X dan Obsesi Elon Musk

X dan Obsesi Elon Musk

Dari usaha matematikawan kuno menamai yang belum diketahui hingga zaman di mana orang kaya menguasai internet

Per bulan Juli kemaren, Twitter di bawah kepemilikan Elon Musk resmi berganti nama menjadi “x”. Penggunaan huruf X bukanlah sesuatu hal baru bagi Musk. Misalnya ketika Musk memiliki anak, kemudian ia memberi nama anaknya dengan menyantumkan huruf X (X AE A-XII). 

Selain itu, bagi kamu yang aktif di Twitter, keanehan yang dilakukan Musk dengan mengganti nama jadi X ini bukanlah satu-satunya tindakan yang dianggap aneh untuk pertama kalinya. Sebabnya sejak Elon Musk 'mengakuisisi' Twitter Oktober tahun lalu, ia telah melakukan kebijakan yang bener-bener out of the box.

Sebut saja ketika Musk “bersih-bersih” perusahaan barunya dengan memecat empat petinggi Twitter--mulai dari chief executive dan chief financial officer, top legal and policy executive, dan general counsel.

Upaya lainnya yang ia sebut-sebut sebagai “membebaskan Twitter” di antaranya dengan menerapkan kebijakan moderasi konten, menghilangkan spam, menambah fitur baru seperti misalnya dengan “menyediakan” blue check verifikasi dengan harga 8 dollar per bulan dan ia menginginkan lebih terbuka terkait algoritma yang nantinya bisa berguna untuk konten promosi.

Kenyataan bahwa Twitter berganti nama menjadi X merupakan ambisi sedari awal Musk yang ingin  pembuatan X segera terwujud, yakni “everything app” (selanjutnya akan saya tulis terjemahan bebasnya “aplikasi kesemuanya”).

Dari Mulai Meniru WeChat Hingga Alasan Personal

Berbicara tentang “aplikasi kesemuanya” yang menjadi obsesi Musk bukanlah sebuah 'inovasi baru' dari yang tidak ada menjadi ada. Kalley Huang menulis bahwa obsesinya itu dikarenakan ia “terinspirasi” dengan platform sosial media WeChat--perusahaan induk konglomerat teknologi multinasional Cina.

Pengguna WeChat di Cina lebih dari milyaran orang karena kegunaannya mulai dari all-in-one social media, pesan cepat, aplikasi pembayaran, bisa digunakan untuk memesan makanan, memesan taksi dan mengetahui informasi lewat berita.

Bukan hanya perkara ingin membuat “aplikasi kesemuanya” yang berkaitan dengan profit, ada alasan yang tak bisa ia hindari yakni alasan subjektif “karena ia menyukai X” di balik seringnya ia melibatkan huruf X untuk sebuah penamaan perusahaannya seperti SpaceX atau Tesla model X.

Sementara secara historis kita juga bisa temukan awal mulanya ia berkenalan dengan huruf X yang jadi obsesinya itu, tepatnya pada tahun 1999 ketika Musk menjadi pendiri sebuah bank online X.com.

Kemudian di tahun 2000, ketika Musk sebagai CEO X.com bergabung dengan Confinity, perusahaan kompetitor yang lebih populer daripada X.com yang kita kenal sebagai PayPal. Ambisi pertamanya untuk menggunakan huruf X ingin ia terapkan, namun sebelum itu terjadi, Musk digantikan pada tahun 2001 dan beruntung nama PayPal tidak menjadi XPayPal, PayPalX, atau PayX. Baru di tahun 2017, Musk membeli domain X.com dari PayPal dan mengatakan alasan membeli domain tersebut karena adanya nilai yang lebih secara personal.

Sejarah Masyarakat Kuno Menamai Yang Tak Diketahui

Dalam bahasa Inggris ataupun Indonesia, penggunaan huruf “x” sangat jarang digunakan, kecuali kalo kamu pernah mengalami masa ketika menulis dengan huruf alay di tahun 2006-2010an di Friendster, Facebook atau berkirim kabar SMS via handphone, maka tak jarang penggunaan huruf “x” muncul–meskipun biasanya penggunaan huruf “x” di sana hanyalah substitusi dari huruf sebelumnya dan tidak memberi makna berbeda seperti “ga” menjadi “gx”. 

Mari kita bergeser ke masyarakat Amerika, tepatnya dalam budaya populer AS, kita dapat temukan bagaimana “x” dilibatkan dalam film “X-Men” atau series “The X-Files”. Seringkali huruf “x” menjadi simbol untuk sesuatu yang tak-diketahui, sebagai misteri. Hal ini juga berlaku dalam subjek matematika, kerap kita temukan huruf “x” dalam persoalan aljabar/algebra yang berfungsi sebagai variabel untuk menandai jumlah yang belum diketahui. Misalnya berapakah nilai “x” dari persamaan berikut ini : 2x + 3 = 4x - 1.

Penggunaan huruf “x” dalam aljabar modern sebagai simbol untuk jumlah yang tak diketahui dalam persamaan matematika itu melewati beberapa tahap di antaranya: aljabar retoris, aljabar sinkop, aljabar simbolik. Dulu sebelum aljabar simbolik, aljabar kuno berbentuk retoris ini berkembang di masyarakat Mesir dan Babilonia sekitar tahun 1700 SM. Persoalan matematis dengan solusinya ditulis dalam perkataan melalui cerita dan belum menggunakan huruf “x”. 

