Dollar Naik Bukan Hal yang Baru

Kurs rupiah jauh dari kata baik-baik saja. Beberapa minggu terakhir, nilai tukar rupiah ke dollar AS (USD) terjun bebas ke angka Rp 16.000, dengan puncaknya terjadi pada 18 Juni 2024 di angka Rp 16.407,95. Bahkan ada yang meramalkan nilai tukar rupiah melemah ke angka Rp 17.000 apabila Bank Indonesia (BI) tidak segera melakukan intervensi. 

 

Namun melemahnya rupiah bukan sepenuhnya salah pemerintah. Dollar AS memang sedang menguat karena inflasi. Federal Reserve Board (Fed) merespons situasi ini dengan menaikkan suku bunga 11 kali selama 1,5 tahun terakhir. Tujuannya adalah untuk melakukan soft landing—menurunkan angka inflasi tanpa merugikan kondisi ekonomi dan pasar kerja. Kebijakan ini berimbas negatif ke ekonomi domestik maupun internasional. 

 

Kabar baiknya, pasar domestik AS bisa kembali normal, bahkan lebih baik: produk domestik bruto (PDB) dan tingkat belanja masyarakat terus naik. Kabar buruknya, dollar AS terus menguat yang berarti harga jual barang impor AS akan terus naik dan daya beli korporasi dan masyarakat internasional menurun. 

 

Dalam konteks Indonesia, kenaikan dollar akan berimbas ke defisit neraca berjalan. Efek riil lainnya adalah naiknya harga minyak, elektronik, sandang, dan pangan. Salah satu industri yang langsung terkena efek penguatan dollar adalah tiket pesawat

 

Kenaikan dollar yang konstan memang mengerikan. Tapi tahukah kamu kalau kenaikan dollar ini tidak hanya terjadi di pemerintahan Jokowi, tapi juga di pemerintahan presiden-presiden yang lalu?

 

  

 

B.J. Habibie

 

Walau pernah diledek “tukang menghamburkan uang dan penghancur ekonomi Indonesia” oleh Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew, Habibie bisa menaikkan nilai tukar rupiah dari Rp16.800 ke Rp6.550 pada 28 Juni 1999, lalu menjadi Rp7.700 di akhir masa jabatannya. Hal ini bisa dicapai dengan langkah-langkah berani, seperti memisahkan BI dari pemerintah lewat Undang-Undang nomor 23 tahun 1999, pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), unit Pengelola Aset Negara, serta lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri. 

 

Tak hanya itu, Habibie juga mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan yang Tidak Sehat serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Untuk menekan inflasi, ia menginstruksikan Bank Indonesia untuk menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan tingkat bunga tinggi (dari 22% menjadi 45%) supaya masyarakat terdorong menyimpan uang di bank. Kebijakan tarif dasar listrik dan subsidi BBM tetap dipertahankan supaya daya beli masyarakat tidak makin melorot.

 

Langkah-langkah ini yang berhasil meningkatkan kepercayaan investor luar dan menyelamatkan Indonesia dari inflasi tak berkesudahan. 

 

Abdurrahman Wahid

 

Sepak terjang Gus Dur dalam memajukan hak asasi manusia Indonesia memang luar biasa, tapi hal yang sama tidak berlaku untuk kebijakan ekonominya. Memang di masa awal jabatannya, Gus Dur menerapkan kebijakan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah serta menerapkan pajak dan retribusi daerah. Ekonomi pun menguat ke angka 4,92% di tahun 2000. Sayang, angka pertumbuhan menurun menjadi 3,64% di tahun berikutnya.

 

Perjanjian IMF dengan Indonesia terus berlanjut sampai masa pemerintahan Gus Dur. Perjanjian ini meliputi empat aspek, yaitu kerangka makro ekonomi jangka menengah, kebijakan restrukturisasi, menata ulang institusi perekonomian, serta memperbaiki manajemen sumber daya alam. Sayangnya program ini tidak bisa berjalan dengan baik karena kesalahan langkah yang diambil oleh tim ekonomi saat itu serta skandal pemerintahan seperti korupsi Bulog. 

 

Mismanajemen ini yang menyebabkan hubungan IMF dengan pemerintahan Gus Dur meregang. Hubungan dengan IMF kembali membaik setelah Gus Dur Presiden menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 15/1999 tanggal 2 November 1999 memerintahkan Menko Ekuin Kwik Kian Gie mengumumkan laporan lengkap PricewaterhouseCoopers (PwC) atas skandal Bank Bali. Meski begitu, IMF 4 kali menunda pencairan bantuan dana karena Indonesia dinilai belum menjalankan perjanjian dengan baik. Mereka juga menuntut semua BUMN melewati audit dan hasilnya diumumkan ke publik, tapi tuntutan ini ditolak oleh pemerintahan. 

 

Selain itu, realisasi investasi asing Indonesia cenderung menurun. Pada 1999, penanaman modal asing ada di USD35,3 miliar dari 509 proyek, tapi menurun ke angka USD11,2 miliar dengan total proyek 658, dan terus turun ke angka USD 7,96 miliar dengan 468 proyek.

