Ramai-ramai Menyukai
Puisi Rumi
Sambil Melepaskan
Status Keislamannya
Oleh Pambudi Driya S
30 April 2024
TL;DR
Membahas perubahan pandangan Barat terhadap spiritualitas Timur, terutama dalam konteks popularitas karya-karya seperti puisi Rumi. Terjemahan puisi Rumi oleh Coleman Barks menjadi sorotan karena menghilangkan konteks keislaman dari karya-karya Rumi, menyoroti perbedaan pandangan antara Barat dan Timur dalam memahami spiritualitas.
Dulu orang Eropa berupaya untuk lepas dari paham lama alias doktrin keagamaan dan menggantikannya dengan doktrin baru alias doktrin sains. Tapi waktu berjalan layaknya roda; sekarang mereka malah berbondong-bondong kembali ke paham spiritualitas Timur, seperti ajaran Buddha, Hindu dan sufisme Islam. Hal ini dikupas tuntas oleh Martin van Bruinessen dalam bukunya Sufism and the Modern in Islam.
Dalam awal bab buku itu disebutkan bahwa tradisi sufisme di Islam pada abad ke-20 yang mengandung metafisika, etika, kekhusyukan beribadah, musik, puisi dan pengalaman mistis (bukan perdukunan!) dianggap tidak selaras dengan kehidupan modern. Namun di saat yang bersamaan muncul fenomena Gerakan Zaman Baru (New Age) yang berusaha mengkooptasi spiritualitas Timur.
Gerakan Zaman Baru yang kental akan pandangan oriental masyarakat Barat bisa kita temui dalam penerjemahan puisi-puisi Jalaluddin Rumi oleh Coleman Barks. Terjemahan Barks punya andil besar dalam mempopulerkan spiritualisme Timur. Yang dulunya dianggap udik, sekarang menjadi eskapisme keren dari hidup yang monoton. Tidak percaya? Tengok saja para bule-bule namaste yang mendekam di Bali dan India untuk “yoga” dan “meditasi”.
Masyarakat Barat jelas tak akan mengenal Rumi kalau bukan karena Barks. Terjemahannya yang paling anyar, “The Essential Rumi”, mendapat banyak pujian dan terjual jutaan eksemplar. Sebelumnya, Barks telah menerbitkan “The Soul of Rumi dan Rumi: The Book of Love”. Buku-bukunya laris manis, terjual di pasaran lebih dari lima ratus ribu eksemplar. Ini adalah prestasi besar, mengingat penjualan buku-buku puisi biasanya sulit menembus angka sepuluh ribu.
Saking tenarnya, banyak artis internasional yang tercantol Rumi. Beyoncé menamai anaknya Rumi.
Jay Z, Rumi and Beyoncé di acara pertandingan basket.
Sumber: Goalcast
Saking tenarnya, banyak artis internasional yang tercantol Rumi. Beyoncé menamai anaknya Rumi.
Brad Pitt menato puisi Rumi di lengan kanannya, tepatnya di bicep, yang bertuliskan “there exists a field, beyond all notions of right and wrong. I will meet you there”.
Sumber: BodyArtGuru
Chris Martin juga sama. Ia pertama kali diperkenalkan Rumi oleh temannya sebagai cara untuk mengeluarkannya dari lubang depresinya. Buku antologi puisi itu, tentunya, adalah terjemahan Barks. Saking membekasnya, ia mengutip puisi Rumi yang berjudul The Guest House dalam lagunya yang berjudul Kaleidoscope.
“This being human is a guest house / Every morning a new arrival / A joy, a depression, a meanness, / some momentary awareness comes / as an unexpected visitor.”
Tak hanya itu, impresi Martin akan puisi itu sampai membuatnya berhasil menelurkan album A Head Full Of Dreams. Menurutnya, puisi Rumi memiliki pesan bahwa perasaan—baik kebahagiaan maupun keputusasaan—mesti dimaknai sebagai ‘tamu yang harus diterima’.
Hal ini mengingatkan saya dengan tulisan Richard E. King yang berjudul Meditation and the Modern Encounter between Asia and the West. Ia membahas mengenai politik penerjemahan yang dilakukan oleh Inggris pada koloninya di benua Asia, Amerika, dan Afrika. Para penerjemah mereduksi konsep-konsep kompleks ini sebegitu rupanya sampai-sampai melenceng dari makna aslinya.
