Perbedaan ekonomi antara si 1% dengan 99% sudah biasa. Tapi bagaimana dengan perbedaan ekonomi antar para 99%?
Inilah argumen yang dibawakan oleh David Autor, ekonom MIT. Dalam artikelnya yang diterbitkan di Science pada 2014, Autor berargumen bahwa ketidaksetaraan di antara 99% harus mendapat lebih banyak perhatian. Ya, jurang antara 1% dengan 99% memang semakin jauh, tapi kesenjangan di antara 99% pun juga harus dipelajari karena efeknya jauh lebih terasa di kehidupan sehari-hari masyarakat.
Autor berargumen kesenjangan yang semakin nyata di kalangan 99% berasal dari tidak meratanya akses pendidikan. Hal inilah yang kemudian berimbas ke pendapatan masyarakat. Untuk membuktikan argumennya, ia menggunakan statistik pendapatan keluarga yang sarjana vs keluarga yang hanya lulusan SMA dari 1979 ke 2012. Hasilnya, mereka yang punya gelar sarjana memiliki pendapatan $28.000 lebih tinggi daripada mereka yang hanya lulusan SMA.
Perbedaan pendapatan inilah yang para ekonomis sebut sebagai college earnings premium (CEP). Nilai CEP ditentukan oleh faktor permintaan dan penawaran–semakin banyak lulusan universitas, semakin rendah CEP-nya. Puncak nilai CEP dalam konteks Amerika Serikat terjadi pada 1980an, lalu nilainya mulai menurun pada 2005 karena lulusan universitas semakin banyak.
Sumber:Skills, education, and the rise of earnings inequality among the “other 99 percent” | Science
Namun semakin banyaknya lulusan universitas bukan satu-satunya alasan kenapa nilai CEP bisa turun. Ada beberapa faktor lain yang tak kalah penting, seperti penghancuran serikat pekerja di berbagai lini, kenaikan upah yang tak setara dengan laju inflasi, perdagangan internasional yang membuat perusahaan-perusahaan multinasional mengalihkan produksi ke negara-negara berkembang karena harga buruh di sana jauh lebih murah, dan juga kemajuan teknologi yang menuntut pekerja yang lebih terampil.
Autor menyatakan bahwa CEP sekarang memang tak semenggiurkan dulu. Pertumbuhan CEP sudah melandai, tapi nilainya masih tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Avery dan Turner (2012) menunjukkan selama 42 tahun berkarir, laki-laki yang lulusan sarjana mendapatkan hampir $600.000 lebih banyak dari laki-laki yang hanya lulusan SMA, sementara perempuan lulusan sarjana mendapatkan $370.000 lebih banyak. Ini jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 1965 dimana perbedaannya adalah $213.000 untuk laki-laki dan $129.000 untuk perempuan.
Hal serupa juga sebenarnya terjadi di Indonesia: lulusan sarjana mendapatkan 1,7 juta lebih banyak dari mereka yang hanya lulusan SMA dengan jam kerja yang sama (35-44 jam/minggu). Namun, belum ada penelitian longitudinal khusus di Indonesia soal perbedaan pendapatan antara lulusan SMA dan universitas.
Ini berarti gelar sarjana penting untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan, kan? Sayangnya kenyataannya tak segampang itu. Banyak lulusan universitas yang berujung bekerja di pekerjaan yang seharusnya tak membutuhkan pendidikan tinggi, seperti admin, kurir, dan pekerja ritel. Fenomena underemployment ini tak hanya membuat gelar sarjana terasa sia-sia, tapi juga membuat mereka yang terperangkap mengalami depresi karena merasa tak bisa mengaktualisasikan dirinya. Akibatnya, para lulusan SMA ke bawah semakin kesulitan mendapatkan pekerjaan atau terpaksa mengambil pekerjaan yang gajinya lebih kecil dari pekerjaan-pekerjaan tersebut, mengakibatkan kesenjangan semakin menajam.
Lebih dari itu, fenomena underemployment merupakan kegagalan pemerintah untuk menciptakan lapangan pekerjaan yang padat karya. Deindustrialisasi prematur Indonesia yang terjadi pasca-krisis ekonomi 1997-1998 berefek besar pada lapangan pekerjaan yang kemudian menciptakan efek domino.
Ditambah argumen Autor berdiri di atas asumsi bahwa lulusan universitas sudah pasti berkualitas dan lebih produktif dibandingkan mereka yang hanya lulus SMA. Argumen ini juga mengasumsikan bahwa para pengusaha yang saban hari komplain soal sedikitnya pekerja terampil dan menggaji “pekerja kurang terampil” dengan gaji rendah adalah benar. Padahal kenyataannya tak begitu–justru yang harusnya dilakukan adalah menaikkan gaji ke para pekerja. Niscaya para pekerja punya insentif untuk lebih produktif.
Kalau masalahnya sudah sebesar ini, apakah membuat lebih banyak orang kuliah merupakan jawabannya, seperti yang disaranka oleh Autor? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Karena banyaknya lulusan sarjana justru bisa membuat CEP semakin menurun. Terlebih yang paling dirugikan dalam hal ini adalah para lulusan SMA ke bawah yang pekerjaannya diserobot oleh sarjana. Belum lagi lulusan-lulusan dari kampus yang kurang terkenal karena nilai sarjana mereka tak setinggi lulusan kampus-kampus elit seperti UI, UGM, dan ITB.