Arsitektur Anti-Orang Miskin Hantui Dunia
Jembatan panjang yang tak ramah pejalan kaki. Anak tangga curam menyulitkan ibu hamil, anak-anak, orang tua, dan difabel. Kursi–yang lebih mirip tempat menyandarkan pantat–muncul di tempat publik seperti stasiun kereta. Tentunya sebagai masyarakat urban kita pernah menemukan, atau terpaksa menggunakan, fitur-fitur desain publik seperti ini. Memang mereka menyusahkan–tapi kenapa mereka selalu ada, bahkan terus bertambah setiap tahunnya?
Desain Tak Ramah Bernama Hostile Architecture
Tak ada yang tahu siapa yang pertama kali menggunakan istilah ini. Tapi prakteknya sudah berjalan sejak abad ke-19 lewat serangkaian metal yang ditempelkan di pinggiran gang-gang kecil London. Tujuannya adalah untuk mengalirkan air seni ke got–atau lebih parah lagi, untuk mencipratkan air seninya balik ke pelaku.
Alat ini diprotes oleh para laki-laki London. Kata mereka alat ini tak adil dan tak seharusnya dipasang; toh mereka berujung pipis di gang dan akhirnya merusak gedung yang mereka kencingi karena tidak ada toilet umum yang bisa digunakan di sekitar.
Hostile architecture terus dikembangkan di abad ke-20. Salah satu contoh utamanya adalah jembatan Southern State Parkway yang didesain oleh Robert Moses. Jembatan ini sengaja dibuat sangat landai supaya bis (transportasi utama yang digunakan oleh orang-orang kulit hitam dan imigran Puerto Rico) tidak bisa melewati jalan itu.
Tiga dekade setelah Robert Moses membuat sketsa Southern State Parkway, pemerintah Amerika Serikat memperkenalkan Pencegahan Kejahatan Lewat Desain Lingkungan (CPTED). Strategi ini pertama kali dikembangkan oleh arsitek Oscar Newman, lalu dilanjutkan oleh kriminolog C. Ray Jeffery. Strategi ini secara khusus memanfaatkan lingkungan yang ada untuk membuat kejahatan lebih sulit untuk dilakukan, seperti memberikan pencahayaan yang strategis, gerbang untuk menghalangi, dan memelihara properti untuk menandakan bahwa tempat ini masih digunakan.
Desain arsitektur yang awalnya digunakan untuk mendiskriminasi orang-orang miskin dan kulit berwarna, dikembangkan menjadi desain anti-gelandangan. Sekarang desain-desain ini bisa kita lihat di kota-kota besar, seperti Boston, New York, Madrid, dan bahkan Jakarta. Kadang, desain defensif tak hanya berupa kursi yang dibuat sedemikian rupa supaya tidak bisa ditiduri, tapi juga menghilangkan kursi di area pejalan kaki.
4 Mantra Desain Defensif:
Sumber: New York City’s Anti-Homeless Hostile Architecture | Topic
Memang tujuan awal dari desain ini adalah untuk membuat kota ‘lebih aman’ dan menekan angka kejahatan. Namun justru desain ini malah membuat kota semakin tak ramah bagi para penduduknya. Ia tak hanya mendiskriminasi gelandangan–yang seharusnya dirumahkan oleh pemerintah, tapi juga penduduk lain.
Desain defensif seperti ini mempengaruhi banyak orang: ia membuat para ibu kesulitan beristirahat kala bepergian di kota, anak-anak tak bisa bebas bermain di ruang publik, orang tua yang sudah rentan kesusahan mencari tempat untuk duduk, dan orang-orang difabel tidak bisa berjalan di trotoar tanpa membahayakan keselamatan mereka.
Desain-desain seperti ini tak hanya membuat orang tak nyaman, ia juga menandakan bahwa apabila orang-orang ingin merasa nyaman di kota, ia harus membayar–entah dengan menggunakan transportasi privat seperti mobil, mengeluarkan uang di cafe atau mall hanya untuk sekedar duduk, membayar beberapa ribu rupiah untuk menggunakan toilet di ruang publik, dan rentetan hal-hal menyebalkan lainnya.
Berkaca dari hal ini, adalah kewajiban moral bagi kita semua untuk melawan hal-hal ini. Kota sudah seharusnya untuk penduduknya, tanpa memandang bulu kelas, umur, dan etnis mereka. Sudah seharusnya desain diciptakan untuk membuat penduduknya merasa nyaman, alih-alih mengusir dan hanya membuat kota nyaman untuk segelintir orang.