Punk Vs. Konservatisme Korea Selatan

Punk Vs. Konservatisme Korea Selatan 

Yuk, kenalan sama Drinking Boys and Girls Choir

 

Kalau bicara musik Korea Selatan, yang terbesit dalam pikiran saya—dan mungkin kamu—hanyalah K-pop dan ballad. Hal itu pula yang membuat saya tidak begitu tertarik dan cenderung meremehkan musik dari Korea Selatan. Bagi saya, setiap musiknya terdengar serupa dan jadinya ya gitu-gitu aja. Namun, belum lama ini ketika saya sedang menjelajahi musik Korea Selatan di Spotify bersama pacar, tiba-tiba tersirat dalam pikiran saya Korea punya musik punk nggak ya?

 

Setelah berkelana ke setiap playlist dengan kata kunci “Punk Korea”, saya menemukan sebuah lagu yang menarik perhatian saya.

 

Lantunan musik punk yang gembira, suara nyaring yang meriah, dan tempo yang membuat jantung selaras dengan ketukan drum membuat saya jatuh cinta pada pandangan pertama dengan lagu I Am Not a Machine karya Drinking Boys and Girls Choir (DBGC).  Seperti sedang PDKT rasanya, semakin saya mencoba menjelajahi mereka, semakin jatuh hati pula saya dibuatnya.

 

Setelah puas mendengarkan, saya mencoba menelusuri mereka lebih dalam melalui beberapa wawancara dan artikel mengenai mereka di media massa. Ya, karena sudah jatuh hati sekaligus untuk menebus rasa bersalah saya karena sempat merendahkan musik Korea, saya mencoba menulis artikel terkait DBGC sekadar untuk mengenalkan sedikit tentang mereka, jadi selamat menikmati!

 

Perjalanan DBGC

 

Perkenalkan Daegu, tanah suci orang-orang konservatif di Korea Selatan.

 

MJ (drum) dan Meena (bass) lahir dan besar di kota itu, dan lingkungan sekitarnya adalah yang membuat mereka bergabung dalam band punk. Meena mengatakan dalam sebuah wawancara dengan KEXP,  “Kalau saya ada di kota lain, atau lingkungan yang nggak konservatif, saya nggak akan pernah ada dalam band punk”.

 

Baginya tumbuh di lingkungan yang konservatif sering kali membuat ia geram. Keadaan inilah yang kemudian menjadi inspirasinya dalam menciptakan lagu-lagu DBGC.

 

 “Keluarga saya sebenarnya nggak terlalu konservatif kecuali nenek saya, tapi saya dianggap sebagai anak yang teladan di keluarga saya, sehingga saya merasa agak terbebani, jadi sama seperti Meena, itu juga (tekanan dari lingkungan) yang membuat saya menjalankan band punk,” lanjut MJ. 

 

Sebelumnya, pada tahun 2007, MJ dan Meena sempat mencoba pindah ke Seoul untuk mencari peruntungan dengan membuat band bernama Chicken and Mayo ABC, tapi sayangnya band tersebut tidak berhasil karena beratnya kehidupan di ibu kota memaksa MJ dan Meena kembali ke Daegu. Lalu, pada sekitar tahun 2012 barulah perjalanan DBGC dimulai. 

 

Sesuai dengan nama mereka, pada awalnya DBGC berisi 2 perempuan dan 1 laki-laki. Seiring berjalannya waktu, pergantian personel tak terhindarkan. Mereka sempat berganti beberapa personel laki-laki tapi pada akhirnya digantikan oleh Megan (gitar). Namun, hal ini tidak menjadikan nama mereka berubah menjadi Drinking Girls Choir, bagi mereka nama DBGC tidak terbatas gender.

  

Album dan Tur

 

Pada 2018 lalu Drinking Boys and Girls merilis album berjudul “Keep Drinking.   

 

Secara ringkas album ini bercerita mengenai berbagai macam hal, mulai dari lagu yang terinspirasi dari film sampai keresahan dan kemarahan terhadap masyarakat juga pemerintah Korea Selatan pada saat itu. Selain itu lagu-lagu DBGC juga berusaha mendorong anak-anak muda agar bersikap lebih bebas sehingga tidak terkurung dalam tekanan belajar dan tuntutan untuk bekerja di perusahaan-perusahaan top Korea Selatan. Singkatnya DBGC mencoba menyajikan musik punk sebagai bentuk perlawanan atas tekanan yang diberikan masyarakat kepada anak muda di sana.

