Kok Ada Tentara di Transjakarta?

PERINGATAN: Artikel ini membahas tentang pelecehan dan kekerasan seksual.

 

Pengumuman bagi pengguna Transjakarta: sekarang kita bisa satu bus dengan tentara-tentara Indonesia. Menurut penuturan Kepala Divisi Sekretaris Perusahaan PT TransJakarta Apriastini Bakti Bugiansri, personel ini dialihkan dari berjaga di halte ke dalam bus TransJakarta untuk mencegah pelecehan seksual.  

 

Kasus pelecehan seksual di transportasi umum masih menjadi potret buruk Jakarta. Kasus terbesarnya terjadi pada 2014, ketika perempuan yang terkena serangan asma mengalami pelecehan seksual oleh petugas TransJakarta. Mirisnya lagi, kejadian ini terjadi di jam ramai.


Pihak TransJakarta dan transportasi umum lainnya telah berjanji untuk meningkatkan keamanan di halte dan stasiun. Namun, pelaksanaannya masih dianggap kurang efektif. Para korban yang melapor juga tak pernah menjelaskan kelanjutan laporan dan tindakan hukum apa yang diterima oleh pelaku.  

 

Infografis

Survei daring KRPA mengenai pelecehan seksual di masa pandemi Covid-19 2022

 

Lokasi: seluruh Indonesia

Data responden: 

Perempuan: 3.539 (83,55%)

Laki-laki: 625 (14.75%)

Gender lainnya: 72 (1.70%)

Pelecehan seksual yang terjadi di transportasi umum ada di posisi ketiga (23%), setelah ruang publik seperti jalanan umum atau taman (70%) dan kawasan pemukiman (26%).  

Sumber: Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik selama Pandemi COVID-19 di Indonesia (2022) – Koalisi Ruang Publik Aman (ruangaman.org)

 

Statisik P2TP2A mengenai pelecehan dan kekerasan seksual di Jakarta 1 Januari-13 Juli 2022

 

774 kasus pelecehan dan kekerasan seksual di DKI Jakarta: 356 kasus terjadi di rumah, 261 terjadi di transportasi publik. 

Sumber: https://mediaindonesia.com/megapolitan/506512/kasus-pelecehan-di-transportasi-umum-meningkat-wagub-dki-jangan-takut-lapor 

 

Satu Bus dengan Tentara

 

Dihadapi dengan dilema ini, entah kenapa TransJakarta memutuskan untuk bekerja sama dengan TNI. Pada awalnya, personel TNI ditugaskan untuk menjaga ketertiban penumpang di halte. Baru beberapa hari kemudian, para personel ini masuk ke dalam bus sebagai usaha pencegahan pelecehan seksual. 

 

 (5) KabarPenumpang on Twitter: "Transjakarta menempatkan petugas keamanan (TNI) di bus di seluruh koridor dlm upaya mencegah pelecehan seksual. Saat ini, jumlah petugas masih terbatas dan tak disebutkan jumlahnya berapa, sehingga petugas harus mobile di seluruh bus dan koridor, baik BRT maupun non BRT. https://t.co/N7qH5bVbPq" / Twitter

 

Keesokannya, berbagai media mengkonfirmasi hal ini. CNBC menyatakan kerjasama Kodam Jaya dengan TransJakarta sudah dilakukan sejak Mei 2022 lalu. Namun peresmian agenda perjanjian (MoU) baru dilakukan 30 September 2022. Ini meliputi peminjaman personil militer untuk menjaga keamanan, pengelolaan aset bersama seperti pembuatan depo bus hingga stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKL), dan pelatihan kedisiplinan dan keselamatan kerja, terutama dalam menghadapi kondisi demo. 

 

Melihat perjanjian tersebut, bukankah ini seharusnya dilaksanakan dengan Polri?

 

Bukan saya saja yang melihat perjanjian ini aneh. Komentar-komentar kontra warganet di cuitan Kabar Penumpang menyatakan keberadaan personel TNI terasa mengganggu. Ada yang bilang tentara diperlakukan layaknya satpam. Urusan keamanan, kata mereka, seharusnya diserahkan ke polisi. Ada pula yang lebih kritis melihatnya sebagai bentuk pengawasan negara terhadap masyarakat. 

 

Meski begitu, ada yang menanggapi positif kebijakan baru dan menganggapnya sebagai bentuk pengabdian TNI terhadap masyarakat. Keberadaan personil TNI disebut akan menimbulkan efek psikologis yang lebih besar ke calon pelaku pelecehan seksual. Tak hanya itu, TNI dianggap lebih profesional dan bertanggung jawab dibanding kepolisian yang akhir-akhir ini punya reputasi miring. 

 

Personil TNI dalam Ruang Publik

 

Kerjasama TNI dengan transportasi publik sebenarnya sudah terjadi sejak 10 tahun silam. Kejadian pertama terjadi pada 2013—para personil TNI dan Polri terlihat lalu-lalang di stasiun Tanah Abang. Keberadaannya membuat para penumpang ketakutan dan was-was. Pada 2014, stasiun kereta api Aras Kabu, Sumatera Utara dijaga polisi dan TNI karena 51 kepala keluarga enggan melepas tanah mereka. Selanjutnya pada 2019, polisi dan TNI menjaga MRT selama pemilu. Pemberitaan terbanyak tentang keterlibatan polisi dan tentara paling terbit selama pandemi 2020-2022. Kapolri dan Panglima TNI mengerahkan 74 personil TNI-Polri di 11 stasiun KRL di tahun 2020, dengan alasan agar penumpang jauh lebih tertib

 

Penjagaan lebih ketat pada masa pandemi bisa dibilang masuk akal. Bisa saja TransJakarta dan KCI tidak punya personil keamanan yang cukup untuk memastikan protokol Covid-19 berjalan dengan baik. Meski begitu, seharusnya ini adalah tanggung jawab Polri saja, bukan TNI. Lalu apa penyebabnya?

