Workation: Kerja Sambil Libur

Satu hal yang tidak bisa lepas dari eksistensi manusia adalah mencari kesenangan. Salah satunya adalah liburan, terutama ke tempat-tempat menarik yang jauh dari kesibukan sehari-hari.

Tapi apa jadinya kalau liburan malah menjadi wahana buat kerja? Tahun lalu, pemerintah Indonesia mendorong program Work From Bali untuk merevitalisasi perekonomian Bali yang melemah. Jadinya, ada banyak PNS dan pekerja startup yang diterbangkan ke Bali untuk bekerja ke sana. 

Hasilnya ekonomi Bali tumbuh 2,83%, tapi program ini juga dituduh sebagai biang keladi naiknya angka kasus Covid-19. Tuduhan ini kemudian dibantah oleh Gubernur Bali dan Menparekraf. Maksudnya baik sih karena ingin memulihkan sektor pariwisata yang hampir hancur.

Oh ya, selain pemerintah Indonesia, pemerintah dan perusahaan Jepang juga sempat menggodok rencana kerja-di-tempat-pariwisata. Kabar terakhir proyek tersebut masih dalam masa percobaan.

Ketika pertama kali mendengarnya, penggabungan kerja di tempat wisata terdengar aneh. Bagaimana caranya? Atau yang lebih penting lagi, kenapa melakukannya? Bukannya itu menyalahi aturan liburan yaitu istirahat tanpa memikirkan pekerjaan?

 

Digital Nomads, Awal Dari Workation

Meskipun aneh, fenomena bekerja sambil berlibur sebetulnya sudah eksis sebelum pandemi. Ia juga punya nama sendiri, yaitu workation. Istilah ini merupakan gabungan dari work (kerja) dan vacation (liburan). Sesuai dengan namanya, liburan ini bukan betul-betul liburan karena masih harus kerja. Bedanya aktivitas kerja tidak lagi di kubikel sempit dalam ruangan ber-AC, tapi di cafe bermenu organik dengan pemandangan pantai Kuta.

Tren workation sebetulnya sudah eksis sejak beberapa tahun terakhir. Namun prediksi tentang eksistensinya sudah ada di tahun 1962 oleh Marshall McLuhan. Ia memprediksikan orang-orang bisa beraktivitas dan berkomunikasi dimana saja tanpa dihalangi batasan fisik. Prediksinya memang tepat: sekarang (sebagian) orang bisa bekerja dimana saja selama mereka memiliki laptop, listrik, dan jaringan internet. 

Berangkat dari ide McLuhan, Tsugio Makimoto dan David Manners menerbitkan buku berjudul Digital Nomads. Menurut mereka perkembangan teknologi yang sangat cepat memungkinkan manusia bisa bekerja dimana saja dan kapan saja. Istilah ini yang kemudian digunakan oleh para pekerja remote untuk mendeskripsikan diri mereka.

 

Kerja Bahkan di Tengah Liburan

Workation mulai populer berkat kepopuleritasan kehidupan nomadisme digital yang dipamerkan di media sosial, mulai banyaknya pekerjaan yang bisa dilakukan di mana saja, serta ketakutan akan FOMO. Namun faktor seperti merasa bosan atau frustrasi di kantor dan kesulitan untuk meninggalkan pekerjaan  bahkan ketika libur juga memainkan peran dalam menaikkan kepopuleritasannya.   

Workation semakin digandrungi kala pandemi melanda. Bosan dengan suasana rumah, beberapa pekerja memutuskan untuk memindahkan tempat kerja mereka ke hotel. Kita mungkin lebih mengenal fenomena ini sebagai staycation. Tapi sebutan yang lebih tepat adalah workation karena mengganti tempat kerja dari rumah ke hotel yang instagrammable.

Ada beberapa faktor kenapa workation digandrungi. Menurut mereka yang pernah melakukan workation, bekerja di tempat baru bisa meningkatkan fokus dan produktivitas karena jauh dari distraksi sehari-hari. Kesempatan untuk mendapatkan pengalaman yang berbeda dan bertemu orang-orang baru juga menjadi faktor. Ada pula yang memilih workation karena memang ingin menjauh dari penatnya kehidupan. 

 

Sebuah Solusi?

Namun yang menjadi pertanyaan apakah kita harus melakukan workation? Secara teori memang workation memberikan paket lengkap kerja sambil liburan. Cocok sekali dengan gaya hidup pekerja kerah putih millennial yang akhir minggu saja masih dikejar-kejar deadline. Daripada stress karena kerja di rumah, bukankah lebih baik kerja di hotel yang lebih nyaman saja?

Secara umum workation memang meningkatkan produktivitas pekerja. Faktor-faktor seperti kebebasan untuk bekerja di mana saja, kesempatan untuk membentuk lingkungan kerja yang ideal, dan jam kerja yang fleksibel berpengaruh besar dalam menaikkan motivasi dan kebahagiaan pekerja. Dua faktor ini yang menaikkan produktivitas. Pekerja produktif, perusahaan profit, semua orang pun senang.

Namun efek positif ini tidak berjalan lama. Jam kerja fleksibel dari workation membuat pekerja bekerja lebih dari 8 jam sehari. Tak jarang mereka ditemukan bekerja di akhir pekan untuk memenuhi deadline. Akibatnya mereka tak hanya kerja berlebihan, tapi juga tidak bisa lagi membedakan mana waktu libur/istirahat dengan kerja. Akibatnya mereka lebih gampang terkena burnout atau lelah dan muak dengan pekerjaan. 

Padahal resiko kesehatan dari bekerja terus-terusan tidak main-main. Meta studi yang dilakukan University College London menunjukkan adanya kenaikan resiko penyakit jantung sebesar 13% dan penyakit stroke 33% bagi mereka yang bekerja 55 jam per minggu. Para peneliti menduga faktor-faktor seperti tingginya hormon kortisol dan stress, kurang olahraga, dan kebiasaan-kebiasaan jelek seperti merokok, minum minuman alkohol, dan diet yang buruk sebagai penyebab. 

Ketiadaan keseimbangan antara kerja dan istirahat juga berakibat fatal pada kesehatan mental. Kurangnya tidur dan tingginya tingkat stress dalam waktu lama menyebabkan pekerja bisa mendapatkan gangguan depresi dan cemas. Sayangnya banyak pekerja yang meremehkan kesehatan mental mereka, seperti yang dijelaskan oleh studi Kuroda dan Yamamoto (2019) terhadap pekerja Jepang. Studi ini menunjukkan mereka yang bekerja lebih dari 55 jam menyatakan lebih senang dan puas dengan hasil kerja mereka, tapi mereka awam atau bahkan tidak peduli akan efeknya ke kesehatan mental.

Tekanan untuk terus bekerja dan kebanggaan yang datang darinya merupakan simptom dari hal yang lebih besar. Kita hidup di dunia yang menganut meritrokrasi dan menjadikan produktivitas sebagai penilai harga diri. Adanya workation justru merupakan penanda lanjutan bahwa kita sebagai manusia harus terus bekerja dan meninggalkan waktu istirahat. Semata agar merasa berguna.

Kesimpulannya? Pisahkan waktu istirahat dan kerja. Liburan ya liburan, jangan dicampur aduk dengan kerja.