Wacana Kembali ke Surau, Cuma Basa-basi?

Wacana Kembali ke Surau, Cuma Basa-basi?


TLDR:

Adat Minangkabau menegaskan anak laki-Iaki harus bermalam di surau
Surau di Tanah Minang sudah lama tergusur karena perubahan sosial
Menjamurnya sekolah umum pada awal abad ke-20 menggeser dominasi surau


Kamu pernah mendengar mendengar kata surau atau pernah melihatnya? Kalau belum, aku 
akan menyodorkan sedikit catatan Muhamad Radjab dalam buku Semasa Kecil di Kampung. Radjab merupakan wartawan dan penulis kelahiran Sumpur, Padang Panjang, Sumatera Barat, pada 21 Juni 1913.

((dibikin slide aja))

“Surau ialah sebuah masjid kecil, kebanyakan dari kayu, tempat orang sembahyang setiap hari. Karena masjid besar hanya dipakai pada hari Jumat, maka sembahyang lima waktu dilakukan orang di surau-surau.

Di sanalah pula kanak-kanak dan orang dewasa belajar membaca Alquran, ilmu fikih, dan pengetahuan agama lain-lain. Biasanya surau itu kepunyaan guru agama yang mengajar di sana.

Sesudah mengaji dan sembahyang isya, anak-anak yang masih kecil, dua belas tahun ke bawah, pulang ke rumah orangtuanya; anak-anak muda, dari dua belas tahun sampai dua puluh tahun, tidur di surau. Sebab di Minangkabau janggal jika anak-anak muda tidur di rumah orangtuanya. Mereka sendiri juga malu kepada ipar-iparnya yang datang setiap malam di rumahnya. 

Pemuda yang lebih dari dua puluh tahun, lazimnya telah merantau atau bila di kampung sudah kawin, tidur di rumah istrinya.

Mereka yang tidur di surau, dari rumah orangtuanya masing-masing telah membawa tikar, bantal dan selimut sewaktu mereka akan mulai tidur di surau seperti teman-temannya. Nenek yang rajin beribadat dan sambil menunggu amti akan menyembah Tuhan saja, tidak memikirkan hidup duniawi lagi, ada tua tiga yang tidur di surau, sebab di rumah selalu diganggu anak-anaknya.

Karena itu di kampung-kampung surau yang teramai dikunjungi, dan nenek-nenek yang bertekun di sana siang malam.”

Sejarah Surau

Pengakuan Radjab seakan menggambarkan bahwa di masa lampau surau punya tempat penting di hati masyarakat Minangkabau di masa lampau.  Keberadaan surau ini, bahkan jauh sebelum Islam masuk ke Minangkabau–tepatnya di periode Hindu-Budha di Minangkabau, diyakini bahwa pada 1356 sudah Raja Adityawarman mendirikan sebuah kompleks surau Budha di sekitar Bukit Gombak.

Pada perjalanannya, surau dalam sistem adat Minangkabau menjadi pelengkap yang tak terpisahkan. Membicarakan rumah gadang tanpa membicarakan surau bagaikan makan sayur tanpa garam. Secara tidak langsung, surau berfungsi sebagai tempat berkumpulnya kaum laki-laki remaja dan dewasa untuk semua jenis aktivitas keagamaan dan sosial. Di surau, kamu tak hanya mengaji. Kamu bisa belajar banyak hal lantaran waktu yang kamu habiskan jauh lebih banyak disurau ketimbang di rumah? 

Hah, kok bisa begitu?

Ya, karena adat Minangkabu menegaskan bahwa kaum laki-Iaki tidak mempunyai kamar tidur di rumah ibu mereka, mereka menggunakan waktu malam harinya di surau. Dianggap memalukan bagi seorang anak laki-laki tidur di rumah ibunya. 

Jika masih tidur di rumah, ia akan diejek teman-temannya, terutama apabila di rumahnya terdapat perempuan dewasa yang belum nikah atau saudara perempuannya yang telah nikah. Meskipun ia pulang ke rumah ibunya untuk makan, ia terus tinggal di surau sampai menikah. Setelah menikah, ia hanyalah tamu "yang berkunjung" di rumah isteri­nya, dan bahkan di rumah asalnya. Pada usia tua, jika isteri laki­-laki meninggal atau ia cerai, ia harus kembali lagi tinggal surau.

Selain untuk warga sekitar, surau juga menjadi tempat perlindungan bagi para pengembara, pedagang, dan sebagainya untuk menghabiskan waktu malam mereka ketika melewati desa. Ada banyak kesempatan bagi kaurn laki-laki muda di surau untuk mendengarkan cerita­ cerita mengenai kehidupan di luar desa, yakni, daerah rantau.

Eksistensi surau terus berlanjut sampai Islam masuk. Surau dan Islam seakan perpaduan ciamik yang mangkus melahirkan generasi muda yang tahu makna “adat basandi syarak, srayak basandi kitabullah” itu.

