Wahabisme: Dipakai, Direproduksi, dan Berusaha Dibuang Dinasti Saudi

Akhir pekan lalu, pemerintah Kerajaan Arab Saudi mensponsori perayaan bertajuk Horror Weekend di Riyadh Boulevard. Laki-laki dan perempuan berkumpul di tempat tersebut. Mereka mengenakan busana seram. Suasana acara persis perayaan Halloween. Hajatan ini menjadi yang pertama dalam sejarah negara monarki Islam ini. 

 

“Saudi sedang berubah,” kata Abdul Aziz Khaled, salah seorang peserta acara tersebut kepada The New York Times

 

Sejak ditunjuk sebagai putra mahkota pada 21 Juni 2017 lalu, Muhammad bin Salman (MbS) memang membuat banyak perubahan radikal pada hukum Arab Saudi. Ia memperbolehkan perempuan menyetir kendaraan, mengizinkan laki-laki dan perempuan berkumpul di satu tempat, membuka bioskop, sampai mengizinkan konser musik.

 

Hukum Kerajaan Arab Saudi berlandaskan hukum Islam. Selama ini, hukum Islam tersebut didominasi interpretasi yang bersandar pada doktrin Wahabisme, yang berakar dari pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab, ulama kharismatik bermazhab Hambali yang hidup pada awal abad ke-18. 

 

Salah satu rujukan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab adalah karyanya yang berjudul Kitab at-Tauhid. Di dalamnya ia menerangkan tentang keutamaan tauhid atau keesaan Allah. Ia pun menjelaskan tentang syirik atau menyekutukan Allah, termasuk perbuatan yang bisa membuat umat Islam terjebak ke dalamnya seperti tawassul atau berdoa melalui perantara. 

 

Berdasarkan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab tentang tauhid itu pula pengikutnya menjuluki diri sebagai muwahhidun atau penjaga keesaan Allah. Sementara, julukan Wahabisme lebih banyak digunakan orang-orang di luar mereka sebagai bentuk peyoratif atas ajaran Muhammad bin Abdul Wahab. Tapi, istilah Wahabisme juga digunakan para cendekiawan dalam karya-karya akademiknya.

 

Secara sederhana, pemikiran utama Muhammad bin Abdul Wahhab adalah mengembalikan Islam seperti era Nabi Muhammad dan pengikut awalnya atau salafus shalih. Referensi hukum utama Wahabisme adalah al-Qur’an dan sunnah (perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad). Pemikiran ini dikenal sebagai pemurnian ajaran Islam.

 

Sehingga, segala ajaran dan tindakan yang tak sesuai dengan al-Qur’an dan sunnah dianggap menyimpang dan dilarang. Kegiatan-kegiatan yang kini dilonggarkan MbS sebelumnya tergolong tindakan menyimpang tersebut dan dilarang dalam hukum Arab Saudi. 

 

Tak sekadar mengubah hukum, MbS pun pada 3 Maret 2022 lalu menyatakan Wahabisme bukanlah ideologi dan identitas Arab Saudi. Seperti dilansir Saudi Gazette, ia pun mengatakan “Muhammad bin Abdul Wahab bukan nabi. Ia juga bukan malaikat. Ia hanya seorang ulama sebagaimana ulama lainnya yang pernah hidup di awal pendirian Saudi, di antara para pemimpin militer dan pemimpin politik.” 

 

MbS pun lebih lanjut menegaskan tak boleh ada satu pihak pun yang memaksakan ajarannya dan menjadikannya satu-satunya paham di Arab Saudi. “Mungkin itu (Wahabi) pernah menjadi sejarah kami, seperti yang pernah saya katakan tepatnya pada era 1980-an, 1990-an, dan awal 2000-an. Hari ini, kami berada dalam jalur yang benar.” 

 

Pernyataan MbS tersebut tak bisa menafikan fakta bahwa pemerintah Arab Saudi telah secara sengaja memanfaatkan Wahabisme sebagai mitos politik untuk melegitimasi kepentingannya lebih kurang tiga abad ke belakang. 

 

Era Pra-Modern: Ibnu Saud Menaklukkan Arab dengan Pedang Wahabi 

 

Semua mitos politik selalu dibangun di atas narasi peristiwa masa lalu yang disajikan secara selektif untuk mendukung kepentingan penguasa. Begitu juga Wahabisme di tangan dinasti Saudi. 

 

Peristiwa itu adalah perjanjian antara Muhammad bin Saud dan Muhammad bin Abdul Wahab pada 1744. Sultan Alamer, doktor ilmu politik di Universitas George Washington, menyebut narasi peristiwa ini kerap dimulai dengan biografi Muhammad bin Abdul Wahhab. Ia digambarkan sebagai pembaharu Islam yang mengembara di sepanjang Semenanjung Arab untuk mencari dukungan dan perlindungan politik. 

