Yang di Hulu, Yang ke Hilir

Gadjah Mada menyongsong saya dengan bertelanjang dada, tegap dan berwibawa. Bak kahyangan, halimun menaungi pertemuan kami, menaungi sawah dan candi.

“Rahayu”, ucapnya. 

Ia punya beberapa permintaan: emas, besi dan perak, serta persahabatan kedua negara. Sebagai gantinya, dia berjanji untuk tidak meratakan kota-kota saya. Satu peti kayumanis pun ia kirim, jika hanya sebagai pemanis. 

Demikian hari-hari dalam permainan elektronik Peradaban Lima—atau yang lebih dikenal khalayak sebagai Civilization 5. 


Abaikan penggambaran sang Patih yang ahistoris dan sikapnya yang kurang njawani - sepanjang perbincangan kami tidak sekalipun keris itu disarungkan. Lanskap yang melatari perundingan kami malah mengingatkan saya akan suatu pagi yang sejuk di dataran Kedu, saat kabut menyelimuti hamparan sawah dan peninggalan peradaban-peradaban silam. 

Kabut, nampaknya, adalah corak pusat peradaban Jawa masa lampau. Dari Kedu, ibukota Kerajaan Medang, sampai situs Trowulan Majapahit bukan terletak di delta sungai Bengawan dan Brantas yang subur, melainkan di tanah datar vulkanis yang lebih dekat ke pegunungan. Bahkan dengan insentif berupa akses perdagangan yang menguat setelah abad ke-9 Masehi, masih ada keengganan untuk menetap di dekat mulut sungai. Pun Bubat, sentra perdagangan Kerajaan Majapahit yang termasyhur itu, terletak beberapa puluh kilometer dari pesisir.

Untuk suku bangsa yang sudah rela jauh-jauh mengarungi Samudra, masyarakat Austronesia pertama malah lari ke dataran tinggi. Sejarah Nusantara dari ekspansi Austronesia empat ribu tahun yang lalu hingga paruh akhir Abad ke-19 adalah sejarah upaya-upaya manusia untuk membuat dataran rendah layak dimukimi.

Pola yang serupa turut terlihat di bangsa-bangsa Asia Tenggara Daratan. Budaya padi yang dirintis di pegunungan Yunnan pertama menyebar perlahan ke lembah-lembah dataran tinggi, lalu merambah ke tanah datar yang diairi aliran sungai tunggal empat ribu tahun yang lalu. Sebaliknya, muara Irrawaddy, Chao Phraya, dan Mekong masih merupakan rawa mahabesar yang jarang ditinggali manusia hingga Abad ke-19. 

[KAATARA_WATERBENDING.JPG]

Air yang Mengalir

Lembah-lembah dataran tinggi telah lama menjadi rumah bagi sebagian besar penduduk Asia Tenggara. Curamnya lereng-lereng gunung mempersempit luas lahan yang bisa digarap. Tapi pengaruh alam seperti aliran air dari puncak sedikit banyak membantu meratakan lanskap dataran tinggi. Lahar beku dan longsoran tanah juga ikut menciptakan dasar lembah yang tak hanya landai, tapi juga subur dan layak ditanami, seperti tanah-tanah di Sumatera, Bali dan Jawa.


[DESKRIPSI GAMBAR : pembagian aliran sungai menurut Yoshikazu Takaya: cekungan antar pegunungan, dataran banjir, delta sungai, laut.

AIr yang mengalir di dataran tinggi berasal dari curah hujan maupun dari sumber air di puncak gunung. Karena sumbernya banyak, air mengalir lewat kali-kali kecil yang tidak begitu deras, sehingga cocok untuk kegiatan pertanian. Teknik-teknik irigasi sederhana dirintis dan digalakkan oleh pelbagai masyarakat nirnegara—Rejang, Minang, dan Batak—yang menghuni Bukit Barisan untuk menyokong budidaya padi, tapi nampaknya budaya irigasi ini lebih kentara di Jawa dan Bali. Prasasti-prasasti Abad ke-10 dan ke-11 mencatat kiprah warga Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, dalam membangun dan memelihara dawuhan (bendungan) dan dharmma kali (kanal) untuk mengairi sawah. Upaya-upaya ini dilakukan secara swadaya maupun dengan sokongan raja.  

