Love-Hate Relationship dengan Bahasa Jaksel

Ga ngerti kenapa tapi every few months there’ll be debates about mixing Indonesians and English in one sentence or paragraph. Setiap ada tweet viral yang pakai bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, you would find locals alias warlok replying with “apaan sih, pakai bahasa Indonesia tuh yang bener!” Warlok lain yang bahasa Inggrisnya lebih fluent, bakal chime in dengan bilang “makanya jangan emoh belajar Bahasa Inggris!” sehingga diskursus soal nyampur-nyampur bahasa muncul ad-infinitum. 

 

Nah, sekarang coba hitung ada berapa bahasa yang saya gunakan dalam satu paragraf? Kira-kira ada 4, but that’s beside the point. Justru poin tulisan ini adalah untuk dissecting kenapa banyak orang merasa annoyed dengan penggunaan bahasa gado-gado ini. Karena for me, this comes very naturally.

 

Word Salad Alias Gado-gado Bahasa

 

Para ahli linguistik menyebut what I am doing right now as code-mixing or translanguaging. Ini bukan fenomena anyar yang muncul due to the birth of gen Z Jaksel yang terlalu lama bergentayangan di internet. Justru fenomena ini sudah ada sejak 4000-5000 tahun lalu, ketika bangsawan Roma gonta-ganti bahasa between Yunani-Roma. Tradisi bangsawan minimal bilingual terus berlanjut ke European aristocracy, but instead of Greek and Roman, they learned French, Latin, and local language. 

 

Hal yang sama juga terjadi di kerajaan Jawa setelah dijajah oleh Belanda. Para elite Jawa dipaksa untuk belajar bahasa ‘tuan’nya untuk memperlancar usaha penjajahan. Tapi siapa sangka para bilingual terjajah ini justru melahirkan karya dan pemikiran yang menarik, seperti R. A. Kartini dan Raden Saleh. Tidak ada catatan detil bagaimana Kartini berinteraksi dengan suaminya, but I am pretty sure she peppered basa Jawa krama with some Dutch.

 

Program politik etis Belanda yang memberikan akses anak-anak priyayi untuk sekolah di HIS, ELS, dan HBS melahirkan elite baru yang obviously mixing Javanese, Dutch, and probably English too when they’re speaking to their fellows. Our first president, Sukarno, was fluent in Javanese, Sundanese, Dutch, Indonesian, English, German, French, and probably a little bit of Japanese too karena menikah dengan Naoko Nemoto/Ratna Sari Dewi. Surely you don’t believe that he didn’t code-switch kaya yang kita lakukan sekarang? 

 

Ir. Soekarno saat diwawancara wartawan belanda - YouTube

Plisss percaya kalo dia suka code switching!! Plisss!!!

 

Tapi itu kan golongan elitenya, bagaimana dengan kita-kita para rakyat jelata yang buyutnya tidak pernah duduk di HIS? Tentu saja bisa, karena code-switching is not only limited to foreign language-native language. For a lot of Indonesians, bahasa Indonesia is not their first language. Only 20% Indonesians yang bahasa ibunya Bahasa Indonesia, sisanya ya, bahasa daerah seperti bahasa Jawa, Sunda, Bugis, dan lain-lain.

 

Tentu saja ini pengecualian untuk orangtua para Jason, Kenzo, Queenza, dan nama-nama anak unik lainnya. Yang saban hari terdengar mengutarakan “Kenzo, mami already told you no!” dan beraspirasi anak-anaknya bisa sekolah di sekolah internasional sampai kuliah. 

 

Mengingat code-switching adalah fenomena bilingual, bisa dibilang a lot of us already practiced it tiap hari anyway. Tapi banyak yang unaware soalnya bahasa daerah dan bahasa Indonesia sudah terlalu embedded alias hampir tak terasa perbedaannya di percakapan sehari-hari. Orang-orang baru menyadari code mixing ketika ada yang mencampur bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia. Tapi apa yang membuat orang-orang langsung triggered ketika melihat orang lain using Cinta Laura speaking mannerism?

 

Mereka yang mencibir mengatakan para pencampur bahasa Indonesia dan Inggris (Inglish?) tidak nasionalis, melecehkan bahasa nasional, atau yang lebih serius, menuduh mereka tidak bisa menyusun kalimat. Ada juga tuduhan lain seperti “keminggris” dan “sok keren”, tapi ya, they just don’t compare. Tuduhan pertama menunjukkan kita sebagai negara dan bangsa begitu obsessed with kemurnian suatu hal dan nasionalisme. Mungkin ada hubungannya dengan trauma kolonial zaman dulu?