 

Dalam pengembaraan tersebut, Muhammad bin Abdul Wahhab akhirnya tiba di Diriyah, sebuah daerah di tengah Semenanjung Arab. Lalu, ia bertemu dengan Muhammad bin Saud sebagai pemimpin wilayah tersebut yang menerimanya dengan tangan terbuka. 

 

Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Saud kemudian membuat perjanjian kerja sama. Isinya kurang lebih Muhammad bin Abdul Wahab akan mendukung pemerintahan Muhammad bin Saud dan tak akan berpaling kepada kubu politik lainnya. Sementara, Muhammad bin Saud akan membantu menyebarkan ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab yang dianggap sebagai bentuk Islam murni. 

 

Narasi tersebut memberi pewaris tahta Muhammad bin Saud dukungan politik dari para pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab. Begitu juga memberi legitimasi pada setiap langkah politik Kerajaan Arab Saudi. 

 

Misalnya, dalam upaya Raja Abdul Aziz bin Saud yang lebih dikenal sebagai Ibnu Saud menaklukkan Semenanjung Arab. Dengan bantuan Ikhwan, milisi bentukan ulama-ulama Wahabi dengan tujuan menyebarkan ajaran Islam yang dianggap murni, Ibnu Saud berhasil memenangi sejumlah perang melawan penguasa dan suku Arab lain pada awal abad ke-20. 

 

Salah satunya adalah kemenangan melawan klan Rashidi dalam Perang Hail pada 1922. Kemenangan ini memberi angin segar bagi Ibnu Saud untuk mengalahkan klan Hasyim, keturunan Nabi Muhammad, yang saat itu menguasai Hijaz dua tahun setelahnya. 

 

Dalam pidato pada 1929, seperti termaktub dalam al-Mushaf wa al-Saif, Ibnu Saud mengatakan “kami tidak membawa sesuatu yang baru. Muhammad bin Abdul Wahhab tidak datang dengan sesuatu yang baru. Akidah kami adalah akidah generasi awal muslim yang bersandar pada al-Quran dan sunnah.” 

 

Era Modern: Menyebarkan Wahabisme, Menguatkan Geopolitik

 

Pada 1932, Ibnu Saud memproklamasikan negara Kerajaan Arab Saudi modern seperti yang kita kenal saat ini.

 

Di era modern, narasi hubungan dinasti Saudi dengan Wahabisme kian diperkuat. Termasuk dengan secara de facto memberi ruang para ulama Wahabi terlibat dalam pemerintahan mengurusi keagamaan. Misalnya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, ulama Wahabi terbesar dalam sejarah Arab Saudi modern, yang menempati banyak pos jabatan penting urusan keagamaan. 

 

Bin Baz yang dikenal juga sebagai pencetus ide neo-Wahabisme, setidaknya pernah menjabat sebagai Presiden Komite Cendekiawan Senior Arab Saudi; Presiden Komite Tetap Saudi untuk Penelitian Islam dan Penerbitan Fatwa; anggota Komite Tertinggi Saudi untuk Dakwah Islam; Presiden Majelis Fiqih Islam Mekah; Rektor Universitas Islam Madinah; Mufti Besar Arab Saudi; Ketua Komite Pendiri Liga Dunia Muslim; dan Ketua Dewan Tertinggi Dunia untuk Masjid.

 

Berbekal fatwa ulama-ulama Wahabi seperti Bin Baz inilah, pemimpin Kerajaan Arab Saudi modern melegitimasi kebijakan pragmatisnya. Bukan hanya untuk kepentingan dalam negeri, tapi juga di dunia internasional. 

 

Pada 1960-an, Raja Faisal menggunakan ajaran ulama Wahabi Saudi untuk membantu menghalau kampanye pro pemilihan umum, sosialisme, dan Nasseris (para pendukung Gamal Abdul Nasser) di internal keluarga kerajaan. Ia pun membiayai penyebaran Wahabi ke dunia internasional, seperti melalui pendirian Organisasi Konferensi Islam (OKI), Universitas Islam Madina, dan Liga Muslim Dunia. 

 

Ketika ratusan milisi pelajar yang dipimpin Jamal al-Utaybi menduduki Masjidil Haram pada 1979, pemerintah Arab Saudi menggunakan fatwa Bin Baz untuk melegitimasi serangan kepada mereka di Tanah Haram. Tentara Arab Saudi dengan dibantu pasukan khusus Prancis pun berhasil menumpas kelompok tersebut. 

 

Dalam periode ini, hubungan diplomasi Arab Saudi sedang hangat-hangatnya dengan Amerika Serikat (AS). Menempatkan Arab Saudi dalam blok yang sama dengan Paman Sam sepanjang Perang Dingin. Termasuk dalam menghalau segala bentuk kampanye sosialisme dan ekspansi Uni Soviet, seperti di Afghanistan. 

