Wisatawan Disambut Manis, Rakyat Kecil Dibuat Meringis: Transportasi dalam Kesemrawutan Kota di Yogyakarta
Oleh
Anggalih Bayu Muh Kamim
Jogja terbuat dari rindu dan angkringan, itulah jargon yang selalu dielu-elukan orang luar saat berbicara mengenai daerah turisme itu. Para pelancong tak pernah mau tahu dengan kabar kecelakaan lalu lintas, kemacetan dan berbagai kesemrawutan lainnya akibat buruknya pemenuhan akses transportasi di Yogyakarta.
Para pelancong mungkin juga terkesan acuh tak acuh, kala bus pariwisata yang mendapatkan jasa patroli dan pengawalan (patwal) dari aparat keamanan menambah keriweuhan lalu lintas. Alhasil, elemen LSM seperti Elanto Wijoyono yang seringkali nekat menghadang patwal bus pariwisata dan memberikan teguran.
Peneliti transportasi dari UGM sendiri pernah menyayangkan penggunaan patwal bus pariwisata disebabkan rentan menggeser jasa kepolisian tersebut hanya bisa diakses mereka yang memiliki kemampuan keuangan seperti pelancong. Berdasarkan UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada pasal 134 sudah menegaskan bahwa patwal hanya digunakan untuk urusan mendesak seperti mengawal pemadam kebakaran, penanganan laka lantas, ambulans, serta bukan untuk memberikan akses cepat bagi para pelancong.
Kota Tanpa Hak Atas Kota
Daerah turisme itu memang sudah memiliki moda transportasi bus semenjak tahun 2008 bernama Trans Jogja. Tempat tujuan penumpang Trans Jogja itu lagi-lagi kenyataannya lebih dominan pada tempat rekreasi, apalagi kalau bukan untuk memfasilitasi para pelancong.
Rute-rute Trans Jogja masih belum cukup menjangkau daerah pinggiran kota. Padahal akses ke pinggiran kota penting karena banyak pekerja terlempar dari ruang kota. Mereka terpaksa membeli rumah di pinggiran sisi utara dan selatan karena harganya masih terjangkau kantong. Jadilah motor menjadi primadona para pekerja.
Minimnya ketertarikan pekerja dalam menggunakan Trans Jogja tidak bisa dilepaskan dari keterbatasan rute dan waktu tunggu yang terbilang lama. Kedua hal ini disebabkan oleh jumlah bus Trans Jogja yang sedikit. Total armadanya hanya 128 bus, padahal idealnya Trans Jogja memiliki 500 bus. Ditambah dengan akses bagi pejalan kaki menuju halte bus yang kurang layak, harga kendaraan pribadi yang relatif terjangkau, dan transportasi daring yang bisa diakses kapan saja juga menjadi penyebab pekerja enggan menggunakan Trans Jogja.
Acak adulnya transportasi Yogyakarta tak bisa dilepaskan dari kesemrawutan tata kota yang berdampak pada tak beraturannya pola perjalanan penduduk. Pembangunan jaringan jalan, permukiman serta kawasan komersial yang tumbuh di sisi utara dan selatan wilayah pinggiran kota menyebabkan akses pekerja menuju sumber penghidupannya relatif jauh.
Jadilah beberapa wilayah pedesaan di pinggiran memikul beban berat imigrasi pekerja. Dan berhubung jarak tempuh rumah-kantor jauh, pilihan menggunakan kendaraan pribadi menjadi opsi logis.Akibatnya, pekerja menjadi sangat bergantung pada penggunaan sepeda motor. Jarak rata-rata yang ditempuh oleh pekerja menggunakan sepeda motor pulang-pergi menuju tempat kerja adalah 14,34 kilometer dengan jarak paling jauh yakni 40 kilometer.
Waktu yang harus mereka tempuh sejak pagi sampai selesai beraktivitas pada sore hari sebenarnya juga cukup melelahkan. Belum lagi biaya commuting yang tinggi. Meski begitu, Trans Jogja tetap tak terlalu dilirik warga. Ini karena sektor informal—seperti buruh konstruksi, buruh pemasaran, pedagang, dan lain-lain—yang menopang perekonomian Yogyakarta mengharuskan mereka untuk bergerak cepat dan fleksibel. Hal ini tak sanggup dijawab oleh Trans Jogja.