Namun di periode kemunduran dan surau perlahan mulai terjadi di awal abad 20. Masyarakat Islam Minangkabau kala itu berada dalam situasi yang semakin terjepit. Konsentrasi masyarakat terbagi dua hal: 

Tekanan-tekanan ekonomi dan politik dari penjajah Belanda
Ide-ide pembaha­ruan keagamaan dalam segenap aspeknya makin gencar gaungnya.

Namun, kemajuan menjadi tak terbendung. Kota-kota di Minangkabau berkembang dan didatangi para perantau dari daerag lain. Para perantau ini kemudian bermukim di perkotaan bersama anak dan istrinya. Menurut Taufik Abdullah, situasi ini cenderung memperlemah hubungan mamak kemenakan yang dalam sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau merupakan salah satu aspek penting. Dalam sistem matrilineal yang mengedepankan fungsi mamak menjaga anak kemenakan jadi bergeser. Mamak tak lagi memegang peranan penting di keluarga.

Pengalihan tanggung jawab terhadap anak-anak dari mamak kepada ayah berdampak langsung berpengaruh terhadap kehidupan surau. Jika biasanya anak laki-laki tak punya kamar di rumah, kini lantaran fungsi itu berubah, banyak anak laki-laki punya "kamar" di rumah ibunya, Kalaupun anak­ anak disuruh ke surau, itu hanya sekadar untuk belajar memba­ ca AI-Quran, tidak lagi bermalam dan bermukim di sana.

Sementara orang tua semakin cenderung tak menyerahkan anak-anaknya ke surau. Puncaknya ialah ketika Belanda mendirikan semakin banyak sekolah. Pertama kali, Belanda mendirikan HIS (Hollandsch-Inlandsche School) di Bukittinggi, pada 1850. HIS merupakan sekolah dasar bagi anak-anak Belanda dan pribumi. 

Kemenangan kaum liberal di parlemen Belanda pada awal 1900-an membuat pemerintah kolonial Belanda harus menjalani "ethische politiek" dalam artian mereka bertanggung-jawab membangun banyak sekolah di negeri jajahan, tak terkecuali Minangkabau. Sejak awal 1910-an sekolah rakyat (volks-school) mulai didirikan sampai di nagari-nagari Minangkabau. Pada 1913 jumlahnya mencapai 111 buah dan meningkat lagi menjadi 358 dua tahun berselang.

Ya begitulah,  perkembangan politik, ekonomi, dan pendi­dikan di atas menimbulkan perubahan-perubahan hebat terhadap institusi-institusi dan pranata sosial Minangkabau Perlahan-lahan, meminjam istilah AA Navis, surau kami roboh.

Kembali ke Surau, Mungkinkah?

“Mengaji cuma sebentar saja kok gak mau? Mau jadi apa kamu nanti kalo sudah besar? Cepat pergi ngaji sana.”

Kalimat itu sering keluar dari mulut tetangga saya yang sedang memarahi anaknya jika malas mengaji. Saya jadi membayangkan, jika di zaman surau dulu, mungkin saya yang pemalas ini sudah dibanting bolak-balik sama guru ngaji atau buya saya.

Dalam kondisi demikian, surau seakan menjadi jawaban atasan krisis moralitas yang terjadi pada generasi muda sekarang. Seperti kata pejabat di Sumatra Barat yang selalu diulang-ulang: 

“Anak muda sekarang telah hilangnya sumber didikan moral. Kita harus kembali memegang teguh "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah dan kembali ke surau”

Maka dalam kondisi kebingungan itulah, gerakan kembali ke surau” mulai disuarakan. Saya selalu tertawa jika ada politisi Sumatera Barat yang mencoba mengajukan ide tersebut. Seperti pernyataan Ketua DPRD Pessel, Ermizen pada tahun 2023 lalu. Ia meminta Pemkab Pesisir Selatan (Pessel) diminta untuk meningkatkan dan menggalakkan program kembali ke surau atau masjid guna menjauhkan anak-anak muda dari kenakalan remaja.

“Kita ingin bagaimana kenakalan remaja di daerah ini bisa diatasi. Ini saya sampaikan karena beberapa waktu terakhir cukup banyak remaja atau pelajar yang diamankan Satpol PP karena melakukan perbuatan yang melanggar. Seperti menghisap lem, keluyuran pada jam belajar, bahkan ada yang duduk berduaan berpacaran di tempat sepi tanpa rasa malu dan takut dosa,” ungkapnya.

Maka itulah, pernyataan “kembali ke surau” bak pepesan kosong saja dan berakhir sebatas wacana. Lagipula, tak ada satu pun pejabat publik itu yang sanggup menerangkan secara rinci sejarah surau atau relevansi surau dengan kondisi hari ini sampai bagaimana teknis detailnya jika gerakan “kembali ke surau” mulai dijalankan. Surau seakan jadi satu obat mujarab yang dipakai untuk menyembuhkan segala penyakit. Padahal tiap penyakit beda cara menyembuhkannya. 

Akhirul kalam, saya ingin mengajukan dua pertanyaan kepada orang, pejabat atau siapa pun yang selalu mengemukakan gerakan kembali ke surau: Bisakah jelaskan apa itu kembali ke surau dan bagaimana teknisnya?