Yogya-Solo Tidak Lagi Terbuat dari Angkringan

Orang-orang yang tumbuh besar di Solo pada awal 2000-an pasti tahu bahwa mal bukanlah tempat nongkrong. Bukannya bagaimana. Waktu itu memang belum ada yang namanya mal. Sebelum Solo Grand Mall mulai beroperasi pada Desember 2004, pusat perbelanjaan paling keren di Solo hanyalah Singosaren Plaza.
Ya, di Singosaren Plaza memang ada bioskop, ada pusat permainan, dan ada tempat makan. Akan tetapi, seperti yang masih terlihat sampai sekarang, pusat perbelanjaan itu terlalu sumpek. Tempatnya sangat kecil dan keberadaan para pedagang di sana saja sudah membuatnya penuh sesak. Walhasil, nongkrong Singosaren Plaza bukanlah opsi.
Di masa itu game online mulai populer, terutama Warcraft dan Counter Strike. Banyak sekali pelajar yang rela menghamburkan uang jajan untuk bisa bermain game-game tersebut di game center. Tak jarang, sehabis pulang sekolah, tempat-tempat itulah yang jadi tujuan. Namun, tetap saja, game center bukanlah tempat nongkrong. Game center, ya, tempat untuk bermain.
Lalu, di manakah para pemuda era itu menghabiskan waktu untuk ngobrol-ngobrol santai? Jawabannya adalah wedangan, angkringan, atau HIK (Hidangan Istimewa Kampung). Bisa dibilang, HIK merupakan satu-satunya opsi karena waktu buka yang panjang, santapan yang murah, serta atmosfer cangkrukan yang tiada duanya.
Wedangan, angkringan, dan HIK adalah hal yang sama. Orang Solo menyebutnya wedangan atau HIK, sementara angkringan adalah istilah yang biasa digunakan oleh orang-orang Jogja. Konsepnya sama. Makanan berupa nasi bungkus berukuran kecil (nasi kucing), gorengan, dan sundukan (aneka rupa sate) serta berbagai macam minuman dijajakan menggunakan gerobak.
Pedagang bakal menyediakan kursi dan tikar di sekeliling gerobak . Mereka yang sudah biasa nongkrong di angkringan biasanya bisa mendapatkan tempat spesial di kursi sekeliling gerobak. Di sana mereka bisa mengobrol banyak baik dengan sesama pembeli maupun dengan penjualnya. Tempat itu spesial karena semua penganan bisa dijangkau dengan tangan.
Tidak semua angkringan memiliki tikar. Biasanya, tikar hanya tersedia di angkringan-angkringan populer. Di angkringan-angkringan biasa, pengunjung tidak akan terlalu banyak sehingga tikar tidak terlalu dibutuhkan. Untuk angkringan populer, tak jarang tikar yang disediakan bisa sangat banyak seperti yang bisa ditemukan di jembatan Pasar Gede, Solo.
Kendati populer, angkringan-angkringan tersebut tidak pernah mengkhianati khittahnya. Angkringan adalah tongkrongan murah. Artinya, harga makanan dan minuman yang ada di sana selalu bisa dijangkau semua kalangan, termasuk para pelajar berkantong cekak. Itulah mengapa, terutama pada awal 2000-an, angkringan adalah pilihan terbaik untuk nongkrong.
Kala itu, menghabiskan uang Rp10 ribu di angkringan sudah bisa dibilang luar biasa. Kalau sampai uang sekian keluar dari kantong, artinya Anda sudah mengambil cukup banyak hidangan yang disediakan. Setidaknya dua bungkus nasi, empat gorengan, empat sundukan, dan dua es teh Anda santap di angkringan tersebut.
Bagi pelajar awal 2000-an di Solo, menghabiskan uang Rp10 ribu di angkringan adalah hal langka. Pertama, karena banyaknya makanan yang harus Anda sikat untuk mencapai jumlah tagihan sekian. Kedua, uang jajan yang dimiliki memang tidak banyak. Paling banter, kebanyakan pelajar pada era tersebut cuma memiliki uang Rp20 ribu untuk dihabiskan pada akhir pekan.
Ketika Anda menghabiskan separuh uang jajan hanya untuk makan, Anda sudah melakukan kesalahan. Masih banyak hal yang lebih berharga seperti bermain game online, membeli majalah, dan sebagainya. Maka, kebanyakan pelajar kala itu cuma menghabiskan Rp5 ribu untuk menyantap hidangan di angkringan sembari bercengkrama.
Keadaannya kira-kira seperti itu. Angkringan bukanlah tongkrongan mewah, meskipun ada beberapa tempat yang sedari dulu sudah dikenal mahal. Biasanya, angkringan-angkringan tersebut punya nilai jual tersendiri. Entah karena mereka sudah berdiri sejak lama, berlokasi di tempat strategis, atau menjadi langganan tokoh tertentu. Namun, jumlah angkringan-angkringan "eksklusif" seperti ini waktu itu bisa dihitung dengan jari.
Satu hal yang perlu dicatat di sini. Angkringan populer bukan berarti angkringan eksklusif, meski angkringan eksklusif biasanya populer. Angkringan di jembatan Pasar Gede, atau yang lebih dikenal dengan Wedangan Agnes, tidak termasuk dalam golongan angkringan eksklusif meski sangat populer. Perbedaan utamanya, tentu saja, ada pada harga penganan dan minuman.
