Tujuh Tokoh Indonesia Ini Layak Dibikin Film
Mahmud Arifin
Ada masanya bioskop Indonesia dipenuhi oleh film-film tentang pahlawan nasional, mulai dari Tjokroaminoto, Sukarno, hingga Hasyim Ashari. Sekarang sudah jarang. Jujur, perfilman Indonesia hari ini lebih asyik sejak tidak ada lagi film pahlawan. Masalahnya, film-film biopik pahlawan umumnya hagiografis belaka. Cuma bicara yang baik-baik—mirip entri politikus-politikus Indonesia di Wikipedia.
Kedua, film-film ini tidak pernah diniatkan sebagai evaluasi serius atas tokoh beserta pikiran dan tindakannya, serta tokoh dan situasi zamannya. Jadi, wajar jika biopik Indonesia bisa dibilang sudah mengarah ke cult of personality.
Bukan artinya kita harus berhenti memfilmkan masa lalu. Sejarah itu biasa saja dan tidak ada yang adiluhung darinya—hanya politikus Indonesia dan filmmaker heroik yang berpikir demikian. Jika kita ingin masa lalu kita lebih punya rasa dan tidak cuma diisi slogan, tokoh-tokoh di bawah ini sudah lebih dari layak untuk diangkat ke layar lebar.
Oh iya, Hanung Bramantyo di-skip dari daftar ini karena terlalu sering membuat biopik.
Njoto: Garin
Tidak ada tokoh PKI yang bisa mempesona kalangan anti-komunis selain Njoto. Kebanyakan orang PKI puritan. Anti-molimo. Hanya Njoto yang tidak. Dia masih bisa mengapresiasi “film barat”, selera kulturnya agak borju, dan sebelum PKI bubar, ia dilucuti dari semua jabatannya di partai karena terlibat affair dengan penerjemah Rusia. Wajar jika di sampul majalah Tempo beberapa tahun lalu, Njoto, salah satu pencetus Lembaga Kebudayaan Rakjat (Lekra), digambarkan memegang saksofon.
Karena kehidupannya yang ‘berwarna’ itulah Njoto tnampaknya cocok jadi bahan biopik Garin Nugroho. Njoto akan tampil di atas panggung dengan tari-tarian Jawa Pantura, lalu sejenak diinterupsi Bimbim dan Kaka Slank, sebelum akhirnya meniup saksofon bersama seorang tentara Jepang yang baru keluar dari gua Jepang. Ketika Saksofon ditiup pun, yang muncul bukan musik melainkan aforisma-aforisma yang digali dari Marxisme: Ilmu dan Amalnja (1963).
Dasarnya sutradara posmo, Garin akan membuat penontonnya sadar bahwa ini hanya film, bukan representasi setia atas subjeknya. Bahkan melalui film ini, pernah-tidaknya Njoto lahir ke dunia tiba-tiba debatable. Maka dari itu, karakter Njoto tidak boleh dimainkan oleh satu orang.
Rekomendasi pemeran Njoto:
Tien Soeharto: Werner Herzog
Sekilas, Sofia Coppola adalah sutradara yang paling tepat menggarap biopik Tien Soeharto. Tien adalah Marie Antoinette-nya Indonesia sebagaimana Imelda Marcos adalah Antoinette-nya Filipina. Bedanya, meski kelakuan Tien sekeluarga menguras kas negara, ia kurang terlihat glamor, tidak dikenal suka pesta, dan tidak digilotin rakyat. Tapi mungkin begitulah Antoinette edisi Jawa: tata krama nomor satu dan tidak gemar keributan di publik.
Satu hal lagi yang membuat Coppola kurang cocok menyutradarai biopik Madame Tien: karakter-karakter dalam filmografi Coppola tidak pernah membuat proyek monumental dengan banyak korban. Proyek mercusuar Tien, Taman Mini Indonesia Indah, menggusur ribuan warga dari tanah mereka. Kualitas semacam itu hanya muncul di diri karakter-karakter fanatik di film-film Werner Herzog seperti Fitzcarraldo. Ceritanya tentang ambisi konglomerat brengsek yang mempekerjakan penduduk asli Peru untuk memindahkan sebuah kapal ke atas gunung.
Rekomendasi pemeran Tien Soeharto:Yang paling cocok memerankan Madame Tien Percent adalah August Melasz.
