Yang Bermasalah dari Tiger Parenting

Ada banyak alasan mengapa Gilmore Girls begitu populer, bahkan sampai saat ini. Serial televisi Amerika Serikat itu mengudara pertama kali pada 2000 dan bertahan sampai tujuh musim. Namun, para penggemarnya masih belum puas sampai akhirnya Netflix memproduksi satu musim reuni yang berisikan empat episode panjang pada 2016.

Kesederhanaan cerita menjadi kekuatan terbesar Gilmore Girls meskipun sebenarnya ada banyak alasan lain di balik popularitasnya. Kesederhanaan yang dimaksud adalah cara serial televisi ini mengangkat hubungan seorang ibu muda dan anak perempuannya yang telah berusia remaja.

Si ibu, Lorelai Gilmore, dibesarkan di keluarga kaya raya. Akan tetapi, ketika hamil di luar pernikahan pada usia 16 tahun, Lorelai kabur dari rumah dan memulai kehidupan baru di sebuah kota kecil bernama Stars Hollow. Dekatnya jarak usia antara Lorelai dan putrinya, Rory, itulah yang membuat relasi mereka begitu menarik.

Hubungan Lorelai dan Rory tidak seperti ibu dan anak, melainkan bak dua sahabat. Sebenarnya, mereka adalah dua pribadi yang bertolak belakang. Jika Lorelai adalah seorang yang mencintai kebebasan, Rory adalah sosok yang punya disiplin tinggi. Namun, tembok perbedaan itu runtuh karena Lorelai dan Rory menyukai banyak hal yang sama seperti film, makanan, bahkan pakaian.

Lain Lorelai dan Rory, lain pula Nyonya Kim dan putrinya, Lane. Lane adalah sahabat Rory di SMA. Di Gilmore Girls, digambarkan bagaimana Lane acapkali menghabiskan waktu di rumah Rory karena dia tak bisa melakukan apa yang dia sukai di rumahnya sendiri. Lane adalah penggemar musik yang punya cita-cita menjadi musisi tetapi Nyonya Kim selalu ingin agar dia bersikap layaknya anak Kristen yang baik.

Nyonya Kim adalah seorang imigran dan dia menjunjung tinggi nilai-nilai Kristen secara kaffah. Lane dilarang berpacaran, harus selalu ikut ke gereja, tak boleh mengenakan make-up atau pakaian tertentu, dan mesti fokus sepenuhnya ke pendidikan. Sampai taraf tertentu, Nyonya Kim bisa dilihat sebagai karakter villain dalam Gilmore Girls.

Lane sendiri sebetulnya amat menghormati ibunya. Dia selalu berusaha agar kebandelan-kebandelannya tidak sampai ke kuping Nyonya Kim. Namun, tidak seperti Nyonya Kim yang dibesarkan di Korea Selatan, Lane adalah remaja Amerika. Dia menginginkan apa yang biasa didapatkan oleh para sebayanya, termasuk Rory.

Itulah mengapa, Lane tak jarang meminta bantuan kepada Lorelai dan Rory, utamanya untuk mengelabui Nyonya Kim. Lane melakukan ini bukan karena dia kurang ajar tetapi karena tidak ingin menyakiti ibunya. Lane dituntut menjadi "anak baik-baik" dan itulah yang selalu ingin dia tunjukkan kepada Nyonya Kim.

Ketika kita membandingkan Lorelai dengan Nyonya Kim, kita akan mendapati sebuah jukstaposisi, laiknya foto Manuel Rui Costa dan Marco Materazzi yang berangkulan di tengah kerusuhan Derby della Madonnina 2005. Kedua sosok itu tidak bisa lebih berbeda lagi dan itulah mengapa, sampai taraf tertentu tadi, Nyonya Kim bisa dilihat sebagai antagonis.

Meski demikian, apa yang dilakukan Nyonya Kim sebenarnya bukan hal buruk. Niatnya mulia. Dia ingin agar Lane bisa lebih sukses daripada dirinya. Lagipula, Lane bukan anak bodoh. Dia selalu bisa mengimbangi Rory si juara sekolah dan ini menunjukkan bahwa Lane memiliki potensi.

Namun, karena dalam Gilmore Girls yang menjadi protagonis adalah Lorelai dan Rory, karena relasi mesra mereka berdua adalah jualan utamanya, Nyonya Kim jadi terlihat buruk. Tak cuma itu, di Stars Hollow yang berisikan orang-orang paling ramah sedunia, Nyonya Kim juga menjadi sosok yang aneh.

Padahal, ada banyak sekali Nyonya Kim di dunia ini. Saking banyaknya, ada istilah untuk menyebut ibu seperti dirinya, yaitu tiger mom. Istilah ini sendiri pertama kali disebutkan dalam memoar akademisi Yale, Amy Chua, Battle Hymn of the Tiger Mother (2011) yang dirilis pada 2011.

Pertanyaannya, apa itu tiger mom?