Apabila infrastruktur air bisa didirikan di tingkat nagari dan desa di dataran tinggi, debit air yang tinggi di hilir sungai menuntut tenaga kerja yang jauh lebih besar agar bisa dikelola. Banjir yang menghantam daerah ini secara berkala, serta air payau yang merembes dari laut menambah derajat kompleksitas dari segala upaya untuk membangun pemukiman permanen di muara. Pada musim hujan, delta-delta sungai di Asia Tenggara bisa tergenang berbulan-bulan lamanya. Hanya penguasa-penguasa kolonial lah yang mampu mengerahkan tenaga kerja yang cukup dan teknologi yang memadai untuk menjinakkan rawa-rawa. 

Segala Serangga yang Menyangga

Pengecualian dari pola ini, saya rasa, bisa ditemukan di Jawa. Kita tidak bisa memungkiri jasa Keraton Kahuripan (Janggala) membuka jalan bagi masyarakat Jawa untuk menetap di dataran rendah pulau itu di Abad ke-11. Baik Janggala, Panjalu, maupun penerusnya, Majapahit, sedikit banyak terbantu oleh topografi pulau Jawa yang dibentuk oleh aliran sungai Bengawan dan Brantas. Selain mempermudah komunikasi antara pesisir dan pedalaman, aliran sungai menciptakan medan yang landai untuk ditanami padi. 

Letusan Gunung Merapi di tahun 928 Masehi turut memaksa warga bergeser dari Kedu dan Kewu ke timur Jawa. Ancaman lahar panas ternyata tidak cukup untuk menggeser manusia. Penguasa Jawa Abad ke-8 dan 9 menerbitkan sima, lempeng tembaga beraksara yang diberikan ke desa-desa tertentu. Isi kandungannya menjanjikan amnesti pajak bagi sang penerima, sebagai ganti dari kontribusi jasa babat alas, cetak sawah dan mendirikan desa. 

Apabila sima dimaknai sebagai insentif untuk memukimi dataran rendah, pemungut pajak Raja yang semena-mena adalah disinsentif untuk menetap di tempat tinggal lama. Lagipula, maraknya kegiatan di pesisir timur Jawa turut menuntut negara untuk menggenjot produksi pangan di daerah-daerah yang lebih terjangkau dari laut. 

Korban utama dari pergerakan manusia dari pegunungan ini adalah Anopheles Sundaicus, nyamuk vektor Malaria. Varian-varian Anopheles di Asia Tenggara ternyata tidak bisa berkembang biak di sawah. Sengaja atau tidak sengaja, ada kala ketika pemberantasan malaria dimulai dengan sekedar meramaikan kehadiran manusia di habitatnya saja.

Lain cerita di Semenanjung Malaysia dan pesisir timur Sumatera. Daerah yang dulu jarang penduduknya ini dihiasi rawa, habitat asli Anopheles. Upaya-upaya awal untuk mendirikan pemukiman malah memperparah penyebaran malaria karena genangan air yang tercipta dari pembalakan hutan turut menjadi kolam pembiakan nyamuk. Di muara Ciliwung yang kita kenal sekarang sebagai Jakarta, upaya VOC untuk mewujudkan kota terhambat “malaise” berkala yang berasal dari tambak-tambak ikan di pinggiran pemukiman.

Adat istiadat penduduk pesisir Asia Tenggara membuang sampah ke kolong rumah panggung turut andil dalam persebaran penyakit. Memang, ada kala ketika kebijakan ini sah-sah saja. Kiriman banjir yang nyaris pasti datang setiap tahunnya mengangkut sampah dan barang sisa ke laut. Ketika kepadatan penduduk dataran rendah dan kota-kota pelabuhan mulai meningkat di era kolonial, kebiasaan tersebut melanggengkan tipes dan kolera, wabah-wabah yang diperparah oleh buruknya kualitas air di hilir.