Nah, angkringan eksklusif sendiri belakangan berevolusi. Dulu, angkringan eksklusif masih berwujud angkringan. Gerobak masih terlihat dan paling banter mereka cuma memiliki tenda untuk melindungi pembeli dari hujan. Sekarang, situasinya sudah tidak seperti itu. Angkringan eksklusif adalah angkringan yang menyerupai kafe. Bahkan, ada yang dengan bangga menyebut diri mereka sebagai campuran antara kafe dan wedangan. Cari saja, lokasinya ada di Jl. Adi Sucipto, Solo.

Wedang nomor satu
Angkringan telah berevolusi. Fungsinya memang tidak pernah berubah. Pada dasarnya, angkringan tetaplah tongkrongan. Namun, yang membedakan adalah siapa yang nongkrong di sana. Angkringan eksklusif model baru, yang akan disebut dengan angkringan modern, bukanlah angkringan yang akan ditongkrongi oleh para pelajar Solo awal 2000-an. Angkringan ini diperuntukkan untuk orang-orang yang berbeda; orang-orang dengan dompet tebal.
Di angkringan modern, menghabiskan uang Rp10 ribu adalah hal luar biasa. Namun, luar biasa di sini punya makna berbeda karena dengan uang Rp10 ribu di angkringan modern Anda bakal hanya mendapatkan sedikit sekali makanan atau minuman. Bahkan, ada makanan dan minuman yang harganya saja sudah di atas Rp10 ribu.
Fenomena angkringan modern tersebut baru muncul dalam satu dasawarsa ke belakang, ketika industri konsumsi dan jasa benar-benar menggeliat di Solo dan Jogja; ketika mal, kafe, coffee shop, dan restoran-restoran mewah sudah jadi pemandangan jamak. Gentrifikasi yang dialami dua kota budaya tersebut nyatanya turut berpengaruh pada angkringan atau wedangan.
Brian Barcelona adalah penikmat angkringan sejati. Dia bercerita kepada Jurno bagaimana perubahan sosial di angkringan terjadi. Katanya, fenomena angkringan modern ini bermula sejak 2010 ketika angkringan "lampu padang"—alias lampu terang—bermunculan, terutama di daerah Laweyan. Namun, angkringan "lampu padang" ini tidak bertahan lama.
"Angkringan 'lampu padang' ini muncul sekitar 2010 sampai 2011. Menurutku, ini upaya untuk mendobrak pakem angkringan tradisional yang remang-remang, yang higienitasnya enggak diperhatikan. Ini awal mula kemunculan angkringan-angkringan model kafe sekitar 2014," tutur pria yang akrab disapa Bona tersebut.
Bona sendiri mengaku tidak terlalu menyukai angkringan-angkringan modern ini karena, menurutnya, di tempat-tempat itu "tehnya medioker". Bagi Bona, angkringan yang benar adalah angkringan yang teh atau wedangnya enak.
"Aku melihat perbedaan utama angkringan modern dan tradisional itu ada di makanannya, terutama di sundukan. Di angkringan tradisional sundukan-nya paling sate usus, ati, jeroan, keong. Di angkringan modern ada sosis, scallop, tempura. Tapi, di angkringan tradisional jualan utamanya, ya, wedangnya, ya tehnya. Di angkringan modern, wedang bukan prioritas," jelasnya.
"Di angkringan modern, yang ditawarkan memang enggak sama dengan angkringan tradisional. Di angkringan tradisional, seninya adalah ketemu dan ngobrol dengan orang-orang yang mungkin belum pernah kita temui sebelumnya. Makanannya enggak terlalu enak tapi wedangnya biasanya enak. Wedang itulah yang bikin ngobrol jadi enak juga."
"Kalau angkringan kafe, dengan tempat yang nyaman dan makanan yang lebih enak, biasanya yang datang ke sana adalah keluarga, itu pun di waktu-waktu tertentu. Biasanya pas liburan baru ramai banget. Biasanya juga, yang datang ke situ bukan penduduk asli. Angkringan seperti itu sudah jadi seperti tempat turis," lanjut Bona.
Menurut Bona, sebenarnya tidak ada yang salah dengan angkringan modern. Hanya, tempat seperti itu memang tidak akan selalu ramai pengunjung. Katanya, orang-orang lokal seperti dirinya sudah punya angkringan langganan sendiri dan, biasanya, angkringan langganan ini adalah angkringan tradisional.
"Di angkringan tradisional, penjual sama pembeli bisa dekat sekali. Dari sini, misalnya, aku jadi tahu asal muasal para pedagang angkringan. Penjual angkringanku cerita bahwa budaya nongkrong di angkringan ini asalnya dari Bayat (sebuah kecamatan di Klaten, red). Pedagang-pedagang angkringan di Solo juga kebanyakan dari sana, makanya rata-rata cita rasanya sama, entah makanan ataupun minumannya," tutur Bona.
"Pernah suatu kali pedagang angkringanku enggak bisa jualan, terus diganti orang Sragen. Angkringannya terus diboikot sama orang-orang karena rasa teh dan baceman-nya lain. Ternyata, orang Sragen enggak suka teh kental. Baceman-nya juga enggak manis kayak baceman bikinan orang Bayat," lanjutnya.
Bona nampaknya tidak sendirian. Banyak orang meyakini angkringan tradisional adalah angkringan yang sesungguhnya, di mana wedang dan spirit kebersamaan menjadi nyawa utama, sedangkan angkringan kafe atau angkringan modern tidak bisa benar-benar disebut angkringan meski masih ada benang merahnya.
"Gampangnya, angkringan kafe adalah angkringan buat orang-orang yang ingin merasakan angkringan tanpa merasakan berbagai ketidakenakan yang ada di angkringan," tandas Bona.