Cut Zahara Fona: Steven Spielberg
Pada 1970an, Cut Zahara Fona berani membuat elit-elit Indonesia memperlihatkan kedunguan mereka. Dia mengaku mengandung janin yang bisa melantunkan ayat-ayat Al-Quran. Aslinya, ia menyimpan tape recorder di balik pakaiannya. Tien Soeharto-lah yang membongkar penipuan itu. Dari sana jelas sudah: Cut Zahara Fona adalah nemesis Tien Soeharto dan karena itu dia adalah sobat taktis kita semua.
Kisah Cut Zahara Fona memang singkat, tapi bisa mengundang berbagai imajinasi untuk dijadikan film panjang. Pertama, Cut Zahara Fona adalah early adopter di saat tape recorder belum terlalu terkenal di Indonesia. Dia Dia sangat tech-savvy ketika banyak penipu sezamannya masih beroperasi dengan guna-guna. Jika ia masih hidup tujuh tahun lalu, ia akan beroperasi dengan duit kripto. Kedua, dia jelas paham sosiologi elit Indonesia yang nalarnya masih berkabut logika mistika kendati mengaku terpelajar. Pendeknya, dia bukan sembarang kriminal yang bisa Anda jumpai di terminal bus. Ketiga, ada rekam jejak yang tidak diketahui sebelum ia beroperasi. Ia bisa saja agen Peking, agen Stasi, agen MIT Turki, atau agen judi slot (yang juga tidak jauh-jauh dari penipuan). Kalau pun tidak, dia bahkan bisa mengaku-ngaku sebagai bagian dari keempatnya—toh kita semua akan percaya.
Tentu Spielberg, yang pernah menggarap film tentang penipu (Catch Me If You Can) adalah sutradara yang cocok. Ini pilihan no brainer. Lebih no brainer lagi jika Reza Rahardian memerankan Cut Zahara Fona.
Rekomendasi pemeran Cut Zahara Fona: [Kasih foto] Reza Rahardian
Semua karakter di film Pengkhianatan G-30S/PKI: Gillo Pontecorvo
Oke, ini agak serius.
Awalnya saya kira Pengkhianatan G-30S/PKI akan tepat berada di tangan Ari Aster, sutradara Hereditary dan Midsommar. G-30S/PKI adalah film horor. Anda bisa menyaksikan berbagai adegan gore di sana dan hanyut dalam scoring horor ala Emby C. Noer, yang entah mengapa terdengar seperti scoring pembuka film Danton (1983). Masalahnya, karakter-karakter villain di G-30S/PKI terlanjur dianggap setan sejak 1 Oktober 1965 hingga hari ini. Trope pemujaan setan bahkan bisa dilihat saat sukarelawan PKI menari-nari di tengah sekuens penyiksaan dan pembunuhan para jenderal. Ari Aster tentu bisa menggarap topik ini. Tapi buat apa? Sudah hampir 60 tahun PKI dianggap lebih setan daripada setan itu sendiri.
Maka, sutradara yang paling cocok merekonstruksi peristiwa 1 Oktober 1965 adalah Gillo Pontecorvo, sutradara Battle of Algiers. Bukan karena dia marxis, tapi karena Pontecorvo adalah sutradara yang bisa bersikap dingin baik kepada kawan maupun lawan. Battle of Algiers adalah analisis tentang insurgensi dan kontra-insurgensi dalam proses dekolonisasi Aljazair pada 1960an. Ia menggambarkan kekejaman di kedua belah pihak tanpa menjadikan militan Aljazair malaikat dan agresor Prancis di kubu iblis iblis. Dekolonisasi Aljazair adalah peristiwa yang menghadapkan Aljazair dan Prancis sebagai dua pihak yang memiliki kepentingan tak terdamaikan. Dan itulah realisme politik yang ia tawarkan.
Tidak boleh ada aktor profesional di film ini.
Sudjono Humardani: Joko Anwar
Bagi Joko Anwar, sejarah Indonesia tidak digerakan oleh gagasan dan materi. Plot sejarah Indonesia melaju berkat mistik, komplotan satanis, dan gangster. Sudjono Humardani cocok mengisi perbendaharaan karakter dalam semesta Joko Anwar.
Lazimnya politik di mana pun, politik Indonesia tidak diatur oleh satu-dua orang yang benar-benar terlihat berkuasa. Ada pemain-pemain di balik tirai yang seringkali lebih berpengaruh dan kadang melakukan kerja-kerja kotor untuk penguasa resmi. Cardinal Richelieu punya François Leclerc du Tremblay, Mao Tse-tung punya Jiang Qing, dan Soeharto punya Sudjono Humardani.
