“Pasangan seperti kalian yang sama-sama memiliki masalah mental juga bisa bahagia kok.”
Itu adalah kata-kata yang diucapkan oleh psikolog saya saat berkonsultasi mengenai masalah hubungan percintaan saya dan pasangan. Kami berdua sama-sama neurodivergent. Saya mengalami gangguan kecemasan (anxiety), sementara dia didiagnosa bipolar tipe dua. Apakah kami berdua bisa menjalani kehidupan sepasang kekasih yang bahagia?
Awalnya kami berdua bisa dekat karena banyak kesamaan dan ketertarikan. Satu hal yang mungkin membuat kami bersimpati satu sama lain adalah trauma masa kecil. Saya memiliki trauma ditinggalkan oleh orang tua di lingkungan yang tidak ideal untuk tumbuh kembang seorang anak kecil. Hari-hari yang saya lalui penuh kekerasan fisik dan verbal. Sejak itu sulit rasanya untuk percaya pada orang lain.
Sementara pasangan saya dituntut untuk menjadi anak pertama yang ideal, menjadi sempurna, jago cari uang, dan harus bisa mandiri. Dia juga mengalami kekerasan fisik dan ditinggal oleh nenek yang menyayanginya. Dia juga tidak mendapat perhatian yang cukup dari orang tuanya.
Kesamaan kami berdua adalah tidak ada sosok caregiver pada masa tumbuh kembang kami. Hal ini menjadikan kami berdua memiliki masalah mental, tetapi dengan output yang berbeda. Jika oleh psikolog saya dianalogikan sebagai anak kecil yang harus bertahan hidup di hutan yang penuh dengan hewan buas, maka sensor kewaspadaan saya akan aktif terus.
Pasangan saya cenderung memiliki kepribadian survival mode. Ia selalu berpikir untuk bertahan hidup dan mencari uang. Sebisa mungkin ia harus bisa memenuhi apa yang menjadi tuntutan orang tuanya dulu, sehingga lupa akan kebahagiaannya sendiri.
Menurut American Psychological Association (2023), caregiver berperan dalam memberi cinta dan perasaan diterima. Kehadiran caregiver juga membantu seorang anak tumbuh dewasa dengan baik secara fisik, emosional, kognitif, dan sosial. Ketiadaan caregiver bagi kami berdua berdampak pada sisi emosional yang kurang stabil dan tidak bisa dikelola dengan baik.
Kondisi ini membuat kami tidak menjalani hubungan yang ideal dan sehat. Sering kali konflik dimulai dari hal-hal kecil lalu tereskalasi menjadi masalah besar. Situasi demikian berulang dan hampir setiap hari terjadi. Pasangan saya yang sudah terlebih dahulu menjalani pengobatan, akhirnya menyarankan saya bertemu psikolog.
Beberapa pertemuan pikiran saya mulai terbuka melalui beberapa terapi. Namun, ternyata itu saja tidak cukup. Karena kami sesama neurodivergent, masalah yang kami hadapi sering kali berlarut panjang dengan dan intens. Karena ingin merasa aman, saya selalu meminta putus. Saya takut dia menyakiti hati saya. Sementara dia membutuhkan sosok yang bisa menerima dia apa adanya, dan penerimaan semacam itu adalah value yang sangat dia harapkan.
Karena pertengkaran yang terus berlarut-larut, akhirnya saya dibawa ke psikiater. Lalu oleh psikiater saya diberi obat untuk menenangkan diri. Membuat tubuh lebih rileks, memunculkan semangat hidup, dan menghilangkan keinginan untuk bunuh diri.
Permasalahan lain justru terjadi saat saya mulai mengonsumsi obat secara rutin selama tiga bulan. Orang-orang di sekitar saya menanyakan untuk apa obat itu? Karena secara fisik saya terlihat baik baik saja, maka beberapa orang cukup heran dengan saya yang sering minum obat.
Saya pun bertanya dalam diri sendiri: apakah obat hanya digunakan untuk masalah yang terlihat secara kasat mata saja? Artinya apakah orang yang ‘sakit’ hanya terlihat sakit jika dia menunjukkan gejala fisik saja?
Keheranan kemudian dilontarkan oleh rekan kerja saya. Beberapa bertanya-tanya apakah obat tersebut membuat kecanduan? Apakah tidak bisa lewat jalan doa dan mendekatkan diri lewat jalan agama?
Tidak hanya di tempat kerja saja, bahkan lingkungan terdekat seperti teman dan keluarga juga melontarkan keheranan yang sama. Salah satu teman saya bahkan mengatakan bahwa masalah kejiwaan tidak perlu sampai ke dokter, itu hanya buang-buang uang saja. Dokter terbaik adalah dirimu sendiri.
Ibu saya bahkan mengatakan: “Jika masalah kamu waktu kecil belum dimaafkan, ya akan seperti ini terus!”
Respon dari teman dan keluarga cenderung tidak suportif. Malah terkesan melihat masalah ini sebagai hal sepele. Tidak jarang mereka juga memberi stigma negatif. Penelitian yang dilakukan oleh Yifeng Wei, dkk (2015), menunjukkan bahwa stigma pada mereka yang memiliki masalah mental terjadi karena kurangnya literasi kesehatan mental. Orang-orang neurotypical cenderung belum punya wawasan yang utuh mengenai kesehatan mental, sehingga ada stigma yang buruk bagi seorang neurodivergent.
Terlepas dari stigma tersebut, kami memulai dengan menyembuhkan diri masing-masing terlebih dahulu. Kami sudah siap menjalani hubungan yang baik dan secara emosional saling mendukung. Pierre Ilmay (2015) menyatakan bahwa hubungan yang sehat menjadi buffer untuk menjaga kesehatan pasangan. Maka upaya saya dan pasangan untuk memiliki hubungan yang sehat sudah berada di jalan yang tepat.
Hasilnya memuaskan, kami berdua saat ini menjalani hubungan yang sehat. Tidak ada lagi konflik setiap hari seperti sebelumnya. Konflik masih tetap ada, tetapi intensitas dan frekuensinya sudah jauh berkurang. Kami bisa secara rasional dan objektif menyelesaikan masalah yang ada.