 

Dalam rangka promosi album pertamanya, DBGC juga melakukan tur internasional pertama mereka. Bersama Saturday Night Karaoke (ada Indonesia-nya, coy!), DBGC melakukan perjalanan ke beberapa kota di Indonesia. Dalam rangkaian tur mereka di Indonesia, melalui wawancara mereka bersama KEXP saya mendengar beberapa kejadian unik yang membuat saya agak malu sebagai orang Indonesia, meskipun saya tidak secara langsung terlibat di dalamnya.

 

Kejadian ini terjadi ketika mereka sedang melangsungkan konser bersama Saturday Night Karaoke, kala itu penampilan sempat tertunda karena kedatangan polisi yang tak diundang. Awalnya mereka ketakutan karena tak ada satupun yang mengerti bahasa Indonesia dan menyangka bahwa mereka akan tertangkap, namun ternyata polisi datang karena mendapatkan kabar dari pelaksana acara bahwa salah satu penonton konser menggunakan obat-obatan terlarang, dan lucunya lagi ini terjadi dua kali di dua tempat yang berbeda.  

 

Kemudian pada tahun 2021 DBGC meluncurkan album kedua mereka yang berjudul “Marriage License. Dalam wawancaranya bersama KEXP, MJ menyatakan “Ketika kami sedang membuat album ini (Marriage License) saya sedang membaca sebuah buku tentang diskriminasi pernikahan sejenis. Saya jadi mendalami hal tersebut,  lalu nama Marriage Licenses tercetus dalam pikiran dan saya gunakan.”

 

Sama seperti album sebelumnya (Keep Drinking), album ini bagi Meena merupakan bentuk perlawanan atas hukum Korea Selatan yang cukup konservatif dan menolak pernikahan sejenis pada saat itu.

 

“Kami ingin berbicara bahwa perkawinan sesama jenis itu bukanlah sesuatu yang salah” ujar Meena.

 

Selain album, DBGC juga merilis beberapa single diantaranya Linda-Linda (2020) dan Gonna Tell You (2021). Lagu Linda-Linda pada mulanya dipopulerkan oleh legenda punk Jepang yang bernama The Blue Hearts, yang kemudian dibawakan ulang oleh DBGC. Walaupun bukan lagu orisinil, bagi saya Linda-Linda yang dibawakan oleh DBGC lebih cocok di telinga saya. Selain karena mixing yang lebih bersih, lagu ini jadi terdengar lebih segar dan rebel karena temponya yang lebih cepat serta suara khas dari Meena yang cukup nyaring membuat saya seakan merasakan semangat jatuh cinta, bahkan sebelum saya tahu arti liriknya. DBGC juga menyediakan dua versi dari lagu ini yaitu, versi jepang dan korea. Saya pribadi lebih menyukai versi jepang karena bahasanya lebih familiar di telinga saya.

 

DBGC baru selesai melaksanakan Pride Month Tour yang merupakan rangkaian acara dari Festival Budaya Queer di Korea Selatan. Sedikit intermezo tentang Festival Budaya Queer di Seoul  sebelumnya telah mengalami penolakan atas acara tersebut, hal yang sama juga terjadi di wilayah Daegu. Pemerintah Daegu menyatakan bahwa mereka menolak festival budaya ini. Bentrokan sempat terjadi antara polisi dan pemerintah di sana. Namun segala penolakan ini tidak menjadi halangan bagi mereka, seperti dalam unggahan mereka di Instagram.

 

Pada akhirnya mereka tetap sukses melaksanakan tur mereka di Seoul pada 10 Juni dan di Busan pada 17 Juni 2023 kemarin.  

 

Ketidakadilan politik yang terjadi dan politik yang konservatif di Korea Selatan membuat mereka khawatir dan marah. Namun di balik itu mereka tetap bangga dengan Festival Budaya Queer  yang berlangsung paling lama di luar wilayah metropolitan Korea Selatan. Maka dari itu mereka berniat untuk membuat tempat kecil yang aman di mana semua orang dapat menunjukkan jati diri mereka yang sebenarnya. Mereka akan terus melawan dan menunjukkan hidup bebas tanpa ada yang dapat menghalanginya. 

 

Kekerenan dan keberanian DBGC  membuat saya semakin jatuh cinta dengan mereka, untuk mengakhiri artikel ini saya akan mengutip pernyataan mereka dalam liputan Korean Times,


"Tidak peduli berapa banyak oposisi yang kami hadapi, keberadaan kami tidak akan hilang, dan kami ingin menunjukkan bahwa kami dapat menjalani kehidupan yang menyenangkan dan memuaskan," kata Meena. "Paling tidak, mereka tidak bisa mengganggu penampilan kami."

 

"Kami ingin pertunjukan kami menjadi tempat di mana semua orang, tanpa memandang orientasi seksual atau jenis kelamin, dapat merasa aman, diterima, dicintai, dan bersenang-senang," kata Megan.  

 

Hidup musik dan kebebasan!