 

Hal-hal ini yang menyebabkan nilai rupiah terus melemah sampai ke angka Rp11.040 di masa akhir jabatannya. Angka inflasi tercatat di 17%. 

 

Megawati Soekarnoputri

 

Naiknya Megawati diwarnai oleh banyak peristiwa—pertama, pemakzulan Gus Dur, kedua, surutnya investasi asing dan naiknya dollar, ketiga, naiknya neraca hutang, dan keempat, merenggangnya hubungan dengan IMF dan Bank Dunia. Di awal, tim ekonom Megawati mencoba untuk memperbaiki hubungan dengan IMF. Tapi usaha ini tidak sepenuhnya berhasil karena halangan-halangan warisan pemerintahan Gus Dur.

 

Lalu, pandangan terhadap IMF semakin menurun di tengah 2022. Sentimen ini yang menyebabkan pemerintah untuk membangun kerangka ekonomi untuk membayar utang-utang luar negeri supaya pemutusan perjanjian dengan IMF berjalan mulus di akhir 2003.

 

Kebijakan-kebijakan ekonomi Megawati dinilai efektif. Ekonomi Indonesia tumbuh stabil walau sempat diguncang beberapa serangan teroris. Inflasi turun dari 12% menjadi 5%, tingkat suku bunga turun dari 17% menjadi 7%, rasio utang dengan PDB turun dari lebih dari 100% ke 70%, dan nilai kurs rupiah cenderung stabil di angka Rp8.000-9.000. Di akhir masa jabatannya, satu dollar setara dengan Rp9.093. 

 

Susilo Bambang Yudhoyono

 

Pemerintahan SBY bisa dibilang cukup beruntung karena mewarisi negara yang ekonominya cenderung stabil. Namun yang menjadi pertanyaan, bisakah ia mempertahankannya?

 

Sayangnya tidak. Krisis demi krisis menghantam pemerintahannya. Paling parah adalah krisis ekonomi 2008 yang mengantar kurs dollar naik menjadi Rp12.650 di November 2008. Cadangan devisa di tahun ini juga anjlok dari USD60,6 miliar di Juni menjadi USD51,6 miliar di Desember. Untuk mengontrol laju inflasi, pemerintah SBY menggelontorkan subsidi supaya daya beli masyarakat tetap terjaga. 

 

Krisis membuat pergerakan ekonomi melambat. Pada 2008, pertumbuhan ekonomi bertahan di angka 6%. Namun angka ini terus menurun hingga 4,63% di akhir masa jabatan pertama dan awal masa jabatan keduanya di tahun 2009. Kenaikan ekonomi pada 2010 naik di angka 6,49%, tapi setelahnya perekonomian Indonesia mengalami pasang surut. Hal serupa juga terjadi dengan rupiah. Nilai terendah di angka Rp8.511 pada Agustus 2011 lalu ambruk di angka Rp12.105 di akhir masa jabatannya. 

 

 Joko Widodo

 

Kenaikan ekonomi dan juga dollar naik turun roller coaster. Tantangannya juga lebih banyak—tak hanya dihadang ketidakpastian perekonomian global, tapi juga pandemi, utang yang meningkat, penurunan produktivitas industri manufaktur karena daya beli melemah, gempuran barang impor murah dan ilegal, serta masih banyak lagi.  

 

Walau begitu, situasi ekonomi tidak sepenuhnya buruk. Awal kepemimpinannya ditandai oleh pelemahan PDB (4,9%) di tahun 2015, tapi naik menjadi 5,2% di tahun 2018. Namun hal yang sama tidak bisa dikatakan untuk rupiah. Di September 2016, dollar sempat diredam ke angka Rp12.999. Sayangnya kondisi ini tidak bisa dipertahankan—dollar sempat naik ke angka Rp15.237 di Oktober 2018. Dollar sempat turun ke angka Rp13.706 di Januari 2020, tapi menukik tajam ke angka Rp16.741 di awal pandemi. Untungnya hal ini hanya terjadi sementara—dollar menurun perlahan tapi kembali naik sampai sekarang.  

 

Kenaikan tajam ini berbanding terbalik dengan prediksi salah satu ekonom yang memperkirakan nilai dollar bisa ditekan kembali ke angka Rp10.000. Nilai tukar rupiah tidak pernah kembali ke angka pemerintahan SBY—ia malah terus naik, turun, naik, turun, sampai ke puncak seperti sekarang.

 

Kenaikan ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan ke pemerintahan Jokowi. Kebijakan suku bunga AS yang ketat beberapa saat terakhir punya andil besar dalam pelemahan kurs rupiah. Toh, permasalahan ini tidak hanya dirasakan Indonesia. Dan sayangnya, kenaikan dollar kemungkinan akan terus terjadi sampai beberapa waktu ke depan.

 

Pemerintahan Jokowi akan berakhir pada 20 Oktober 2024. Penerusnya, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan naik ke tampuk kepresidenan di hari yang sama. Akan seperti apa nasib dollar dibawah pemerintahan mereka?