Tuntutan Keadilan yang Tak Boleh Diabaikan

Pentingnya Mengakui Masyarakat Adat Dayak Pitap: Tuntutan Keadilan yang Tak Boleh Diabaikan

Oleh: Kisworo Dwi Cahyono (Direktur Eksekutif Walhi Kalsel)

Di tengah gemuruh pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam yang semakin tak terkendali, suara kaum adat seringkali terabaikan dan dilupakan. Namun, di balik hiruk pikuk itu, terdapat sebuah komunitas adat yang teguh berdiri dan bersuara keras menolak kehadiran industri, yakni Dayak Pitap yang tinggal di Pegunungan Meratus, Kalimantan Selatan. Mereka bukan sekadar penghuni tanah, tetapi penjaga alam, penjaga kehidupan, dan penjaga masa depan.

***

Komunitas ini tepatnya bermukim di Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan, Kalsel yang merupakan kawasan kaki Pegunungan Meratus. Mereka memiliki wilayah adat seluas 22.806 hektar. Di dalam wilayahnya terdapat lima desa yaitu, Desa Kambiyain, Desa Ajung, Desa Mayanau, Desa Langkap, dan Desa Dayak Pitap.

Sejak 1980-an, ketika langkah-langkah pertama perusahaan kayu, industri pertambangan dan perkebunan kelapa sawit mulai mengancam keberadaan mereka, komunitas Dayak Pitap telah mempertahankan tanah dan budaya mereka dengan gigih. Mereka menolak masuknya perusahaan-perusahaan yang hanya melihat tanah mereka sebagai sumber keuntungan, tanpa memperhitungkan konsekuensi yang meluas.

Perjuangan Dayak Pitap mempertahankan tanah leluhur dari gempuran korporasi, misalnya, dimulai ketika perusahaan kayu PT Fass Forest masuk ke wilayah adat mereka di tahun 1980.

Saat itu, perusahaan pemegang izin HPH tersebut mendapat akses dari pemerintah untuk mengeksploitasi hutan di sekitar hulu kawasan adat Dayak Pitap di Pegunungan Meratus. Warga yang geram melakukan protes dengan berulang kali mendatangi kantor perusahaan.

Protes dilakukan karena air sungai di wilayah adat Dayak Pitap mengeruh dari waktu ke waktu, imbas dari eksploitasi hutan dari Fass Forest. Perusahaan berhasil membabat hutan selama tujuh tahun, di tahun terakhir izin korporasi dicabut oleh pemerintah setelah demo dilakukan berkali-kali pada tahun 1987.

Kerusakan alam yang terjadi saat itu membuat mereka sadar bahwa wilayah mereka tak boleh diganggu sama sekali oleh industri skala besar. Terbukti, setelah 10 tahun lebih berlalu, saat perusahaan sawit dan perusahaan tambang berencana mengeksploitasi kawasan adat Dayak Pitap, mereka masih menolak keras.

Dari catatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Selatan, ada sejumlah perusahaan yang “gagal beroperasi” di wilayah mereka. Dari perusahaan sawit (PT Malindo Jaya Diradja) hingga perusahaan tambang biji besi (PT Han In Iron Mining dan Sari Bumi Sinar Karya).

Perusahaan-perusahaan tersebut hanya berhasil membangun kantor dan sejumlah infrastruktur. Namun, kelanjutan operasional perusahaan tak kunjung jelas hingga sekarang. Kegagalan perusahaan merebut wilayah adat Dayak Pitap juga ditopang dengan manuver komunitas setempat melalukan perjuangan yang lebih strategis.

Pada tahun 2001, mereka membentuk Lembaga Musyawarah Adat Dayak Pitap sebagai upaya terkoordinasi untuk memperjuangkan hak-hak adat mereka. Melalui lembaga ini, suara mereka berkumandang lebih keras, tuntutan mereka dituangkan dalam agenda perjuangan yang jelas.

Rumbuk Masyarakat Adat Pitap pada tahun 2002 menjadi bukti nyata ketegasan dan kesatuan komunitas Dayak Pitap dalam menuntut keadilan. Mereka menolak tawaran palsu industri, menuntut perlindungan terhadap tanah adat mereka, dan mendesak pemerintah untuk mengakui hak-hak adat mereka secara resmi. Namun, untuk tuntutan yang terakhir, suara mereka masih seringkali terdengar sebagai teriakan di padang pasir, tak didengar oleh yang berkuasa.

Pemerintah Provinsi Kalsel dan Pemerintah Kabupaten Balangan harus segera mengakomodasi kepentingan-kepentingan masyarakat adat Dayak Pitap. Sebab, perangkatnya sudah ada. Perda Nomor 2/2023 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA) telah disahkan Pemprov Kalsel. Hal ini tinggal ditegaskan oleh pemkab setempat dengan membuat panitia pembentukan masyarakat hukum adat.