Awas Lanun!

Haram hukumnya membahas keengganan manusia Asia Tenggara untuk menetap di hilir tanpa menyinggung ancaman terbesar bagi keberlangsungan nyawa mereka: laut. Bagaikan Stepa Eurasia, hamparan luas yang memudahkan perjalanan manusia dan perdagangan juga membentangkan jalan bagi petualang dan perompak, penakluk dan pedagang budak. Negara yang jaya karena kendalinya akan lautan ternyata sama rentannya terhadap serbuan dari samudra, sebagaimana yang terjadi ke Kedatuan Sriwijaya di tahun 1025. Invasi Chola dibawah Rajendra yang Agung mengakhiri masa jaya Sriwijaya, sementara di Abad ke-18 avonturir Bugis-Makassar menggunakan kepiawaian maritim mereka untuk mengambil alih kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaysia.

Tatkala adidaya kawasan surut pamornya, bajak laut pasti merajalela di Nusantara.

Tidak semua penghuni pesisir dan dataran rendah menumpuk kekayaan sebagaimana Sriwijaya, tapi hal ini tidak berarti bahwa mereka kalah rentan terhadap laut. Kebangkitan perompak Iranun setelah tahun 1765 menorehkan trauma mendalam ke masyarakat pesisir di zaman ketika bangsa-bangsa Eropa mulai menertibkan perairan Asia Tenggara. Di periode yang sama, Orang Laut menangkapi budak dari komunitas pesisir di Selat Malaka. Beberapa suku, seperti Buton dan Madura di Indonesia hingga Bisaya di Filipina bedol desa dari bibir pantai ke daerah pedalaman yang tidak sebegitu rawan. 

Laut mensejahterakan kota-kota pelabuhan, tapi juga membuatnya lebih rentan. Keberlangsungan negara bertumpu pada kesedian kapal asing untuk berlabuh. Alhasil, para penguasa hilir berlomba-lomba untuk meniru tata negara dan sistem administrasi ala India, Cina, Islam dan Eropa yang lebih canggih, melahirkan birokrasi dan mengukuhkan otokrasi raja. Sebaliknya, raja-raja orang gunung memangku kekuasaan yang coraknya lebih magis daripada maujud. Tidak ada rangsangan eksternal untuk melembagakan otoritas raja, sehingga raja-raja dari Wangsa Sisingamangaraja dan Pagaruyung dihormati karena kesaktian mereka dan penguasaan akan yang ghaib. 

Pada akhirnya, musykil menghindari kesimpulan bahwa berhimpunnya manusia di dataran rendah Asia Tenggara adalah imbas kolonial. Teknologi baru, seperti teknik drainase rawa Belanda yang terkenal itu, mengizinkan muara-muara sungai ditinggali penduduk, sementara kapal uap membuka jalur perdagangan baru, mengadakan kota dari rawa. Dampak pendingin ruangan dan kendaraan bermotor di Abad ke-20 dan 21 juga patut diperhitungkan dalam membuat kota-kota pesisir semakin menarik untuk ditinggali. 

Faktor-faktor yang pernah membuat dataran rendah kurang menggiurkan untuk ditinggali perlahan ditanggulangi lewat kebijakan negara dan teknologi. Anthony Reid mencatat bahwa di paruh akhir Abad ke-19 muncul sebuah kesadaran di kalangan penduduk dataran tinggi bahwa satu-satunya jalan keluar untuk mengejar ketertinggalan mereka adalah dengan hijrah ke kota-kota pesisir, dimana akses ke pendidikan, pekerjaan, dan institusi-institusi kekuasaan berada. Indonesia di Abad ke-21 tampak setia menyusuri trajektori ini.