Apapun Sistem Pemilu Legislatifnya, Kinerja DPR Tetap Buruk

Apapun Sistem Pemilu Legislatifnya, Kinerja DPR Tetap Buruk


 

Ini isu politik yang bikin ribut belakangan: wacana perubahan sistem pemilu legislatif dari proporsional terbuka menjadi tertutup. 

 

Wacana tersebut mengemuka ketika sekelompok orang menggugat beberapa pasal dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satunya Pasal 168 ayat (2) yang menyatakan, “pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.” Mereka menilai aturan yang berbasis perolehan suara terbanyak itu telah dibajak caleg pragmatis tanpa ikatan ideologi ke partai politik. 

 

Gugatan itu kemudian bergulir menjadi bola panas ketika Ketua KPU Hasyim Asy'ari menyatakan kemungkinan sistem pemilu 2024 menjadi proporsional tertutup

 

“Jadi, barangkali bagi calon peserta pemilu bisa bersiap-siap dan mengikuti perkembangan jika gugatan tersebut dikabulkan MK,” kata Hasyim. 

 

Melalui Sekjen Hasto Kristiyanto, PDIP sebagai partai penguasa saat ini pun mendukung wacana perubahan tersebut. Beberapa alasannya, sistem proporsional terbuka menjadikan partai sekadar mesin elektoral yang pada akhirnya menciptakan oligarki politik; sistem proporsional tertutup sesuai dengan amanat konstitusi bahwa peserta pemilu legislatif adalah parpol; dan sistem proporsional tertutup dapat memangkas biaya pemilu. 

 

“Di tengah berbagai persoalan perekonomian kita, biaya pemilu bisa jauh ditekan,” kata Hasto.

 

Di sisi lain, delapan partai parlemen saat ini (PKB, PAN, PPP, Demokrat, Nasdem, PKS, Golkar, dan Gerindra) menolak wacana perubahan sistem pemilu. Mereka beralasan sistem proporsional tertutup tak sejalan dengan semangat pemilu langsung setelah reformasi, yang memberi ruang masyarakat mengenal langsung calon wakilnya. Mereka pun menyatakan sikap yang isinya meminta MK mempertahankan Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu dan meminta KPU bekerja independen. 

 

Sebetulnya, perdebatan ini selalu muncul dari pemilu ke pemilu. Dalam penyusunan UU Pemilu yang digunakan saat ini, misalnya, pemerintah sempat mengusulkan penggunaan sistem proporsional tertutup untuk pemilu legislatif tingkat kabupaten/kota. Namun, usulan tersebut ditolak fraksi-fraksi DPR. 

 

Indonesia pun sebetulnya sudah pernah mempraktikkan sistem proporsional terbuka dan tertutup. Sistem proporsional tertutup dipakai pada pemilu sepanjang Orde Lama, Orde Baru, dan awal reformasi pada pemilu 1999. Sementara, proporsional terbuka digunakan pada empat pemilu terakhir. 

 

Lantas, apa sebetulnya beda keduanya? 

 

Beda Sistem Proporsional Terbuka & Tertutup

 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mula-mula kita perlu memahami tentang sistem proporsional. Sederhananya, proporsional adalah sistem yang membagi jumlah kursi parlemen berdasarkan besaran kuota setiap daerah pemilihan. Kuota kursi tersebut kemudian dibagi kepada tiap parpol sesuai dengan jumlah perolehan suara mereka saat pemilu. 

 

Ketika membagi kuota kursi parlemen yang dimiliki partai itulah kemudian muncul sistem proporsional tertutup dan terbuka. 

 

Dalam sistem proporsional tertutup, parpol menentukan daftar nama dan nomor urut kandidat secara tertutup. Pimpinan nasional parpol lantas mengajukan nama kandidat legislatif terpilih berdasarkan nomor urut yang telah disusun. Hal ini sebagaimana pernah termaktub dalam Pasal 68 UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. 

 

Ilustrasinya begini. Lima orang mencalonkan diri melalui parpol X. Berdasarkan ketentuan ketua umum parpol yang telah disepakati bersama, mereka mendapat nomor urut 1, 2, 3, 4, dan 5. Ketika pemilu, parpol X mendapat tiga kuota kursi di parlemen. Maka, calon nomor urut 1, 2, dan 3 lah yang berhak menduduki kursi tersebut sesuai keputusan pimpinan parpol. 

 

Sebaliknya, dalam sistem proporsional terbuka parpol menentukan daftar nama secara terbuka tanpa nomor urut. Pemilih pun dapat memilih langsung kandidatnya di surat suara, selain memilih parpol. Kandidat dengan suara terbanyak lah yang nantinya terpilih menduduki kursi parlemen. 

 

Di Indonesia, pelaksanaan sistem proporsional terbuka sempat mengalami sejumlah perubahan aturan. Merujuk UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang menjadi aturan awal penggunaan sistem proporsional terbuka, penentuan kandidat terpilih berdasarkan suara setelah habis dibagi bilangan pembagi pemilih (BPP). Namun bila tak ada kandidat yang mencapai jumlah BPP, maka penentuan kandidat terpilih berdasarkan nomor urut. 