Studi Fevriera, Groot, dan Mulder (2020) di Sleman dan Yogyakarta menemukan bahwa jarak antara rumah dengan pusat kota mengurangi kemungkinan orang untuk menggunakan mobil dan lebih memilih menggunakan motor, sebaliknya orang yang tinggal di pusat kota lebih memiliki kecenderungan untuk menggunakan mobil. Jarak dari rumah ke angkutan umum memiliki dampak negatif pada kecenderungan orang untuk menggunakan kendaraan pribadi. Frekuensi atau fleksibilitas perjalanan sangat menentukan pilihan orang commuting menggunakan motor dibandingkan dengan bus.
Peningkatan kepadatan penduduk meningkatkan pilihan orang pula dalam memilih menggunakan motor serta iklim tropis di Indonesia membuat keinginan orang semakin enggan mengakses transportasi publik yang jaraknya lumayan. Aktivitas commuting menggunakan motor di lain sisi membawa kerentanan kesehatan dengan meningkatkan total emisi karbondioksida sebesar 66% dari total emisi transportasi.
Pekerja penglaju menjadi dibayang-bayangi oleh ancaman kesehatan di antaranya akibat polusi udara. Kajian Prasetyawati dan Sudaryanto (2022) berdasarkan Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) menemukan bahwa Kota Yogyakarta sudah berada pada level sedang dengan PM 2,5. Jumlah kendaraan bermotor dari tahun ke tahun terus bertambah digunakan oleh para pekerja dan anak sekolah untuk commuting sejak pagi hari, sedangkan kondisi ruas jalan tidak memiliki pertumbuhan signifikan yaitu sepanjang 233,21 KM dengan kondisi jalan baik sebesar 40,83% dari keseluruhan total jalan. Kenaikan penggunaan motor selama tahun 2015-2021 terjadi sebanyak 55,1% dan mobil sebesar 22% ini tentunya akan membawa risiko peningkatan polusi udara yang dirasakan para penglaju.
Aktivitas commuting para pekerja menggunakan kendaraan bermotor menyebabkan mereka menjadi cenderung “agresif,” karena harus berjibaku dengan pengendara lainnya untuk menuju lokasi tujuan. Pengamatan yang dilakukan oleh Poei dan Ansusanto (2016) di beberapa ruas jalan di Kabupaten Gunungkidul dan Kabupaten Bantul misalnya menemukan bahwa pengguna motor cenderung mendominasi perilaku mendahului lampu lalu lintas yang berganti dari lampu hijau ke lampu merah. Hal tersebut menunjukkan karakter dari para pengendara yang cenderung terburu-buru akibat bergantung pada motor.
Sikap “agresif” para penglaju dalam bersaing dengan sesamanya di jalanan ditunjukkan pula dengan sikapnya yang tak toleran kepada pejalan kaki. Pengendara juga seringkali nekat mendahului kendaraan di depannya melalui sebelah kiri. Kala berbelok, para pengendara terkadang ada yang lupa menghidupkan lampu sign. Realitas ini menunjukkan bahwa para pengendara sebenarnya kelelahan menggunakan motor, tetapi mereka tak punya pilihan akses transportasi lain yang lebih fleksibel.
Kelelahan dan sikap agresif dalam berkendara itu membawa malapetaka lainnya bagi para penglaju berupa merebaknya insiden kecelakaan lalu lintas (laka lantas). Bukti riil dari kerentanan akibat kelelahan dan sikap agresif akibat ketergantungan pada kendaraan bermotor dapat dilihat dari kecelakaan berwujud tabrakan dari belakang maupun samping. Hasil Operasi Ketupat Progo 2023 saja menemukan 61 laka lantas yang didominasi tabrakan dari belakang dan samping.
Terpaksa Menggunakan Motor, Meskipun Tekor
Dilansir dari Kompas, Bayu Yanuar, pria berumur 39 tahun asal Dusun Jurang Jero, Desa Giripeni, Kabupaten Kulon Progo lebih memilih menggunakan motor selama enam hari dalam seminggu dengan menempuh jarak 30 KM menuju kantornya di Kota Yogyakarta. Ia memilih menggunakan motor sebab penggunaan transportasi publik memakan waktu dua kali lebih lama dibandingkan menggunakan motor.