Mereka menyederhanakan dan mereduksi makna sehingga membuatnya melenceng dari makna aslinya. Ambil contoh konsep “dharma” Hinduisme yang diterjemahkan menjadi “agama”. Padahal keduanya berbeda seperti yang dinyatakan oleh Rajiv Malhotra, peneliti sekaligus pendiri Infinity Foundation yang fokus mempelajari studi tentang Hindu. Menurutnya, konsep “dharma” memiliki banyak arti dan bergantung sesuai dengan konteks ketika digunakan. “Dharma” melingkupi prinsip-prinsip yang ada di seluruh aspek kehidupan: perolehan kekayaan dan kekuasaan, pemenuhan keinginan, dan pembebasan—agama hanyalah salah satu bagian dari “dharma”.
Pada abad ke-20, Buddhisme mengalami transformasi besar-besaran di Barat. Menurut Kate Crosby, Buddhisme dianggap sebagai bentuk 'intelektualisme' dan cara ‘melatih mental’. Nasib serupa juga terjadi pada yoga. Praktik yoga yang sekarang digabungkan dengan gulat India yang akhirnya mengkultuskan maskulinitas dan kebugaran badan. Kemunculannya ada kaitannya dengan semakin populernya Hatha Yoga yang muncul di Mysore pada periode Perang Dunia I dan II.
Sayangnya, naiknya kepopularitasan ajaran spiritual Timur bukan berarti lebih banyak orang bijak tercerahkan di Barat. Karena bisa jadi seseorang yang belajar tentang ajaran ini berujung melakukan hal-hal ekstrem yang bisa membahayakan dirinya maupun orang lain. R.C. Zaehner, seorang guru besar dalam agama dan spiritualisme Timur, menulis dalam bukunya yang kontroversial Our Savage God “‘mendatangkan’ teks Hindu seperti Bhagavad Gita malah bisa melahirkan orang-orang seperti Charles Manson”.
Pernyataan ini tak hanya aneh, tapi juga bisa memperlebar sentimen anti-Asia. Produk kultural Asia dicabut dari akarnya, seperti yang sudah dilakukan oleh Jon Kabat-Zinn. Sebagai pionir pendekatan meditatif untuk meringankan rasa sakit fisik dan mental, ia ingin meditasi atau yoga tak lagi dianggap sebagai ajaran Buddhisme, Gerakan Zaman Baru, atau mistisisme Timur. Dengan kata lain, ia ingin praktek meditasinya hanya dianggap sebagai alat penyembuhan semata.
Hal serupa juga terjadi pada puisi Rumi. Karyanya dilepaskan dari konteks—ia hanya berdiri sebagai puisi buatan Rumi, tapi identitasnya sebagai muslim Persia tidak dianggap. Rumi bukan satu-satunya penyair yang dihilangkan identitas keislamannya. Para filolog Barat sudah menguliti identitas dan sejarah Islam dari puisi-puisi yang mereka sukai. Akibatnya, muncul salah kaprah bahwa Rumi adalah penyair universalis dan sekuler. Puisi-puisi cintanya hanya sebatas cinta kepada manusia, padahal maksudnya lebih luas dari itu.
Pernyataan tadi semakin diperkuat oleh Fatemeh Keshavarz, profesor studi Persia di Universitas Maryland. Besar kemungkinan Rumi merupakan penghafal Al-Quran (hafidz). Fakta ini yang jarang sekali ditemui di terjemahan bahasa Inggris Rumi. Kesembronoan ini lagi-lagi tak bisa dilepaskan dari kesalahan para penerjemah dan ahli teologi Inggris periode Victoria yang tidak paham Islam.
Namun bukan berarti semua penerjemah Rumi serampangan dalam melakukan pekerjaannya. Ada karya terjemahan R. A. Nicholson yang berjudull Rumi’s Masnavi, A. J. Arberry dengan karya agungnya Mystical Poems of Rumi dan Annemarie Schimmel dengan The Triumphal Sun: A Study of the Works of Jalaloddin Rumi. Ketiganya tak hanya menerjemahkan, tapi juga mengkontekstualisasikan karyanya dengan sumber-sumber yang kaya dan sahih. Tengok saja latar belakang mereka: Nicholson merupakan profesor di Universitas Cambridge yang menghabiskan hidupnya untuk mempelajari mistisisme Islam dan dapat memahami serta menerjemahkan teks-teks Sufi dalam bahasa Arab, Persia dan Ottoman Turki. Lalu A. J. Arberry merupakan seorang orientalis Inggris, sarjana, penerjemah, dan penulis buku yang berguru ke Nicholson untuk mempelajari bahasa Persia dan Arab. Sepak terjangnya tak main-main: ia telah mengedit lebih dari 90 buku dalam dua bahasa tadi. Kemudian Schimmel yang berkutat dalam teks Islam, terutama karya para sufi dan karya Rumi yang berjudul Triumphal Sun. Schimmel melakukan investigasi yang mendalam terkait unsur teologi Rumi dengan mengutip Al-Qur’an, hadis, serta prosa dan puisi Rumi lainnya.
