Wabah Endemik Anglofilia

Apakah kamu punya paling tidak tiga pasang sepatu Dr. Martens di rak sepatumu? Apakah kamu pakai jaket tebal Barbour untuk bergaya di bawah teriknya matahari Jakarta? Apakah kamu suka mengumpat “Bloody hell!” seperti Ron Weasley? Atau kamu punya bendera Union Jack di kamarmu dan menyanyikan “Don’t Look Back in Anger” setiap pagi sebagai pembangkit semangat?

Hati-hati! Mungkin kamu terjangkit Anglofilia–dan ini jauh lebih gawat dari yang dinyanyikan Jamrud di “Asal British”.  

Apa itu Anglofilia?

Anglofilia adalah penyakit keranjingan segalanya yang berbau Inggris. Orang yang menderita Anglofilia –atau disebut juga seorang Anglofil– punya kecanduan akan musik, film, dan segala produk budaya Inggris. Ia juga cenderung memaksakan diri untuk mengenakan merek-merek pakaian keluaran Inggris. Ada juga yang memuja-muja monarki Inggris, dan ngomong menggunakan aksen Inggris. Orang yang terjangkit Anglofilia cenderung memandang Inggris sebagai negeri impian, pusat peradaban, dan penentu standar tingkah laku orang beradab. 

Istilah Anglofil berasal dari kata “Anglophile” yang dicetuskan oleh penulis Charles Dickens di terbitan mingguannya, All the Year Round pada 1864. Namun, penyakit ini sudah ada di dunia jauh sebelum itu.

Sejarah mencatat, filsuf Perancis Voltaire mungkin adalah seorang Anglofil pertama. Dia ketularan penyakit ini ketika tinggal di Inggris tahun 1726-1728. Ketika kembali ke Perancis, dia terus-terusan mengeluh “Kok enggak bisa sih seluruh dunia kayak Inggris aja?” 

Anglofilia juga mewabah di Amerika Serikat. Acara talkshow di televisi Amerika gemar mengundang selebriti Inggris dan meminta mereka menjelaskan bagaimana aksen Inggris bekerja. Media gaya hidup raksasa Amerika, Vanity Fair, mengundang aktris Emily Blunt dan aktor James McAvoy untuk menjelaskan kegiatan orang Inggris dalam satu hari. Media yang sama mengundang aktris Florence Pugh untuk makan dan menjelaskan 11 hidangan khas Inggris. Penulis Inggris Sirin Kale tidak senang dengan fenomena ini, karena hal ini hanya menunjukkan tentang bagaimana orang Amerika melihat Inggris: “...as the bumbling idiots in a Richard Curtis film, driving down dinky single-lane roads and drinking tea out of china sets” alias “orang-orang pandir ala ala karakter film Richard Curtis, yang nyetir di jalanan sempit dan minum teh dari satu set cangkir.”

Ironisnya, kalau warga AS menjadi Anglofil karena melihat warga Britania lucu seperti badut, warga negara-negara jajahan Inggris menjadi Anglofil karena melihat Inggris sebagai Tuan dan Nyonya Adiluhung. 

Ketika Kekaisaran Inggris meluas sampai seperlima wilayah bumi di masa pemerintahan Ratu Victoria, penyakit ingin menjadi orang Inggris menjangkiti banyak penduduk dunia. Masuknya pendidikan ala Inggris dengan efektif menyebarkan nilai-nilai Barat yang dianggap lebih tinggi daripada nilai-nilai budaya asli. Cara berpakaian dan sopan santun ala Inggris dianggap standar, sementara budaya asli pribumi dianggap barbar. 

Hal ini juga dilanggengkan ketika banyak anak bangsawan pribumi dididik dengan cara Inggris dan mulai berpakaian ala Inggris. Kaum elit pribumi Myanmar mengirim anak-anaknya ke Inggris untuk dididik di sekolah-sekolah asrama. Ketika kembali ke Myanmar, mereka kaget menyaksikan keadaan tanah airnya yang seolah tidak beradab jika dibandingkan dengan negeri Inggris. Saking setianya kepada Kerajaan Inggris, mereka ikut berperang melawan kaum nasionalis di era Perang Burma. 

Ironisnya, pendidikan Baratlah yang turut mengantar orang-orang terjajah ke gerbang kemerdekaan.

Bahasa Inggris sejak dulu digunakan oleh banyak penulis dan akademisi bangsa terjajah, khususnya dari India dan Trinidad sehingga lebih mudah diakses oleh pembaca dunia. 