Salah satunya bisa kita lihat ketika Matematikawan kuno yang dikenal handal di bidang geometri dapat menyelesaikan persoalan aljabar kuno dalam Rhind Mathematical dan di sana dapat ditemukan penggunaan hieroglyph “aha” yang berarti 'jumlah yang belum diketahui'. Misalnya dalam problem 24 yang ingin mengetahui nilai “aha” jika “aha” ditambah sepertujuh dari “aha” sama dengan 19. Maka berapakah nilai “aha” di sana. 

Di sini “aha” artinya seperti “masa” atau “heap”. Selain itu, masyarakat Babilonia kuno di Mesopotamia juga sering menggunakan kata yang berbeda untuk mendefinisikan sesuatu yang belum diketahui dalam sistem aljabar--biasanya untuk panjang, lebar, area atau volume dan bukan hanya problem yang berkaitan dengan geometri.

Dalam perkembangannya kemudian aljabar memasuki fase yang disebut sebagai 'aljabar sinkop' dimana beberapa simbolisme digunakan, tetapi tidak mengandung semua karakteristik aljabar simbolik modern. Ekspresi aljabar sinkopasi pertama kali muncul di karya Diophantus dari Alexandria yang terkenal “Aritmetika”. Saat itu ia menyebut sesuatu yang belum diketahui sebagai “arithmos”.

Dari sini pengaruhnya dapat kita temukan pada matematikawan India, Brahmagupta pada abad ke-7 dengan melakukan penambahan lain pada aljabar, yang temuannya menjadi fondasi penting bagi simbolik modern untuk setiap angka desimal. Salah satu temuan yang paling memberi pengaruh ialah ketika teknik aljabarnya bisa menyelesaikan persamaan kuadrat apapun. Brahmagupta juga menamai sesuatu yang tak ternamai sebagai “yavattavat”.

Barulah kita sampai ketika para sarjana Islam menerjemahkan dan merawat apa yang telah dicapai oleh sarjana Yunani dan India untuk bidang matematis, saintifik dan teknologi. Salah satunya ialah matematikawan Islam al-Khowarizmi dengan karya masyhurnya The Compendious Book on Calculation by Completion and Balancing yang nantinya menjadi semacam akar munculnya kata modern “algebra” atau dalam bahasa Arab disingkat menjadi “al-Jabr”.

Asal-Usul Penggunaan X dan Filsuf Pertama Yang Menggunakannya

Kita sampai pada titik dimana atau kapan pertama kalinya penggunaan kata “x” untuk sesuatu yang tak diketahui dalam aljabar modern atau matematika itu dilakukan. Ada beberapa teori untuk hal ini, salah satu teori menyebutkan bahwa ada kaitannya dengan tradisi Islam. Yakni salah satu kata dalam bahasa Arab untuk menyebut untuk kuantitas yang dicari adalah “al-shayun” yang berarti “sesuatu” dan kemudian disingkat jadi “sh”. Kemudian Terry Moore melanjutkan dalam teorinya itu dikarenakan para sarjana Spanyol gagal untuk untuk menerjemahkan risalah matematika Arab, mereka saat itu tidak memiliki huruf untuk bunyi “sh” dan memilih bunyi “k”. Selain itu mereka juga merepresentasikan bunyi “sh” dengan huruf Yunani “χ” dan nantinya menjadi huruf Latin “x”.

Selain itu ia menyebutkan misalnya kata “al-shalan” muncul beberapa kali untuk “sesuatu yang tak diketahui” dalam karya matematika awal di Abad Pertengahan. Tapi ada satu kelemahan dalam teorinya Moore, yakni tiadanya bukti seperti dokumen tertulis yang bisa menguatkan bahwa penggunaan huruf “x” dalam aljabar modern karena kesalahan penerjemahan para sarjana Spanyol ketika menerjemahkan phonetics/suara dari bahasa Arab dan ini tentu saja bukanlah suatu poin yang signifikan untuk kerja-kerja penerjemahan jika hanya didasarkan pada penggunaan suara atau fonetik ketika menerjemahkan suatu bahasa, toh akhirnya yang terpenting adalah maknanya.

Berbicara tentang dokumen tertulis sebagai pendukung teori, maka kita mesti bertemu dengan filsuf sekaligus matematikawan, René Descartes (1596-1650) dalam karyanya La Géométrie. Dalam La Géométrie kita bisa melihat Descartes menggunakan huruf kecil untuk notasi simbolik yang menandai kuantitas yang diketahui seperti: a, b, dan c. Sementara untuk kuantitas yang tak diketahui ia akan menggunakan huruf kecil: x, y, dan z. Persoalan kenapa dipilih huruf x, y, dan z untuk sesuatu yang tak diketahui--tidak ada yang tahu kenapa alasannya.

Tapi kita bisa melihat bukunya Karen Olsson berjudul The Weil Conjectures: On Maths And The Pursuit of The Unknown yang menceritakan secara singkat bagaimana huruf “x” dipilih.

Tepatnya ketika Descartes berbicara dengan tukang cetak. Saat itu ia kehabisan huruf, lalu tukang cetak datang dan memberi pilihan untuk Descartes huruf x, y, atau z untuk menandai jumlah yang tidak diketahui dalam persamaan. Kemudian Descartes mengatakan bahwa tidak penting baginya mau menggunakan huruf apa untuk sesuatu yang tak diketahui tersebut, maka tukang cetak memilih huruf “x” dalam karyanya tersebut. Sementara Florian Cajori menyebut bahwa mungkin saja Descartes atau tukang cetaknya terinspirasi yang lain untuk penggunaan huruf “x” sebagai penandaan untuk sesuatu yang tak diketahui. Selanjutnya ia menegaskan setidaknya Descartes yang telah mempopulerkan penggunaan huruf “x” dalam notasi simbolik dan perkembangan matematika yang kita kenal hingga hari ini.