Bayu juga kesulitan mendapatkan transportasi publik saat pulang malam hari dari kantornya. Bayu memilih menggunakan motor, meskipun 15-20% dari total pengeluarannya per bulan harus terpakai untuk operasional motornya.
Bayu mengeluarkan uang sebesar Rp 10.000 sampai Rp 15.000 untuk keperluan bahan bakar setiap harinya, selama sebulan dia mengeluarkan Rp 240.000-Rp 360.000 untuk BBM bagi motornya. Dia juga harus menanggung biaya sebesar Rp 200.000 s.d. Rp 300.000 untuk servis motor setiap bulannya. Dia harus membayar cicilan sebesar Rp 600.000 per bulan, meskipun sudah dia lunasi beberapa tahun lalu. Bayu cukup beruntung dibandingkan warga Yogyakarta lainnya disebabkan dia memiliki total pendapatan sebesar 4 juta per bulan.
Bayu bukan satu-satunya. Hal serupa juga dialami oleh masyarakat Surabaya, Bandung, Semarang dan Yogyakarta. Data ini didapat dari artikel Kompas Maret 2022—artikel yang sama juga menunjukkan akses transportasi publik tidak memadai membuat mereka sulit sejahtera. Yogyakarta menjadi wilayah dengan pengeluaran biaya transportasi bulanan yang lebih tinggi dibandingkan ketiga kota lainnya akibat warganya sangat bergantung pada kendaraan bermotor.
Warga Yogyakarta menghabiskan 60 persen pendapatannya untuk biaya transportasi pribadi setiap bulannya. Penghitungan pengeluaran tersebut tak hanya melihat konsumsi bahan bakar, melainkan juga memasukkan perhitungan nilai angsuran kredit kepemilikan (jangka waktu 4 tahun bagi mobil serta 3 tahun untuk motor), tarif parkir resmi, pajak, dan ongkos perawatan rutin.
Warga Bandung dengan basis perhitungan yang sama mengeluarkan Rp 1,4 juta setara 37% dari UMR sebesar 3,7 juta untuk biaya operasional motor per bulan. Warga Semarang menanggung biaya operasional penggunaan motor sebesar Rp 926.000 setara 40,2% dari besaran UMR sebesar Rp 2,3 juta. Warga Surabaya mengeluarkan uang operasional motor per bulan sebesar Rp 1 juta atau sekitar 23,1% dari besaran UMR sebesar Rp 4,3 juta.
Tak hanya menanggung beban finansial, pekerja di DIY yang menggunakan motor pada dasarnya rentan mengalami kecelakaan lalu lintas (laka lantas). Studi yang dilakukan oleh Angelina, Nugroho, dan Susanto (2021) terhadap laka lantas di kabupaten Sleman tahun 2019-2020 menemukan bahwa 67,7% atau 464 korban laka lantas adalah pekerja terutama di buruh perusahaan swasta. 93% kecelakaan melibatkan sepeda motor atau sebanyak 637 kasus.
Pekerja di Yogyakarta ibarat harus berjibaku sendiri menanggung beban penghidupannya yang cukup besar akibat minimnya akses transportasi, masih saja sering harus mengalah dengan para pelancong yang membanjiri daerah turisme dengan kendaraan pribadi saat masa liburan. Pekerja di Yogyakarta seringkali dilarang oleh penguasa setempat untuk harus mau mengalah dengan para pelancong yang menggunakan kendaraan pribadi dengan dalih demi kemajuan wisata.
Menurut penguasa setempat, kemacetan saat liburan seperti akhir tahun hanya ritual setahun sekali. Masyarakatnya selalu dihimbau untuk tak mengeluh dan meminta mereka untuk Ikhlas, meskipun kemacetan bertambah parah. Seakan-akan pekerja di Yogyakarta tak perlu diperhatikan juga hak-haknya seperti akses transportasi publik yang memadai untuk keselamatan dan meringankan beban penghidupannya.