Anglofilia juga menyebar di negara-negara yang tidak terjajah Inggris seperti Indonesia. Penyakit ini menyebar bukan lewat penjajahan ala kolonial, tapi lewat berbagai invasi media populer seperti film, musik, dan serial televisi.

Lalu, apa saja gejala Anglofilia? Apakah kamu juga menderita Anglofilia?

Apa saja gejalanya?

1. GEJALA RINGAN 

Anglofilia cepat sekali menular lewat musik. Pada akhir 1990an ketika Tony Blair menjabat Perdana Menteri, ia mengkampanyekan nasionalisme ala budaya pop dengan slogan “Cool Britania”. Invasi musik pop ini dilakukan dengan pasukan anak-anak muda keren dengan musik asik yang merajai siaran dan tangga lagu MTV di seluruh dunia. Panglima terbesarnya, menurut Time, adalah girl band Spice Girls, dengan Geri Halliwell alias Ginger Spice yang gemar tampil seksi dengan dress mini bercorak bendera Union Jack.

Masa ini juga ditandai dengan menjamurnya band-band Britpop yang sebagian masih dipuja-puja anak skena Indonesia sampai sekarang. Lagu-lagu hits Oasis masih jadi kurikulum dasar anak-anak Indonesia yang sedang belajar gitar secara otodidak, sementara band-band seperti Blur, Pulp, Suede, dan Elastica dipuja-puja oleh penggemar Britpop yang terjangkit Anglofilia gejala ringan-sedang. Mereka semua, hadirin Indonesia sekalian, keranjingan joget keramas di pensi-pensi. 

Penderita skala ringan-agak-berat mungkin akan memuja-muja musisi Inggris ‘80an seperti The Smiths, The Cure, Depeche Mode, atau yang lebih lawas lagi, Joy Division.

Penderita yang lebih akut akan merujuk ke musisi Inggris yang lebih pinggir dengan fesyen yang lebih mencolok seperti yang dipopulerkan British punk, skinhead, dan mods. Banyak anak skena Indonesia yang bela-belain menabung untuk membeli boots Dr. Martens (tadinya dirancang sebagai sepatu kerja yang nyaman untuk ibu-ibu rumah tangga), polo shirt Fred Perry (yang punya sejarah panjang dengan anti-fasisme), atau mantel Barbour (tadinya dirancang untuk berkebun dan berkuda di tengah udara dingin Skotlandia, kemudian meluas ke buruh-buruh pabrik di pinggiran Inggris) karena ingin mengimitasi gaya-gaya idolanya yang mengadaptasi style kelas pekerja di UK.

Kamu pakai Docmart, Fred Perry, atau Barbour bukan karena kamu tergila-gila musik Inggris dan selebrasi budayanya? Mungkin kamu terjangkit penyakit poser.

2. GEJALA SEDANG 

Apakah kamu susah berhenti nonton serial yang Inggris banget, terutama period drama? Anglofil gejala sedang cenderung kecanduan serial TV seperti epos Game of Thrones yang setting-nya terpengaruh sejarah peperangan Inggris abad pertengahan. Atau Peaky Blinders, Downton Abbey, dan The Crown yang memberi gambaran tentang Britania Raya lewat sudut pandang berbagai kelas sosial selama beberapa dekade.

Peaky Blinders memotret Inggris dari sudut pandang kelas pekerja pada era antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Lewat Downton Abbey, kita mengintip Inggris lewat mata kelas aristokrat di masa-masa pasca-Edwardian antara 1912-1926. The Crown membawa kita masuk ke kehidupan keluarga kerajaan Wangsa Windsor dari sejak Ratu Elizabeth II naik tahta pada 1952 sampai tragedi kematian Putri Diana pada 1997. Keempat serial televisi populer ini ditonton jutaan orang di luar Britania Raya, termasuk di Indonesia. Saking populernya, topi pet dipasarkan di toko online Indonesia dengan kata kunci “topi slebew”, plesetan dari nama keluarga Shelby bos geng jalanan Peaky Blinders.

Pengidap Anglofilia gejala sedang juga sering tertangkap basah meniru aksen Inggris seperti di dialog-dialog series tersebut.

Disinyalir, musisi Pamungkas yang lahir dan besar di Jakarta tapi suka ngomong pakai aksen Bri’ish adalah salah satu pengidap Anglofilia gejala sedang.