 

Tapi kalau disambung-sambungkan dengan generational trauma from being colonized juga terasa tidak tepat. Toh Sukarno dan pejabat-pejabat Indonesia dulu yang first hand merasakan penjajahan Belanda kerap menggunakan bahasa Belanda, bahkan ke sesama orang Indonesia. Saking notoriusnya, mereka sampai disebut kemlondo”. Wow, ekuivalen jadul dari “bahasa Jaksel”! 

 

Parlente dengan Bahasa Asing?

 

Namun kalau kita telusuri dari awal, the reason why people are so annoyed with orang-orang yang gonta-ganti bahasa seperti ini tidak jauh-jauh dari alasan privilese. Sukarno, the OG polyglot and (alleged) code switcher sekolah di HIS, HBS, dan kuliah teknik sipil di Technische Hogeschool Bandung. Bisa sekolah sampai kuliah untuk pribumi pada masa itu sangatlah sulit karena biaya yang sangat mahal dan seleksi lineage yang cukup ribet. 

 

Pejabat-pejabat yang dekat dengan Sukarno seperti Letnan Jenderal Ahmad Yani dulunya sekolah di SMA Kristen Jakarta dan Jenderal Abdul Haris Nasution lulusan sekolah guru Bandung termasuk geng kemlondo. Both of them came from rich and privileged families. Contrast this with Mayor Jenderal Soeharto dan Letnan Kolonel Untung yang actually datang dari keluarga yang biasa-biasa saja sehingga tak fasih bahasa Belanda. Language disparity ini yang menyebabkan mereka accidentally dikucilkan dari geng Sukarno.

 

Hal ini juga yang terulang sekarang. Bedanya, learning foreign language—dalam kasus ini, English—tidak lagi di-gatekeep oleh bule-bule jahat bin kolonial. Secara teoritis, semua bisa bahasa Jaksel asal punya koneksi internet dan keinginan untuk belajar. Tapi realitanya adalah koneksi internet tidak merata, literasi internet buruk jadi banyak yang tak tahu harus belajar dari mana, atau lebih basic-nya lagi, tak punya smartphone dan uang untuk beli paket data atau langganan WiFi. 

 

Maka tak mengherankan fenomena bahasa gado-gado ini kerap kali ditemukan di daerah urban yang konsentrasi middle class-nya tinggi seperti Jakarta dan Surabaya. Cici dan koko Surabaya is the most interesting case of code switching because they mix basa Jowo, istilah Khek atau Hakka, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris all in one breath. Mereka bukan hanya contoh asimilasi yang berhasil, tapi juga menunjukkan kelas ekonomi mereka. Also, notice how these two cities have the highest concentration of international schools? 

 

Namun hal ini pula yang menyebabkan kekesalan dan anxiety dari code switching oleh publik. Bahasa Jaksel screams educated middle class. Ia membuat class divide dan menciptakan jarak antara orang yang (cukup) fasih bahasa Inggris dengan yang kurang bisa Bahasa Inggris. Terkadang jarak ini memang sengaja dibuat supaya orang yang tak diinginkan tak ikut dalam diskusi, tutur Aditya Wardhana, who is educated on Linguistic. Pendeknya, “lo tuh gak diajak!” 

 

Lebih lanjut, Aditya mengatakan orang-orang yang code switching bukan berarti lebih pintar dari yang monolingual. Terkadang mereka lebih nyaman menggunakan istilah asing karena merasa sentimen dan nuance-nya lebih tepat. Ini juga alasan kenapa tulisan ini dibuat seperti ini. Selain untuk menunjukkan how Jakselian works, I also want to show this is literally how my brain function. Saat menulis I have to open Google Translate karena suka lupa padanan bahasa Indonesia dari bahasa Inggris and vice versa. 

 

Apa karena saya sering lupa kata bahasa Indonesia tandanya kemampuan berbahasa Indonesia saya buruk, seperti yang diklaim uda Ivan Lanin? I don’t think so. Justru ini adalah hal yang wajar bagi orang-orang bilingual. Riset yang ada juga tak mengindikasikan orang-orang yang pakai Jakselian kemampuan berbahasanya buruk atau lebih bagus. 

 

Lalu pelajaran apa yang bisa dipetik dari tulisan ini? Penggunaan bahasa adalah penanda kelas yang paling menonjol kedua setelah selera fesyen. Tapi ya, pada akhirnya, just use whatever language you feel comfortable in.