 

Pada pemilu 2004, secara nasional hanya ada tiga kandidat legislatif yang mampu meraih suara 100% dari BPP. Sisanya dipilih berdasarkan nomor urut. Maka, aturan kemudian dilonggarkan dengan seorang kandidat bisa terpilih ketika suaranya mencapai 30%  dari BPP, sebagaimana termaktub dalam Pasal 214 huruf (a) UU Nomor 10 Tahun 2008. 

 

Aturan terakhir itu kemudian dibatalkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008. Sehingga, syarat kandidat terpilih hanyalah mendapatkan suara terbanyak yang berlaku sampai saat ini. 

 

Meski demikian, kandidat tetap menggunakan nomor urut. Hal ini membuat pelaksanaan sistem proporsional terbuka cenderung inkonsisten. Selain itu, hal tersebut juga menguntungkan sebagian kandidat karena kandidat dengan nomor urut 1 dan 2 cenderung mendapatkan suara lebih banyak dibandingkan yang lain.

 

Yang Lebih Penting Adalah Kinerja DPR

 

Kenyataannya, seperti dikatakan banyak pakar politik, tak ada sistem pemilu yang ideal. Terlalu memperdebatkannya pun justru berpeluang melupakan hal yang sebenarnya lebih penting: kinerja anggota DPR setelah terpilih. 

 

Pelbagai studi menunjukkan, kinerja legislasi DPR sejak awal kemerdekaan sampai 2019 lalu tak pernah konsisten. Studi dari Abdul Bari Azed, pengajar magister ilmu hukum di Universitas Batanghari, misalnya, mendapati DPR era Republik Indonesia Serikat (RIS) hanya mampu mengesahkan 7 undang-undang. Penyebabnya, mereka terlalu disibukkan dengan urusan transisi politik dan perubahan kabinet yang terlalu sering terjadi. 

 

Di era reformasi, studi tersebut pun menunjukkan kinerja DPR belum maksimal meskipun bisa mengesahkan lebih dari 100 undang-undang. Hal ini antara lain karena mereka hanya mampu mengesahkan separuh dari total rancangan undang-undang (RUU) dalam program legislasi nasional (Prolegnas). DPR periode 2004-2009, misalnya, hanya mampu mengesahkan 50,9% dari 366 RUU Prolegnas. 

 

Jumlah undang-undang yang disahkan DPR dari 1945-2019 bisa dilihat dalam tabel berikut: 

NO

Periode

Jumlah Undang-Undang Disahkan

1.

1945-1949 (Komite Nasional Indonesia Pusat)

133 

2. 

1949-1950 (DPR Republik Indonesia Serikat)

7

3.

1950-1956 (DPR Sementara)

167

4.

1956-1959 (DPR Hasil Pemilu 1955)

113

5.

1959-1966 (DPR Gotong Royong)

10

6.

1966-1971 (DPR Gotong Royong Orba)

85

7.

1971-1977 

43

8.

1977-1982

55

9.

1982-1987

46

10.

1987-1992

55

11.

1992-1997

70

12.

1997-1999

103

13.

1999-2004

189

14.

2004-2009

193

15.

2009-2014

125

16.

2014-2019

84

Sementara, studi Indeks Kinerja Legislasi (IKL) DPR periode 2020-2021 yang dilakukan Indonesian Parliamentary Center mendapati skor 36,2 dari 100 alias buruk. Skor ini berdasarkan rata-rata perhitungan terhadap lima dimensi indikator, yakni: efektivitas prosedur; keterterimaan publik; kesesuaian prosedur; transparansi; dan partisipasi. 

 

Dari kelima dimensi tersebut, skor tertinggi adalah efektivitas prosedur dengan 52,07 dari 100. Sementara terendah adalah partisipasi dengan 8,91 dari 100. Skor selengkapnya bisa dilihat dalam grafik berikut ini:

 

 

 

Penyebab sangat rendahnya skor partisipasi, antara lain karena ada lima RUU tanpa melalui mekanisme Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) atau mendengar pendapat publik saat penyusunannya. Kelimanya adalah RUU Mahkamah Konstitusi, RUU APBN 2021, RUU Pengesahan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Antara Republik Indonesia dan Negara-Negara EFTA, dan RUU Pengesahan Protokol untuk Melaksanakan Paket Komitmen Ketujuh Bidang Jasa Keuangan dalam Persetujuan Kerangka Kerja ASEAN di Bidang Jasa. 

 

Lalu, ada enam RUU tanpa laporan aspirasi publik. Salah satunya adalah RUU Cipta Kerja yang sempat menuai penolakan dari masyarakat tapi tetap disahkan. Beleid ini pun pada akhirnya dinilai MK inkonstitusional, sebelum akhirnya Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 lalu. 

 

Sampai di sini, tak berlebihan untuk menyimpulkan bahwa apapun sistem pemilunya, kinerja DPR tetap buruk.