Dalam artikelnya yang dimuat di Refinery29 berjudul "Why We Hate (& Love) The Tiger Mom" (https://www.refinery29.com/en-us/2018/05/198459/tiger-moms-in-pop-culture , Bourree Lam menjelaskan bagaimana istilah tiger mom ini lahir. Di Asia, tiger mom adalah hal yang biasa ditemukan. Akan tetapi, di Amerika sana, metode ini menjadi sebuah fenomena.

Mengapa ada sebutan tiger mom? Jawabannya adalah karena ibu seperti Nyonya Kim memang lebih banyak ditemukan di keluarga-keluarga imigran Asia. Tiger, atau harimau, adalah hewan yang banyak ditemukan Asia dan telah menjadi bagian penting dari kultur Asia sejak dahulu kala. Maka, tiger mom bisa diterjemahkan sebagai "ibu Asia yang galak".

Lam menuliskan bahwa, meskipun istilah tiger mom diciptakan oleh Chua, orang-orang Amerika sudah menyadari keberadaan fenomena tersebut sejak lama. Dari pengamatan mereka itulah lahir keheranan, kekaguman, sekaligus kekhawatiran. Mereka heran ada ibu yang begitu galak kepada anaknya, kagum atas prestasi akademis yang didapatkan anak-anak Asia tersebut, dan khawatir anak-anak itu bakal merebut posisi mereka sebagai penguasa negeri. Singkatnya seperti itu.

Lam berargumen bahwa tiger mom bukanlah hal negatif. Menurutnya, sudah sewajarnya orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya meskipun cara yang ditempuh adalah dengan menegakkan disiplin tinggi. Persoalannya, kata Lam, adalah bagaimana istilah tiger mom menjadi stereotip yang digunakan dalam narasi “minoritas teladan” (model minority).

Sejak dekade 1960-an, di Amerika muncul stereotip bahwa imigran Asia adalah "imigran terbaik" karena mereka mau bekerja keras seperti "orang Amerika yang baik". Faktanya, anak-anak Asia memang jauh lebih sukses ketimbang anak-anak dari etnis minoritas lain, termasuk orang-orang kulit hitam.

Namun, kesuksesan itu relatif. Artinya, meskipun orang keturunan Asia lebih sukses dibanding etnis minoritas lain, mereka tetap belum bisa sesukses orang-orang kulit putih. Pada 2017, jurnalis NPR, Jeff Guo, merilis data yang menunjukkan bahwa orang Asia tetap harus bekerja lebih keras untuk bisa sesukses orang kulit putih.

Selain itu narasi bahwa "orang Asia rajin sehingga lebih sukses" juga digunakan untuk merendahkan orang-orang lain, terutama mereka yang berkulit hitam. Fenomena tiger mom merupakan bagian dari narasi tersebut. Yakni bahwa kesuksesan Asia di Amerika tidak bisa dipisahkan dari pola asuh yang melibatkan seorang tiger mom.

Menakar Efektivitas Tiger Mom

Bahwa Tiger Mom itu ada, sudah tak perlu diragukan. Yang jadi soal: 1) Apakah semua ibu Asia adalah Tiger Mom? 2) Seefektif apa tiger parenting dalam perkembangan anak? 3) Adakah metode asuh lain yang lebih efektif untuk menghasilkan anak berprestasi?

Dalam esainya yang diterbitkan di situs web Asosiasi Psikolog Amerika, Kim Su-yeong, seorang pengajar di Universitas Texas, berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Esai itu sendiri merupakan intisari dari penelitian yang dia lakukan bersama empat rekannya. Penelitian tersebut diterbitkan di Asian American Journal of Psychology pada 2013. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3641860/)

Rasa penasaran Kim dkk. bermula dari terbitnya buku Chua serta perdebatan yang muncul setelahnya. Dalam buku "Battle Hymn of the Tiger Mother" itu sendiri Chua menjelaskan bagaimana latar belakangnya sebagai putri imigran Cina membentuknya jadi seorang Tiger Mom yang melarang anaknya menonton TV serta menginap di rumah teman.

Mereka yang mendukung Chua beranggapan bahwa metodenya bisa dibenarkan lewat prestasi akademis anak-anaknya. Sebaliknya, para kritikus menilai apa yang dilakukan Chua sesungguhnya bisa menghambat perkembangan anak. Ya, nilai mereka memang bagus tetapi apakah nilai saja sudah cukup? Kira-kira begitu.

Hampir dua dekade sebelum Chua menerbitkan memoarnya, tiger parenting sebetulnya sudah pernah menjadi perbincangan hangat di kalangan akademisi Amerika. Adalah tulisan Ruth Charo di jurnal Child Development (1994) yang menjadi pemicunya.

Dari tulisan Chao itu, ditemukan bahwa tiger parenting memang bisa membuat anak berprestasi baik secara akademis. Akan tetapi, kesehatan sosial-emosional menjadi korbannya. Berangkat dari itu, definisi "kesuksesan" pada anak pun turut diperdebatkan.

Tiger parenting sendiri tidak serta merta bisa disebut parenting yang positif maupun negatif karena ia memiliki karakter dari dua spektrum tersebut. Memang ada banyak aturan ketat dalam tiger parenting tetapi di saat yang bersamaan anak juga merasakan dukungan dan kehangatan.