Humardhani, jenderal ‘dukun’ dengan cukuran ala Michael Jackson pra-operasi plastik (https://tirto.id/jenderal-yang-jadi-dukun-kepercayaan-soeharto-cFVg), menempati posisi luar biasa strategis: asisten pribadi urusan ekonomi dan perdagangan. Pengusaha yang ingin mendekati Cendana konon harus sowan ke Humardhani, yang juga dikabarkan jadi bohir think tank CSIS sekaligus penasihat spiritual Soeharto.
Tentu banyak politisi Indonesia punya penasihat spiritual, tapi tidak semua kejam seperti Soeharto. Langka pula dukun berlatar belakang militer, meski menurut Benedict Anderson tentara Jawa umumnya berjiwa mistis. Perpaduan inilah yang mampu menjadikan Humardhani Rasputin-nya Indonesia.
Mas Joko, apa situ enggak tertarik bikin karakter berdasarkan Humardhani untuk Pengabdi Setan 3?
Rekomendasi pemeran Humadhani: bisa diperankan oleh Leily Sagita.
Harmoko: Leni Riefenstahl
Pada 4 Juli 2021, Harmoko melahirkan kontribusi terbesarnya untuk umat manusia: ia meninggal dunia. Ia adalah buzzer pertama Indonesia sebelum kata buzzer dicetuskan. Harmoko rajin mengatakan “Sesuaiatu petunjuk Bapak” di depan insan pers dan itulah yang menjadikan Soeharto sosok daddy (baca: Bapak Pembangunan) dalam sejarah indonesia jauh sebelum “daddy” ramai-ramai diucapkan dalam percakapan ngeres. Tak hanya itu, ia adalah juru bisik sang daddy.
Hanya ada satu sutradara yang cocok memfilmkan Harmoko: Leni Rienfenstahl, sutradara favorit Hitler. Hanya Riefenstahl yang mampu membuat fasisme kelihatan agung, glamor, mewah, dan perkasa melalui Olympia dan Triumphs of the Will.
Dalam kehidupan nyata, Harmoko-lah yang akan langsung berusaha mendikte Leni Riefenstahl di lapangan, persis seperti yang dilakukan Goebbels—Harmoko-nya Jerman—hampir 100 tahun lalu.
Rekomendasi pemeran Harmoko: Eeng Saptahadi cocok memerankan Harmoko.
Wiranto: Juraj Herz
Bayangkan adegan ini:. Di tengah pembantaian warga sipil dan bumi hangus Timor Leste, seorang perwira militer masuk studio rekaman. Hatinya pedih menyaksikan provinsi paling bontot Indonesia saat itu memilih merdeka. Dibanding rekan-rekan satu tangsinya yang sudah dan kelak masuk dapur rekaman, suara Wiranto tidak buruk. Di albumnya yang berjudul Untukmu Indonesiaku, ia meng-cover beberapa lagu evergreen. Menurut sebuah tinjauan album perdana ini, Wiranto meningkatkan status lagu-lagu manten itu menjadi setara dengan citypop. (https://tirto.id/bakat-menyanyi-wiranto-sangat-menjanjikan-kok-tak-diseriusi-ei5e)
Pada 2000, setahun sebelum Untukmu Indonesiaku dirilis, Wiranto disebut-sebut terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Leste. (http://www.etan.org/news/2000a/3exec.htm)
Jarak antara pembunuhan dan budaya adiluhung bisa sangat tipis. Hitler gagal masuk Akademi Seni Wina, jadi gelandangan politik, dan akhirnya mengirim 6 juta Yahudi ke kamar gas. Radovan Karadzic menerbitkan puisi lalu membantai rakyat Bosnia. Westerling menyembelih 1.500 orang Sulawesi lalu pulang ke Belanda dan banting setir jadi penyanyi opera.
Wiranto hanya bisa difilmkan oleh Juraj Herz, sutradara new wave Cekoslowakia. Pada 1968, Herz merilis The Cremator, sebuah film yang berkisah tentang Karl Kopfrikingl, seorang man of culture yang terinspirasi ajaran Buddhisme Tibet. Ketika Nazi berkuasa di Ceko, Kopfrikingl, yang bekerja sebagai manajer krematorium, percaya bahwa ribuan Yahudi Praha hanya bisa berbahagia jika mereka semua dikirim ke krematorium. Bukan hanya itu, di akhir film, Kopfrikingl percaya bahwa dirinya adalah Dalai Lama ke-14.
Bukankah bapak kita yang satu itu juga percaya dirinya bisa sekejap menjelma penyanyi, kondektur, sekaligus kuli bangunan?
Rekomendasi pemeran Wiranto: sangat cocok diperankan oleh Gilbert Marciano.