Kenapa Megawati Belakangan Suka Ngeselin?

Kenapa Megawati Belakangan Suka Ngeselin?



 

Lagi-lagi Megawati. Megawati lagi-lagi. 

 

Ketua Umum PDIP itu tak pernah bosan mengeluarkan pernyataan kontroversial. Setelah soal “ibu-ibu cuma doyan menggoreng”, “tukang bakso”, dan “ibu-ibu pengajian”, terbaru Megawati menyinggung demonstrasi kepala desa di depan Gedung DPR beberapa waktu lalu. 

 

Dalam pidatonya ketika menghadiri peringatan 9 tahun Undang-Undang Desa, di Gelora Bung Karno Jakarta, Minggu 19 Maret 2023, begini kata Megawati: 

 

“Sudahlah. Ibu suka mikir prihatin lho, ngapain hari gini masih demo-demo sih. Enggak usah. Ini ada, katanya ini pimpinan (DPR/MPR). Suruh baik-baik datang. Ini Pak Utut (Adianto) ada, ini juga dari DPR. Datang baik-baik. Ngapain kalian (demo), ha?” 

 

Seperti yang sudah-sudah, pernyataan Megawati tersebut pun menuai kritik. Salah satunya dari politikus Demokrat Hasbil Mustaqim Lubis. 

 

https://twitter.com/Hasbil_Lbs/status/1637630548863782913?s=20

 

“Ibu, katanya demokrasi orang boleh dong demo? Yes,” lanjut Mega, “tapi enggak begini caranya. Enggak begini caranya, karena sudah buang duit.” 

 

Mengapa Megawati seolah tak bosan mengeluarkan pernyataan kontroversial meski selalu dikritik? 

 

Strategi Dog Whistle

 

Dalam politik dikenal istilah dog whistle atau peluit anjing. Jennifer Saul, profesor filsafat Universitas Sheffield, menyebut dog whistle sebagai penggunaan bahasa kode untuk berkomunikasi dengan kelompok tertentu tanpa secara eksplisit menyatakan pesan yang ingin disampaikan.

 

Saul menyebut dog whistle sebagai alat manipulasi politik. Dengan dog whistle, politisi dapat menciptakan kesan palsu tentang hal yang mereka perjuangkan. Sehingga, mereka bisa mendapatkan dukungan kelompok tertentu untuk kebijakan yang mungkin tidak populer jika disampaikan secara gamblang. 

 

Selain itu, melalui dog whistle politisi akan lebih mudah menyangkal kesalahan. Karena kunci dari dog whistle terletak pada penggunaan bahasa yang ambigu untuk membuka ruang lebih banyak interpretasi dari pernyataannya.

 

Saul mencontohkan penggalan pidato kenegaraan Presiden Amerika George W. Bush pada 2003 ini: “Namun ada kekuatan, kekuatan yang bekerja luar biasa, dalam kebaikan dan idealisme serta keyakinan rakyat Amerika.” Menurutnya, pernyataan tersebut sengaja dimaksudkan kepada kelompok Kristen Fundamentalis dalam upaya meraih dukungan politik mereka pada pemilu 2004. 

 

Frasa “kekuatan yang bekerja luar biasa”, menurut Saul, terasa biasa bagi masyarakat umum. Tapi, sangat dekat bagi kelompok Kristen Fundamentalis karena secara eksplisit selaras dengan idiolek mereka tentang Kristus.  

 

Sementara, Ian Haney Lopez dalam Dog Whistle Politics (2014), menyebut dog whistles mengandung pesan yang melanggar konsensus moral nasional, dan mereka yang meniupnya telah sadar betul akan dikutuk secara luas. Beginilah cara politisi memanipulasi seruan rasial untuk memenangi pemilihan umum dan meraup dukungan atas kebijakan regresif yang membantu orang super kaya. 

 

Di Amerika Serikat, menurut Lopez, dog whistle digunakan politisi Partai Republik untuk menciptakan polarisasi dan meraup dukungan dari mayoritas kulit putih. Misalnya, dengan menyudutkan orang kulit hitam sebagai kriminal, serta orang Islam sebagai ancaman Amerika. 

 

Bila dicermati, pernyataan Megawati tampak memenuhi unsur dog whistle. Khususnya dog whistle yang menurut Jennifer Saul tergolong ke dalam kategori disengaja. Megawati menggunakan bahasa ambigu seperti dalam pernyataannya terkait “tukang bakso.” Ada juga unsur menyudutkan pengikut gerakan politik tertentu lewat pernyataannya terkait “ibu-ibu pengajian.” 

 

Lalu, pernyataan Megawati mengandung pesan yang bertentangan dengan demokrasi sebagai konsensus moral politik nasional hari ini, ketika menyinggung demonstrasi para kepala desa. 

 

Megawati pun tampak telah menyadari pernyataannya bakal mendatangkan kritik. Ini terlihat dari responsnya yang sangat terencana terhadap pengkritiknya, seperti melakukan demo masak tanpa menggunakan minyak goreng untuk menjawab kritikan publik atas pernyataannya seputar “ibu-ibu doyan menggoreng.”