Dari segi kualitas intelektual, terjemahan Barks jauh dibawah terjemahan milik Nicholson, Arberry, dan Schimmel. Kualitas terjemahannya tak lagi jongkok, tapi sudah tiarap. Ya bagaimana tidak, Barks tidak bisa bahasa Persia. Yang ia lakukan adalah mengubah bentuk terjemahan abad kesembilan belas era Victoria ke dalam syair-syair umum Amerika Serikat.
Peristiwa ini bermula ketika Barks mulai menerjemahkan Rumi pada 1976 dan mentornya, Robert Bly, penyair sekaligus penerjemah yang meminjamkan buku syair-syair Rumi yang telah diterjemahkan oleh A. J. Arberry. Ia mendorong Barks untuk membuat terjemahan syair Rumi “dibikin lebih pop biar terkenal”. Lucunya lagi, sebelum peristiwa ini terjadi, Barks tidak pernah mendengar nama Rumi.
Kalau saja peristiwa tadi tidak pernah terjadi, Barks tidak akan menerjemahkan ulang hasil terjemahan Arberry—lalu Nicholson dan Moyne yang tidak diterbitkan sebelumnya—secara ugal-ugalan. Ia juga tidak akan halu menganggap mimpi dimana ia didatangi seorang guru Sufi kenamaan sebagai wahyu bahwa ia harus melanjutkan pekerjaannya. Omong-omong, Barks sendiri baru bertemu dengan guru Sufi yang muncul di mimpinya dua tahun setelahnya. Namanya adalah Bawa Muhaiyaddeen, seorang guru Sufi asal Sri Lanka yang menetap di Philadelphia. Hubungan keduanya terus berlanjut sampai kematian sang guru di tahun 1986.
Terjemahan Barks dapat disebut sebagai “terjemahan sekunder”, hanya pengulangan terjemahan utama dari teks aslinya. Parahnya lagi, ia menggunakan emosi sebagai basis analisisnya alih-alih berdasarkan penelitian akademis serta melepaskan konteks Islam dari puisi-puisi Rumi. Ia sendiri mengakui dalam kata pengantar Rumi: Bridge to the Soul tidak memahami Quran.
Tak bisa dipungkiri, penerjemahan merupakan pekerjaan yang sulit. Bahasa memuat banyak hal—dari budaya, agama, hingga adat-istiadat. Hal ini yang kerap kali sulit diterjemahkan sehingga penting bagi penerjemah untuk paham seluk-beluk budaya bahasa. Belum lagi tiap penerjemah punya interpretasi tersendiri terhadap materi yang ia terjemahkan. Mari lihat perbandingan perbedaan terjemahan Rumi oleh Arberry, Barks, dan Lewis.
Puisi Rumi dalam bahasa Persia, Ghazal 2933
Sumber: Ganjoor
A.J. Arberry, #379 in The Mystical Poems of Rumi (Chicago: University of Chicago Press, 2009), p. 357-8
You who are Imam of love, say Allah Akbar, for you are drunk; shake you two hands, become indifferent to existence.
You were fixed to a time, you made haste; the time of prayer has come. Leap up - why are you seated?
In hope of the qibla of God you carve a hundred qibla; in hope of that idol's love you worship a hundred idols.
Fly upwards, O soul, O obedient soul; the moon is above, the shadow is low.
Do not like a beggar knock your hand at any door; knock at the ring of the door of heaven, for you have a long hand.
Since the flagon of heaven has made you like that, be a stranger to the world, for you have escaped out of self.
I say to you, “How are you?” No one ever says to the “how-less” soul, “How are you?”
Tonight you are drunk and dissolute, come tomorrow and you will see what bags you have torn, what glasses you have broken.
Every glass I have broken was my trust in you, for myriadwise you have bound up the broken.
O secret artist, in the depths of your soul you have a thousand forms, apart from the moon and the Lady of the Moon [Mahasti].
If you have stolen the ring, you have opened a thousand throats; if you have wounded a breast, you have given a hundred souls and hearts.
I have gone mad; whatever I say in madness, quickly say, “Yes, yes,” if you are privy to Alast.
Coleman Barks, Open Secret: Versions of Rumi (Putney, Vermont: Threshold Books, 1984) p. 69
Forget your life. Say God is Great. Get up.
You think you know what time it is. It’s time to pray.
You’ve carved so many little figurines, too many.
Don’t knock on any random door like a beggar.
Reach your long hand out to another door, beyond where you go on the street, the street where everyone says, “How are you?” and no one says How aren’t you?
Tomorrow you’ll see what you’ve broken and torn tonight
thrashing in the dark. Inside you
there’s an artist you don’t know about.