 

Rupanya, merayapnya TNI ke dalam ruang publik sudah terjadi sejak bertahun-tahun lalu. Sejak 2015, LBH Jakarta mencatat TNI sudah melakukan MoU dengan 31 organisasi sipil dan pemerintah, umumnya untuk menjaga keamanan dan kenyamanan investor. Ini dianggap melenceng karena UU No. 34 tahun 2004 mencatat yang berhak melakukan pengerahan TNI adalah presiden semata. Apabila MoU ini dilaksanakan tanpa persetujuan presiden, maka MoU tersebut tidak sah.

 

TNI semakin mendekat dengan publik kala ia meneken MoU bersama Polri yang menyatakan TNI bisa bertugas di operasi militer selain perang (OMSP) di tahun 2018. MoU ini awalnya dibuat dengan konteks Pilkada 2018. Tapi berhubung MoU ini berlaku selama 5 tahun, TNI akhirnya kerap terlibat dalam urusan pengamanan publik. Itu pun juga harus seizin presiden. 

 

Tapi TNI tak hanya berhenti sampai situ. Pada 2019 TNI bernegosiasi dengan Ombudsman untuk menambah lembaga yang bisa dimasuki oleh TNI dari 10 ke 19. Kemungkinan langkah ini dilakukan untuk mengantisipasi ratusan perwira dan jenderal TNI yang menganggur karena ketiadaan posisi strategis. Usaha ini nampaknya berhasil karena setidaknya ada 10 perwira aktif TNI yang memegang posisi strategis di BUMN.

 

Komnas HAM dan LBH Jakarta menolak hal ini karena dianggap mengembalikan militerisme dan dwifungsi TNI. Mereka merujuk TAP MPR VI dan VII tahun 2000 yang mengatur TNI sebagai alat pertahanan dalam menjaga kesatuan dan kedaulatan negara dari berbagai ancaman luar dan dalam negeri serta  UU No. 34 tahun 2004 karena MoU dengan perusahaan sipil bukan melalui persetujuan presiden.

 

Urusan Sipil Harus Diurus Sipil

 

Sejauh ini TransJakarta telah mengantisipasi pelecehan seksual, misalnya dengan menyediakan ruang khusus perempuan dalam bus dan penempatan CCTV di berbagai titik bus. Tak hanya itu, setiap bus diberikan himbauan bagi penumpang untuk tidak melakukan tindakan kriminal, salah satunya pelecehan seksual. Sayang, usaha ini terbukti tak berhasil. Angka pelecehan seksual masih tinggi.

 

Berhubung transportasi umum merupakan ranah publik dan pelecehan seksual adalah urusan sipil, maka penyelesaiannya harus dilakukan secara sipil. Selain menyalahi aturan dan tupoksi TNI sendiri, orang patut bertanya: sejauh mana pendidikan soal gender telah terlembaga di tubuh TNI sendiri? 

 

TransJakarta menyatakan serius mencegah pelecehan seksual, namun ia tidak bekerja sama dengan Komnas Perempuan serta lembaga-lembaga masyarakat yang bergerak di bidang gender dan transportasi publik. Mereka lebih paham soal isu-isu ini dan bisa memberikan strategi yang lebih tepat jitu. Keterlibatan mereka untuk menyelenggarakan  pelatihan pencegahan sekaligus menangani korban pelecehan seksual akan lebih bermanfaat. 

 

Justru strategi terbaru Transjakarta yaitu dengan menambah 20 armada bus khusus perempuan (bus pink) adalah langkah terbaik yang bisa dilakukan. 20 bus ini akan meliputi Koridor 2 (Pulogadung-Harmoni), Koridor 3 (Kalideres-Pasar Baru), Koridor 9 (Pinang Ranti-Pluit), Koridor 13 (Ciledug-Tendean) dan rute PGC-Harmoni (5C). Rutenya akan bertambah menjadi 7 per Maret 2023. 

 

Penambahan armada dan pemendekan rute merupakan strategi yang sudah terbukti. Mengimplementasikan request stop alias membiarkan penumpang berhenti di luar halte juga bisa menekan angka pelecehan seksual. Namun melihat jalanan Jakarta sekarang, nampaknya solusi pertama jauh lebih efektif. Ini penting, mengingat pelecehan kerap kali terjadi di dalam bus yang penuh. Ditambah rute yang panjang, makin rentanlah penumpang jadi korban.

 

Jadi, biarkan urusan transportasi dan keamanan sipil dipegang oleh pihak yang bertanggung jawab dan kompeten. 

 

***

 

Apabila kamu menjadi korban pelecehan seksual di transportasi umum, bisa lapor ke:

 

POS SAPA: 112

Komnas Perempuan: [email protected]

P2PT2A: 081317617622

Komnas HAM: [email protected]

LPSK: https://lpsk.go.id/informasi/forminfopublik