Pengakuan hak-hak adat Dayak Pitap bukanlah sekadar tuntutan moral, tetapi kewajiban moral bagi pemerintah dan masyarakat secara keseluruhan. Ini tentang keadilan, tentang keberlanjutan, tentang penghargaan terhadap kehidupan dan keberagaman budaya. Jika kita gagal mendengarkan dan bertindak, kita tidak hanya gagal kepada mereka, tetapi juga kepada diri kita sendiri dan generasi yang akan datang.

Pemerintah harus segera mengambil langkah konkret untuk mengakui dan melindungi hak-hak adat Dayak Pitap. Ini bukan lagi tentang pembicaraan kosong atau janji-janji manis yang terlupakan, tetapi tentang tindakan nyata yang mengubah arah sejarah. Jika kita ingin mewariskan dunia yang lebih baik kepada anak cucu kita, kita harus mulai dengan mendengarkan suara-suara yang sering kali terpinggirkan ini.

Ketika kita melihat dampak negatif yang ditimbulkan oleh eksploitasi sumber daya alam secara tidak berkelanjutan, seperti kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan ketidakadilan ekonomi, jelas bahwa model pembangunan yang ada telah gagal menciptakan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Inilah mengapa pengakuan hak-hak adat Dayak Pitap tidak hanya penting secara lokal, tetapi juga memiliki implikasi yang lebih luas dalam konteks global.

Dengan mengakui dan melindungi hak-hak adat Dayak Pitap, kita tidak hanya menghormati keberagaman budaya dan tradisi lokal, tetapi juga mengambil langkah konkret untuk memperbaiki ketidakadilan struktural dalam pembangunan. Ini adalah kesempatan bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan keberlanjutan yang sejati.

Selain itu, pengakuan hak-hak adat juga dapat menjadi landasan untuk membangun model pembangunan alternatif yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan terkait pembangunan, kita dapat memastikan bahwa kebutuhan dan aspirasi mereka dipertimbangkan dengan baik dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan.

Tentu saja, perubahan tidak akan terjadi secara instan atau mudah. Tantangan seperti resistensi dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan ekonomi yang kuat, birokrasi yang rumit, dan ketidakpedulian terhadap hak-hak masyarakat adat akan terus ada. Namun, dengan tekad yang kuat, kerja sama antar berbagai pihak, dan dukungan dari masyarakat sipil dan internasional, kita dapat meretas jalan menuju keadilan itu.

Agar Lebih Berdaya

Pengakuan hak-hak adat bagi komunitas adat Dayak Pitap adalah langkah penting yang harus diambil oleh pemerintah dan masyarakat secara luas. Namun, pengakuan tersebut tidak cukup jika tidak diikuti dengan upaya konkret untuk mendampingi komunitas adat tersebut dalam mencapai kemandirian ekonomi.

Selama ini, masyarakat Dayak Pitap telah hidup dengan mengandalkan hasil alam seperti karet, durian, padi, rambutan, dan sumber daya alam lainnya. Meskipun demikian, potensi ekonomi mereka belum sepenuhnya tergali karena kurangnya pendampingan yang memadai.

Pembentukan badan usaha berbasis desa atau komunitas adat dapat menjadi salah satu solusi yang efektif untuk membantu komunitas adat Dayak Pitap mencapai kemandirian ekonomi.
Dengan adanya badan usaha tersebut, mereka dapat mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan, meningkatkan nilai tambah produk-produk lokal, dan membentuk jaringan pemasaran yang lebih luas. Dengan demikian, mereka tidak hanya akan lebih mandiri secara ekonomi, tetapi juga lebih tahan terhadap godaan dan tekanan dari korporasi yang sering kali mengintervensi tanah adat mereka.

Tentu saja, peran pemerintah dan berbagai pihak terkait sangatlah penting dalam mengakomodasi hal ini. Pemerintah perlu memberikan dukungan teknis, akses modal, dan perlindungan hukum bagi komunitas adat Dayak Pitap dalam pembentukan dan pengelolaan badan usaha tersebut. Selain itu, berbagai pihak terkait seperti LSM, perusahaan, dan masyarakat sipil juga perlu turut serta dalam memberikan dukungan dan bantuan kepada komunitas adat ini.

Dengan demikian, mendampingi komunitas adat Dayak Pitap untuk mandiri secara ekonomi bukan hanya menjadi tanggung jawab moral, tetapi juga strategis dalam memastikan keberlanjutan ekonomi dan keberlangsungan hidup komunitas tersebut. Langkah ini juga akan menjadi salah satu wujud nyata dari pengakuan hak-hak adat mereka dan upaya memperjuangkan keadilan bagi mereka yang telah lama terpinggirkan.

Sekilas, mungkin apa yang dilakukan mereka terlihat sepele: komunitas kecil yang berjuang melawan kekuatan besar industri dan kepentingan politik dengan perjuangan terbatas. Namun, bila kita menggali lebih dalam, kita akan menemukan lapisan kebenaran yang menyentuh hati nurani. Mereka bukan hanya berjuang untuk diri mereka sendiri, tetapi untuk kita semua, untuk generasi mendatang.