 

Unsur dog whistle sebetulnya juga terlihat dalam pernyataan-pernyataan Megawati yang lain, yakni seperti berikut ini: 
 


Milestone

Pernyataan

Visual

16 Februari 2023. Acara Seminar Nasional Badan Pengarah Ideologi Pancasila Gerakan Semesta Berencana Mencegah Stunting. 

“Saya mau 30 tahun jadi Ketum. Sekarang mulai banyak yang bilang itu tidak betul. Itu terlalu lama kalau sebagai Ketua Umum. Ya, saya diam saja. Lha wong yang milih itu anggota saya.” 

mungkin bisa dikasih muka megawati ngomong yg scrolly telling. 

10 Januari 2023. Acara HUT ke-50 PDIP di Jakarta International Expo. 

“Pak Jokowi itu kayak gitu lho, mentang-mentang. Lah iya, padahal Pak Jokowi kalau enggak ada PDI Perjuangan juga, aduh, kasihan dah.”


10 Januari 2023. Acara HUT ke-50 PDIP di Jakarta International Expo. 

“Kamu tahu enggak sih? Ibumu ini sudah pinter, cantik, karismatik, pejuang. Apa lagi? Eh, kayak gini semua, nggak mau aku."


10 Januari 2023. Acara HUT ke-50 PDIP di Jakarta International Expo. 

“Untung saya ini pinter loh, jadi kalau saya mau mejeng, apa ya namanya itu, selfie. Kalau aku mau selfie pasti pengikutku okeh (banyak).”


10 Januari 2022. Acara HUT ke-49 PDIP. 

“Sekarang saya tanya saja sama orang di Sumatera Barat, rasanya kok kayak jadi sepi ya, begitu ya di sana. Seperti tadi saya katakan, Aceh banyak melupakan Sultanahnya, Sultanah lho, jadi Sultanah itu perempuan.” 


10 November 2020. Acara penerimaan City of Intellect di Universitas Negeri Jakarta. 

“Saya bilang Jakarta ini menjadi amburadul. Karena apa, ini seharusnya City of Intellect ini dapat dilakukan tata kotanya, master plannya, dan lain-lain sebagainya.” 

 

Kepentingan Megawati

 

Penting untuk melihat Megawati sebagai politikus dan Ketua Umum PDIP. Bukan sebagai Ketua Dewan Pengarah BPIP dan BRIN, meskipun beberapa pernyataannya disampaikan dalam kapasitas tersebut. Karena dog whistle berkaitan dengan kepentingan politikus di arena politik praktis. 

 

Dari seluruh pernyataan Megawati, setidaknya ada dua kepentingan besar yang ingin diraihnya: 

 

  1. Politik Elektoral

 

Lewat pernyataannya soal demonstrasi kepala desa, Megawati sebetulnya sedang berusaha mengambil suara para kepala desa daripada menyudutkan mereka. Dengan menyarankan agar para kepala desa meminta pimpinan DPR baik-baik datang, lalu menunjuk contoh Utut Adianto sebagai salah satu pimpinan DPR dari PDIP yang saat itu hadir, Megawati sedang ingin menunjukkan bahwa partainya yang juga sebagai penggagas UU Desa selalu siap memenuhi kepentingan mereka. 

 

Arah menggalang dukungan juga terlihat dari pernyataan Megawati selanjutnya di GBK saat itu. Ia menyinggung soal Presiden Jokowi yang menurutnya makin kurus karena pusing memikirkan negara. Ia pun meminta kepada para kepala desa memilih presiden seperti Jokowi. 

 

“Pilih orang yang baik. Seperti Pak Jokowi itu kan saya pilih, karena saya yakin beliau orang baik, oke saya jadikan (presiden),” kata Megawati.  

 

Upaya tersebut sangat masuk akal, mengingat selama ini Menteri Pembangunan Desa dan Daerah Tertinggal yang menjadi pelaksana langsung UU Desa justru tak pernah dijabat politikus PDIP. Sejak UU Desa diundangkan pada 2014, Menteri Pembangunan Desa dan Daerah Tertinggal justru dijabat politikus PKB

 

Hal itu membuat kredit politik dari pelaksanaan UU Desa, terutama dari penggelontoran dana desa yang kini mencapai Rp 72 triliun per tahun, lebih berpeluang dinikmati PKB. Salah satunya terlihat dari pernyataan Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia, Muhammad Asri Anas yang menyebut isu perpanjangan masa jabatan kepala desa sengaja digalang PKB untuk kepentingan pemilu 2024. 

 

Dalam pernyataan terkait ibu-ibu pengajian, upaya serupa pun muncul. Bagi kelompok Islam, pernyataan tersebut tentu terkesan merendahkan mereka. Namun, bagi kelompok nasionalis pernyataan tersebut bisa menegaskan Megawati sebagai seorang nasionalis tulen yang berada di pihak mereka. Sehingga, Megawati bisa menebalkan suara mereka yang selama ini memang menjadi basis utama PDIP. 