He’s not interested in how different things look in moonlight.
If you are here unfaithfully with us,
you’re causing terrible damage.
If you’ve opened your loving to God’s love
you’re helping people you don’t know and have never seen.
Is what I say true? Say yes quickly,
if you know, you’ve known it
from the beginning of the universe.
Franklin Lewis, Rumi: Swallowing the Sun, (One World Publications, 2008), p. 92-93
YOU, LEADER of the prayers to Love
Let out with your “God is Great!”
for you are drunk
Shake your hands in dance
Turn your back on existence
You were promised to be on time
so you were making haste
Now that the call to prayer has come
Get moving! Don’t just sit there!
Hoping for the altar of truth
you carve a hundred altars
Hoping for the love of that idol
you adore a hundred idols
Fly up a little higher,
my love, my obedient love,
for the moon’s up high
and the shadow’s down low
Don’t bang on every door
like a door-to-door beggar
Grab the knocker of heaven’s door
Since your arms are long, it’s within your grasp
Since heaven’s flagon’s made you like this,
be stranger to the world, having freed yourself from self
I ask you how you are.
How can Howlessness be asked how are you?
Tonight you’re drunk and ruined,
when tomorrow comes you’ll see
How many casks you’ve opened
how many glasses smashed
For every glass I’ve broken
My reliance was on you:
You have mended countless kinds of breakings
You secret artist,
who contain within a thousand forms
beyond the moon,
beyond the bright beloved orb
You’ve left one rival in the dust, but filled a thousand throats with words
You’ve pierced one breast, but spared a hundred lives and hearts
I’ve gone crazy, whatever I say it’s madness talking,
so hurry up, if you were privy to God’s “Am I not …” [7:172]
and say yes, yes
Secara umum, penerjemah yang dianggap paling akurat di atas ialah Arberry, meski terlalu literal. Sementara dalam versi Arberry yang dikerjakan oleh Barks beberapa citraan dihilangkan atau disederhanakan. Misalnya di teks aslinya merujuk pada Tuhan atau “kemustahilan/بیچگونه” dihapus dan dibatasi pada realitas manusia “the street / where everyone says, “How are you?” and no one says, How aren't you?”. Dengan kata lain, nada puisi Barks terlalu individual dan mengajukan permintaan yang tak masuk akal kepada “kamu” dalam puisi tersebut. Walau terjemahan Barks canggung, tetap saja karyanya yang paling populer.
Terjemahan Barks menunjukkan perbedaan fundamental antara pandangan Barat vs Timur soal spiritualisme. Menurut Omid Safi, ada perbedaan yang cukup signifikan antara Barat dan Timur ketika membaca Rumi. Secara keseluruhan pandangan Barat terhadap Rumi menekankan pada spiritual individu dalam upaya mencari “kebahagiaan”. Sementara pandangan atau pembacaan tradisi Timur menjangkau pemikiran seorang sufi melalui tokoh sufi lain dan ajaran Islam yang lebih luas.
Lebih lanjut, Safi mengatakan alasan Rumi begitu terkenal di Barat karena “modernitas menjanjikan banyak hal namun hanya memberikan sedikit kebahagiaan sesungguhnya, keutuhan dan keharmonisan dunia.” Safi melanjutkan bahwa tampak “ada ruang kosong, tak pernah tersentuh, berantakan di dalam hatinya, dan karena itu mereka mencari kepingan kosong dalam hatinya pada puisi-puisi Rumi.”
Kita bisa setuju dengan pernyataan dari Safi, bahwa Rumi yang dipahami oleh Barat itu tidak mengutamakan keislaman yang melekat pada Rumi, atau memang karena penerjemahannya sengaja melepaskan jubah Islam yang biasa dikenakan oleh Rumi karena adanya anti-Islam yang telah mengakar. Pasalnya secara historis, kitab Masnavi/Masnawi yang berarti puisi dalam bahasa Persia ini disebut oleh Seikh Bahai, budayawan dan arsitek muslim Persia, “Masnawai Maknawi Maulawi (Rumi) adalah Quran dalam bahasa Pahlavi (Persia Kuno)” dan Safi menyebut karya-karya Rumi merupakan karya agung sastra Islam oleh Rumi yang disebut sebagai “keturunan dari jiwa Sang Nabi.”
Maka dari itu, adalah sebuah kesalahan besar untuk melepaskan Rumi dari konteks keislamannya dan menggantikannya dengan pesan kemanusiaan yang sekuler. Karena ruh utama dari syair Rumi adalah membawa manusia dari kehancuran menuju kesembuhan; menjadi manusia seutuhnya, paripurna (insan kamil) dan mencapai pada Cinta yang Sejati (Tuhan).