
Highlight
- Siapa Orang Rimba Jambi:
Mereka adalah komunitas adat Suku Anak Dalam yang hidup berdampingan dengan alam, secara turun-temurun mendiami hutan Jambi.
- Apa ancaman terbesar bagi Orang Rimba saat ini:
Deforestasi masif akibat proyek Hutan Tanaman Energi (HTE) oleh perusahaan PT HAN yang menggusur mereka dari hutan dan menghancurkan ruang spiritual mereka.
Baca Juga:
Isu Lingkungan dalam Proyek IKN
Nicholas Saputra Aktor dan Aktivis Lingkungan
Transisi Energi Musnahkan Ruang Spiritual Orang Rimba
Hilangnya Hutan, Hilangnya Dewa: Krisis Identitas Orang Rimba Jambi Ditengah Gempuran Energi Hijau
Orang Rimba Jambi — Penjaga Hutan yang Ditinggalkan Zaman
Orang Rimba Jambi bukan sekadar komunitas adat biasa. Mereka adalah penjaga benteng terakhir ekosistem hutan tropis Sumatera yang kini terkikis atas nama transisi energi. Hidup di jantung rimba, kelompok ini menjaga warisan spiritual, sosial, dan ekologis yang diwariskan leluhur. Sayangnya, kini mereka terusir dari orang rimba hutan yang selama ini mereka sebut rumah.
Salah satu tokoh utama, Tumenggung Karim, menyuarakan kegelisahan kolektif komunitasnya: “Piado rimbo, piado bungo. Piado bungo, piado dewo.” Jika hutan tiada, maka bunga dan dewa pun menghilang.
Hutan Adalah Masjid, Tempat Suci Orang Rimba Hutan
Bagi Orang Rimba Jambi, hutan bukan sekadar ruang hidup, melainkan ruang spiritual. Hutan adalah tempat mereka terhubung dengan dewa-dewa leluhur. Di tengah lebatnya pohon, mereka membangun balai, semacam altar kayu suci untuk melakukan ritual kepercayaan. Inilah titik temu antara manusia dan alam gaib.
Mereka percaya pada Dewa Langit, Burung Gading, Mergo, hingga Tenggiling—entitas spiritual yang menjaga harmoni antara manusia dan alam. Semua itu hanya dapat dilakukan di orang rimba hutan. Tanpa hutan, mereka percaya Dewa tidak lagi bersama mereka.
Hidup Tradisional di Tengah Ancaman Energi “Hijau”
Deforestasi di Balik Energi Terbarukan
Ironisnya, kerusakan hutan yang dialami Orang Rimba Jambi dilakukan atas nama energi terbarukan. PT Hijau Artha Nusa (HAN), perusahaan asal Korea Selatan, merampas 32.000 hektare hutan untuk Hutan Tanaman Energi (HTE). Alih-alih menanam sengon secara luas, perusahaan hanya menanam 64,5 hektare, sementara 5.000 hektare hutan alami sudah rata dengan tanah.
Kini, para orang rimba jambi berpindah dari hutan ke pinggiran kebun sawit, kehilangan akses terhadap sumber makanan, ritual, dan bahkan identitas spiritual mereka.
Ritual, Kelahiran, dan Kematian yang Bergantung pada Hutan
Kelahiran yang Bertaut dengan Pohon Setubung
Setiap kelahiran anak Orang Rimba Jambi diiringi dengan penguburan ari-ari di bawah pohon setubung. Pohon itu menjadi simbol jiwa anak. Menebang pohon ini dianggap setara dengan membunuh manusia. Sayangnya, karena penebangan masif, kini setubung semakin langka, dan mereka terpaksa mengganti dengan pohon sungkai.
Kematian yang Disemayamkan dalam Rimba
Ketika seseorang wafat, jenazah mereka tidak dikubur di pemakaman umum, melainkan disemayamkan di tanah pasaron—hutan terdalam yang menjadi tempat suci terakhir. Ritual kematian ini menegaskan betapa kuat keterikatan orang rimba hutan dengan alam yang kini musnah.
Pengislaman Kontroversial — Ke Mana Arah Kepercayaan Mereka?
Mualaf Tapi Tak Dibimbing
Pada tahun 2020, Tumenggung Karim dan kelompoknya diajak masuk Islam. PT HAN bersama tokoh agama dan organisasi Mualaf Center Indonesia (MCI) memfasilitasi pengislaman sembilan orang rimba jambi. Mereka dijanjikan pendidikan agama, mushala, dan fasilitas keagamaan.
Namun, semua janji itu runtuh dalam hitungan bulan. Mushala terbengkalai, pengajian berhenti, dan bimbingan rohani menghilang. Akibatnya, komunitas ini hidup dalam dilema spiritual: tak bisa kembali ke kepercayaan lama karena orang rimba hutan telah hilang, tapi juga tak sepenuhnya memahami ajaran Islam baru yang diterima.
Penggusuran Tanpa Ganti Rugi Budaya
Robert Aritonang dari KKI Warsi menyebut tindakan ini sebagai “rubuhnya halom”—hancurnya rimba dan eksistensi Orang Rimba Jambi. Denda adat atas penebangan pohon setubung pun diabaikan. Tidak ada restitusi budaya, apalagi ganti rugi spiritual.
Sementara itu, data dari Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa infrastruktur agama yang sempat dibangun sudah rusak parah. PT HAN bahkan berhenti beroperasi sejak 2021, meninggalkan janji-janji kosong dan trauma kolektif.
Reaksi Lintas Agama: Dimana Keadilan Transisi Energi?
Green Faith Indonesia mengecam keras tindakan ini. Menurut mereka, transisi energi yang mengorbankan hak-hak komunitas adat bertentangan dengan prinsip keadilan iklim. Hening Parlan, koordinator nasional Green Faith, mengatakan: “Hutan itu seperti masjid bagi Orang Rimba Jambi. Tanpa hutan, mereka kehilangan jalan menuju Tuhannya.”
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Seruan untuk Generasi Muda
Kamu yang berusia 18–25 tahun adalah generasi dengan suara yang lantang di media sosial. Saat ini, suara dan perhatianmu bisa membantu menyuarakan nasib orang rimba jambi yang terpinggirkan. Tekan pemerintah untuk:
- Mengembalikan hak adat mereka
- Melindungi orang rimba hutan yang tersisa
- Menghentikan proyek HTE yang tidak adil
- Mendorong pengakuan kepercayaan Penghayat
Orang Rimba Jambi: Simbol Perlawanan Terakhir Hutan Tropis
Hilangnya orang rimba hutan bukan hanya kerugian ekologis, tetapi juga spiritual dan budaya. Jika orang rimba jambi kehilangan hutannya, maka Indonesia kehilangan satu akar jati dirinya. Ini bukan sekadar soal pohon, tapi tentang warisan yang tak tergantikan.