Dalam risetnya tersebut, Kim dkk. membandingkan tiger parents dengan tiga jenis orang tua lain yaitu orang tua yang suportif, santai, dan keras. Klasifikasi itu sendiri diambil dari ciri-ciri yang terdapat dalam dua spektrum parenting tadi, positif dan negatif.

Sebelum menjawab pertanyaan mengenai impak dari tiger parenting, Kim terlebih dahulu berupaya mencari fakta di balik mitos yang ada. Mitos yang dimaksud, tentu saja, bahwa orang tua Asia sama dengan tiger parents. Rupanya, temuan mereka tidak begitu.

Menurut temuan Kim dkk., sebagian besar orang tua di keluarga keturunan Cina, Korea, dan Hmong menggunakan metode asuh suportif. Dengan demikian, stereotip bahwa orang tua Asia adalah tiger parents sudah terbantahkan. Lalu, bagaimana dengan dampak yang ditimbulkan kepada anak-anaknya?

Ternyata, anak-anak yang dibesarkan oleh tiger parents justru mendapatkan prestasi akademis lebih rendah dibanding anak yang dibesarkan orang tua suportif. Selain itu, orang tua suportif juga menghasilkan anak yang sehat secara sosio-emosional, dekat dengan orang tua, dan memiliki rasa tanggung jawab besar.

Bahkan, menurut riset tersebut, tiger parenting tidak lebih baik dari easygoing parenting (membesarkan anak dengan santai). Hanya harsh parenting (membesarkan anak secara keras) yang hasilnya lebih buruk daripada tiger parenting. Dengan demikian, menjadi tiger parents bukanlah jaminan untuk memiliki anak yang sukses.

Meski demikian, hasil temuan tersebut diperdebatkan kembali, salah satunya oleh Chua. Menurut Chua, lewat kolom yang ditulis Jeff Yang di Wall Street Journal, penelitian tersebut terlalu menyamakan gaya mendidik anak ala Barat dengan Cina. Selain itu, sasaran penelitian yang kebanyakan berasal dari kalangan menengah ke bawah juga berpengaruh. Plus, penelitian tersebut gagal menjelaskan banyaknya mahasiswa Asia-Amerika di kampus-kampus Ivy League. (https://www.wsj.com/articles/BL-SEB-72261

Setelah muncul kritikan tersebut, Kim dkk. menjawab bahwa mereka tidak pernah menyamakan parenting suportif dengan parenting ala Barat. Kemudian, 30 persen dari subjek penelitian tidak termasuk dalam kalangan ekonomi menengah ke bawah. Akan tetapi, tetap saja, tiger parenting tidak terlalu efektif dibandingkan parenting yang suportif maupun santai.

Sementara itu, mengenai banyaknya mahasiswa Asia-Amerika di Ivy League, Kim dkk. meminjam temuan dari Carol Dweck. Dweck pada 2011 menemukan perbedaan besar antara siswa Asia-Amerika dan Eropa-Amerika atau kulit putih.

Siswa Asia-Amerika beranggapan bahwa kecerdasan adalah sesuatu yang bisa didapatkan. Sedangkan, siswa Eropa-Amerika menilai kecerdasan adalah bawaan lahir. Artinya, siswa Asia-Amerika lebih serius di sekolah ketimbang teman-temannya yang Eropa-Amerika. Keseriusan ini sendiri bisa muncul meskipun mereka tidak dibesarkan oleh tiger parents.

Adapun, penelitian ini sendiri dilakukan Kim dkk. dalam jangka waktu yang panjang. Dua belas tahun tepatnya. Tiap empat tahun sekali mereka mencari data dari ratusan keluarga Asia-Amerika di wilayah California Utara. Tentu tidak semuanya mengikuti survei sampai akhir. Namun, tingkat partisipasi ada di angka 76%.

Dalam penelitian tersebut Kim dkk. menggunakan delapan dimensi untuk menentukan apakah orang tua seorang siswa bisa disebut "suportif", "santai", "tiger", atau "keras". 

Delapan dimensi itu adalah: kehangatan, penggunaan akal sehat, pengawasan, demokrasi, hawa permusuhan, kontrol psikologis, kecenderungan untuk mempermalukan, serta kecenderungan untuk menghukum. Untuk mengetahui kategori si orang tua, mereka menggunakan kuesioner berbahasa Cina dan Inggris.

Sementara itu, pencapaian anak diukur dengan dua hal: nilai di sekolah dan tingkat pendidikan. Anak yang mendapat tekanan akademis rendah, menariknya, justru bisa mendapat nilai lebih bagus dan dapat melangkah ke jenjang pendidikan berikutnya. Selain itu, tanda-tanda depresi juga jarang ditemukan.

Dari riset intensif inilah Kim dkk. berani mengklaim bahwa tiger parenting bukan metode yang bagus untuk mendidik anak. Dia menyarankan agar para orang tua mengadopsi metode didik yang suportif, yang tidak memberikan beban kepada anak dan tidak membuat anak tereduksi kebebasannya.