, sejumlah kelompok Kristen Kanan turun tangan. Dengan dominasi yang mereka miliki, kelompok ini secara khusus gencar menyerang isu-isu LGBT. Kelompok ini memfokuskan perhatian untuk memberikan penyuluhan kepada keluarga dengan menyusun agenda “homoseksual radikal”. Seiring berjalannya waktu, polemik pro-LGBT dan anti-LGBT terus menyala di Amerika Serikat.

Ironi ketika kita menyadari, di satu sisi industri hiburan seperti film, komedi dan musik di Amerika Serikat secara aktif mencitrakan bahwa masyarakat mereka adalah kolam berisi manusia-manusia bebas, tapi di dalamnya sendiri kampanye penuh kebencian, ketidakadilan rasial dan gender, dan ekstremis Kanan masih sangat dominan bahkan di dalam pemerintahannya.

Kepala saya mau pecah membayangkan hal ini, harap maklum, pemahaman saya tentang Amerika Serikat muncul lewat acara televisi, film, dan musik glam rock. Menggali lebih dalam tentang Sophie bikin otak saya seperti layangan putus. Saat menulis artikel ini dan mencari lebih jauh tentang bagaimana Amerika Serikat bekerja, bagi saya, lebih sulit memahami Amerika Serikat dibanding memahami musik yang dimainkan Sophie.