 

Fatwa Bin Baz yang menyatakan umat Islam wajib turut berjihad di Afghanistan, melegitimasi posisi pemerintah Arab Saudi. AS pun menyambut gembira fatwa ini, bahkan menyetujui al-Qaeda sebagai gerakan jihad internasional yang dikembangkan Osama bin Laden dan Abdullah Azzam untuk melawan Uni Soviet di Afghanistan. 

 

Salah satu peristiwa lain yang mutakhir, adalah ketika Bin Baz dan ulama senior Wahabi lain melegitimasi kebijakan Raja Fahd mengundang militer AS membangun pangkalan militer di Arab Saudi pada 1991. 

 

Kebijakan Raja Fahd yang merupakan respons terhadap serangan Irak ke Kuwait, sebelumnya mendapat kritik dari pengikut Wahabi. Mereka menganggap kebijakan tersebut sebagai syirik karena bekerja sama dengan negara kafir. Sehingga, Raja Fahd sama saja dengan murtad atau keluar dari Islam. 

 

Namun, Bin Baz dan ulama senior lainnya menjawab kritik tersebut dengan menyatakan tak boleh menyebut pemimpin Islam kafir. Mereka pun berpendapat seorang pemimpin Islam dianggap murtad apabila dengan sengaja memberlakukan hukum di luar hukum Allah. 

 

Bin Baz dan konco-konconya pun menyatakan, jika pemimpin Islam membiarkan syirik dan kegiatan lain yang melanggar hukum Allah berkembang di bawah kekuasaannya karena kebodohan atau kerusakan moral, ia tetap harus dijunjung sebagai penguasa yang sah sambil dinasehati secara pribadi. Fatwa ini bukan hanya memuluskan kebijakan Raja Fahd, tapi juga tetap menyelamatkan Kerajaan Saudi Arabia dari ancaman revolusi. 

 

Seolah menegaskan fatwa tersebut dan hubungan dinasti Saudi dengan Wahabisme, di tengah Arab Spring pada 2011, Raja Salman dalam khutbahnya di Masjid Nabawi menyatakan begini

 

“Perjanjian historis antara Imam Muhammad bin Saud dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, telah sesuai dengan syariat. Sampai hari ini, perjanjian itu telah menjadi pondasi pilar negara Saudi. Silakan diteliti pemikiran Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan coba temukan jika ada sesuatu yang bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah.” 

(Sumber: Michael A. Sells, Saudi Nationalism, Wahabi Da’wa, and Western Powers dalam When Politics are Sacralized)

 

Demi Mewujudkan Visi 2030

 

Konsekuensi logis menggunakan isme untuk melegitimasi kepentingan politik, adalah penguasa politik dalam kadar tertentu mesti tunduk pada doktrin isme tersebut. Seringkali, hal ini menciptakan bentrok di antara keduanya. Begitu pula dalam hubungan simbiosis Arab Saudi dan Wahabisme. 

 

Kenyataannya, doktrin Wahabi kerap menjadi batu sandungan pragmatisme politik penguasa Arab Saudi. Pemberontakan Ikhwan usai penaklukan Hijaz pada 1924, adalah salah satunya. Mereka menolak kebijakan Ibnu Saud yang saat itu ingin mengakomodasi orang-orang Syiah di Hasa dan membiarkan Mekkah sebagai tempat ibadah haji semua golongan Islam. Alasannya, kebijakan ini bertentangan dengan doktrin Wahabisme untuk memurnikan Islam di seluruh dunia. 

 

Aksi milisi pelajar pimpinan Jamal al-Utaybi pun bisa menjadi contoh lain. Landasan utama gerakan ini salah satunya adalah kecaman terhadap pemerintah Arab Saudi yang kian korup, pro Barat, dan tak mencerminkan nilai Islam murni. Maka, Jamal yang sangat terpengaruh ajaran Wahabi menyerukan seluruh umat Islam untuk bersatu melawan itu semua sembari menyambut Imam Mahdi. 

 

Sementara, saat ini MbS tengah mengusung program Visi 2030 Arab Saudi. Isinya antara lain mendiversifikasi ekonomi Arab Saudi dari minyak bumi yang kini kian tak bernilai ekonomis. Ia ingin membuka sumber perekonomian lain seperti pariwisata dan hiburan. 

 

Berkaca dari hubungan masa lalu antara penguasa Arab Saudi dan Wahabi, menjadi terang bahwa upaya dewahabisasi yang dilakukan MbS belakangan sekadar untuk menyukseskan visinya. Karena, sektor-sektor perekonomian baru itu mustahil tercapai apabila Arab Saudi masih terikat dengan dogma Wahabisme dan ide purifikasi Islam. 

 

Meski demikian, kebijakan dewahabisasi MbS pun menunjukkan sesuatu yang serupa dengan para pendahulunya: memanfaatkan mitos Wahabisme untuk memenuhi kepentingan Kerajaan Arab Saudi.