 

Apalagi, dalam dua pilpres terakhir atmosfer politik identitas menguat di negeri ini. Terjadi polarisasi antara kelompok Islam dan yang menyebut dirinya nasionalis, sebagaimana terlihat dari munculnya istilah kadrun dan cebong. Dan, dalam dua palagan terakhir telah terbukti berada di sisi nasionalis membuat PDIP berjaya serta berhasil membuat Jokowi terpilih sebagai presiden. 

 

Pernyataan Megawati soal “Sumatera Barat sepi”, “Aceh lupa sultanahnya”, dan “Jakarta amburadul” bahkan lebih gamblang lagi berupaya meraih suara pemilih. Soal Sumatera Barat dan Aceh, Megawati tampak berusaha membangkitkan lagi ingatan kedua masyarakat di wilayah tersebut terhadap adat mereka. Sebuah upaya untuk menggerus identitas Islam yang menjadi sikap politik belakangan dan membuat suara PDIP habis dalam pemilu terakhir di sana

 

Frasa “Aceh banyak melupakan Sultanahnya, Sultanah lho, jadi Sultanah itu perempuan,” bahkan terang memperlihatkan Megawati sedang berusaha mengarahkan masyarakat Aceh untuk memilih pemimpin perempuan. Dan bukan kebetulan bahwa anak perempuannya, Puan Maharani menjadi kandidat capres pada 2024. 

 

Sementara, pernyataan “Jakarta amburadul” terang bertujuan membandingkan era kepemimpinan Anies Baswedan dengan era Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama sebagai kader PDIP. Sehingga pemilih bisa berpikir untuk kembali memilih kader PDIP sebagai pemimpin Jakarta pada pemilu selanjutnya. Satu hal yang juga bisa berimplikasi pada kepentingan PDIP di pemilu nasional, mengingat posisi Gubernur Jakarta adalah jalan lapang menuju presiden seperti telah dibuktikan Jokowi. 

 

  1. Politik Internal PDIP

 

Kepentingan selanjutnya adalah terkait politik internal PDIP. Lewat pernyataan “mau 30 tahun menjadi Ketum”, “ibumu pinter, kharismatik, pejuang”, dan “aku mau selfie pasti banyak pengikut”, Megawati berusaha meyakinkan kader partainya bahwa ia masih memiliki kekuatan politik besar, populer, dan tetap layak memimpin PDIP. 

 

Belakangan memang tengah berkembang isu Jokowi bakal menggantikan Megawati sebagai Ketua Umum. Pada November 2022, Koalisi Aktivis dan Milenial Indonesia untuk Ganjar Pranowo, menyebut Jokowi dengan popularitasnya serta keberhasilan menjadi presiden layak menggantikan Megawati.

 

Bahkan, isu tersebut masih menjadi pembahasan sampai saat ini. Rocky Gerung menyebut, upaya Jokowi mencalonkan Ganjar Pranowo sebagai capres berkaitan dengan rencana mengkudeta Megawati menggunakan kekuatan Istana. 

 

Pernyataan “Jokowi mentang-mentang” pun setali tiga uang. Megawati tampak berusaha meneguhkan kapasitasnya sebagai Ketua Umum PDIP yang memiliki hak prerogratif menentukan capres dari partainya. Bukan Jokowi yang berstatus hanya sebagai petugas partai. 

 

Megawati tentu punya alasan untuk bersikap seperti itu. Soal pilpres 2024, sorotan calon presiden lebih banyak kepada kemungkinan sosok yang dipilih atau didukung Jokowi. Satu hal yang secara tidak langsung menempatkan Megawati seolah queen dowager atau ibu suri: punya jabatan tertinggi di parpol, tapi pengaruhnya lebih kecil ketimbang raja. 

 

Ya, sasaran pesan Megawati selain untuk kadernya adalah kepada Jokowi. Terbukti pada 18 Maret 2023, Jokowi akhirnya bertemu Megawati di Istana Negara yang salah satunya membahas soal kandidat capres. 

 

Apa pun kepentingan Megawati sesungguhnya, dog whistle yang dilakukannya jelas menunjukkan kapasitasnya sebagai politikus. Megawati tahu cara membungkus kepentingannya dalam pesan terselubung yang halus. Membuat khalayak lain, termasuk saya, sibuk berspekulasi dan pada akhirnya menciptakan kontroversi yang bisa menguntungkan dirinya. 

 

Meski demikian, seperti pendapat Ian Haney Lopez, dog whistling sebetulnya berdampak buruk bagi demokrasi. Muatan rasis dan menyudutkan kelompok tertentu, berpeluang menciptakan polarisasi politik identitas. Dan lebih jauh lagi bisa mengakibatkan instabilitas nasional berkelanjutan dan merugikan rakyat. 

 

Untuk yang terakhir itulah kita perlu mengkhawatirkan pernyataan Megawati.