Editorial

VIDEO: Aksi Peduli Monyet

Perlindungan untuk Kawanan Monyet dan Beruk di Indonesia  

 

Aksi Peduli Monyet

Kawanan monyet dan beruk mencari perlindungan hukum kembali terlihat di depan kompleks Manggala Wanabakti, kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Palmerah, Jakarta Pusat. Mereka juga telah terlihat di Kediri sehari sebelumnya, dan bahkan berada di Titik Nol Kilometer Yogyakarta pekan lalu.

Mereka tidak datang sendiri. Bersama mereka adalah Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar, dan sejumlah influencer yang dikenal karena konten mereka tentang satwa liar. Namun, yang menarik perhatian adalah kenyataan bahwa kawanan ini adalah relawan dari Koalisi Primates Fight Back - sebuah gabungan dari berbagai organisasi pelindung satwa, seniman, dan komunitas konservasi di Indonesia.

Tuntutan Perlindungan

Dalam aksi ini, relawan juga menyerahkan setidaknya 51.000 tanda tangan pendukung secara simbolis, yang merupakan akumulasi dari empat petisi yang dimulai oleh anggota koalisi. Keempat petisi ini memiliki satu tujuan yang sama: mendesak pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan hukum yang diperlukan kepada monyet dan beruk.

Audiensi dengan Pemerintah

Penyerahan tanda tangan kemudian diikuti oleh audiensi dengan perwakilan dari Direktorat KKH, Humas KLHK, dan Gakkum KLHK. Pertemuan ini membahas langkah-langkah formal yang perlu diambil untuk menetapkan monyet sebagai satwa dilindungi. Meskipun pertemuan berlangsung hampir satu jam, perwakilan KLHK menolak memberikan pernyataan resmi terkait tuntutan koalisi.

Aksi Teatrikal

Selama aksi peduli monyet ini, pertunjukan teatrikal digelar oleh Wanggi Hoed, seorang seniman pantomim dan anggota koalisi, bersama rekannya, Raheli dan Fernando. Pertunjukan ini menggambarkan penderitaan yang dialami oleh monyet akibat eksploitasi oleh manusia. Wanggi adalah seorang seniman pantomim yang aktif dalam menyuarakan isu-isu sosial, budaya, hak asasi manusia, dan perlindungan satwa liar, termasuk primata di Indonesia.

Panggilan untuk Tindakan

Kehadiran berbagai pihak yang tergabung dalam koalisi di Kantor KLHK hari ini adalah manifestasi puncak keresahan terhadap pengabaian tindak kekejaman yang terjadi terhadap monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan beruk pig-tailed (Macaca nemestrina) oleh pemerintah Indonesia.

Laporan Terbaru

Pada bulan Oktober 2022, Macaque Coalition Asia for Animals menerbitkan laporan berjudul "The Macaque Report: Indonesia's Unprotected Primates." Laporan ini mencatat bahwa keterampilan monyet dalam mencari sumber makanan, bahkan di kawasan tempat manusia tinggal, sering disalahartikan sebagai tanda populasi monyet yang melimpah. Sayangnya, hal ini telah digunakan sebagai pembenaran oleh beberapa pihak untuk melakukan perburuan, pemisahan bayi monyet dari orangtuanya, perdagangan ilegal, penyiksaan, dan pembunuhan massal monyet. Kenyataannya adalah dalam beberapa dekade terakhir, jumlah monyet di alam liar terus menurun.

Panggilan untuk Perlindungan

Fiolita Berandhini S.H. dari Animal Don't Speak Human (ADSH) menegaskan, "Sudah terlalu lama negara melakukan pembiaran terhadap segala tindak kejahatan yang terjadi terhadap monyet dan beruk, yang mengancam hak hidup mereka di hutan. Dengan tidak menetapkan mereka sebagai satwa dilindungi, berarti negara turut andil dalam depopulasi kedua spesies tersebut, dan membiarkan terjadinya konflik serta terganggunya keseimbangan lingkungan."

Peningkatan Eksploitasi

Macaque Coalition juga menggarisbawahi peningkatan nyata eksploitasi monyet, termasuk penangkapan liar yang meningkat, peningkatan ekspor untuk tujuan biomedis, dan konten kekejaman online seperti yang terekam dalam investigasi Narasi berjudul "Indonesia Surga Penjagal Bayi Monyet." Pada bulan Maret 2022, The International Union for Conservation of Nature (IUCN) meningkatkan status monyet ekor panjang dan beruk dari rentan menjadi terancam punah. Populasi kedua spesies ini juga terus menurun akibat alih fungsi lahan untuk pemukiman, kawasan ekonomi, pertanian, perkebunan, dan perburuan.