Apakah kamu suka minum whiskey, pakai topi pet, dan kalau diliatin orang kamu akan teriak “Oi! Whadya lookin at, moaite? Wanna have those fookin’ eyes gouged out, eh?” seakan-akan kamu adalah kroni Tommy Shelby di Small Heath? Cepat ke dokter!

3. GEJALA BERAT

Wangsa Windsor adalah salah satu dinasti Eropa yang–sejauh ini–berhasil lolos dari berbagai gelombang anti-monarki dan tetap populer di mata masyarakat sampai sekarang. Di masa modern, Kerajaan Inggris sering dipandang sebagai kultur yang eksotis dengan Ratu, Pangeran, dan Putri seperti di dongeng. 

Elizabeth, ratu yang berumur 96 tahun, belakangan ini merayakan Platinum Jubilee. Ia bertahan di tahta sampai 70 tahun dan menempati urutan kedua sebagai kepala kerajaan yang paling lama bertahta sepanjang sejarah.

Penggemar teori konspirasi menduga umur panjang Sang Ratu, juga suaminya Pangeran Philip yang baru-baru ini meninggal di umur 99 tahun, adalah vampir dan keturunan langsung Vlad the Impaler dari Transylvania, yang menjadi inspirasi di balik Dracula karya Bram Stoker. Apalagi Elizabeth terkenal alergi bawang putih.

Namun, keluarga kerajaan memang selalu menikmati kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan rakyatnya, dengan tim medis yang selalu siap mengatasi keluhan kesehatan dari masuk angin sampai hemofilia. Menurut jurnalis data Martin Armstrong, keluarga kerajaan Windsor menikmati umur lebih panjang 30 tahun daripada rata-rata rakyatnya, dan menikmati 87,5 juta Pound Sterling tiap tahun dari para pembayar pajak.

Walau fakta itu umum diketahui, orang Inggris senang-senang saja dengan keberadaan monarki. Menurut survey, 8 dari 10 orang memiliki pandangan positif terhadap Ratu Elizabeth II. Memang ada kelompok-kelompok anti-monarki yang ingin menumbangkan Kerajaan dan mendirikan republik, atau kelompok-kelompok nasionalis Irlandia dan Skotlandia yang ingin melepaskan diri dari Inggris Raya. Namun upaya-upaya itu selalu bisa diredam.

Drama kerajaan juga selalu menjamin berita laris dikonsumsi publik. Upacara pentahbisan Ratu Elizabeth II pada 1953 ditonton jutaan orang di seluruh dunia lewat televisi. Di tahun-tahun berikutnya, peristiwa-peristiwa seputar monarki seperti pernikahan akbar Pangeran Charles dan Putri Diana pada 1981, kematian Putri Diana pada 1997, pernikahan Pangeran William dengan Kate Middleton pada 2011, juga tetap menjadi headline maker. 

Ketika Pangeran Harry dan Meghan Markle membeberkan isi dapur keluarganya di wawancara dengan Oprah Winfrey, 17,1 juta orang menontonnya di saluran berbayar CBS.

Anglofilia dengan gejala terberat diderita oleh mereka yang keranjingan menikmati segala sesuatu yang berbau kerajaan atau pemerintahan Inggris. Orang-orang ini menangis tersedu-sedu ketika Pangeran Philip meninggal, atau bilang Meghan Markle adalah cewek matre yang enggak tahu diri, atau benci banget sama Camilla, selingkuhan Pangeran Charles yang ia nikahi setelah kematian Putri Diana, seakan-akan Camilla ibu tiri jahat di sinetron RCTI.

Penderita Anglofilia dengan gejala berat akan sering berkata “Hhh… kenapa sih kita dulu dijajah Belanda, enggak dijajah Inggris aja.” 

Well, mate, sudah pernah cek Uganda, Zimbabwe, Pakistan, dan Myanmar?

Sembuh dari Anglofilia

Diva pop asal AS, Madonna, pernah menjadi bulan-bulanan media ketika terekam ngomong pakai aksen Inggris. Pada 2000 dia berkencan dengan aktor Inggris, Guy Ritchie, dan mulai ikut-ikutan ngomong pakai aksen Inggris yang aneh. Setelah berpisah dengan Ritchie di tahun 2008, Madonna mengaku khilaf dan jijik ketika mendengar rekaman wawancara dirinya pada masa itu. Ia telah sembuh dari penyakit Anglofilia yang ia idap bertahun-tahun.

Jadilah seperti Madonna.

Waspada Anglofilia. Kenali tanda-tandanya.