Saya Penggemar Musik Rock dan Ini Pertama Kalinya Saya Membahas K-Pop
Di dunia ini, kejujuran akan selalu berhadapan dengan ego yang selama ini pelihara. Maka tak heran, menulis “pengakuan dosa” seperti yang tengah saya kerjakan sekarang susahnya bukan main.
Namun setelah menimbang-menimbang, melalui artikel yang tengah anda baca ini, saya akan mengaku betapa ketidaktahuan yang melahirkan kesombongan melekat bertahun-tahun di kepala saya. Ini soal K-Pop.
Saya lahir ke dunia saat musik rock berkumandang kencang. Di periode tersebut, Guns N' Roses meluncurkan double album Use Your Illusion laku keras di pasaran. Kejayaan rock semakin dipertegas oleh lahirnya album Nevermind milik Nirvana yang dirilis pada 24 September 1991. Album-album itu terjual jutaan keping. Pengaruhnya tersebar ke seluruh pelosok dunia melalui televisi dan radio, tak terkecuali Indonesia.
Di umur segitu, saya mulai mengenal musik dari tape recorder yang sering diputar kakak-kakak. Selain dua album tadi, kuping saya dijejali dan akhirnya makin akrab dengan musik yang didominasi album-album rock, baik luar atau dalam negeri. Distorsi gitar dan teriakan yeaaah terdengar amat keren.
Telinga saya mulai tidak melulu musik rock saat kakak perempuan sering memutar album ...Baby One More Time milik Britney Spears. Melalui ia, saya banyak mendengar musik-musik pop yang hits di akhir tahun 90-an. Tapi tetap saja, saya merasa musik rock adalah zona nyaman saya.
Saya menghabiskan waktu mengulik album-album rock di masa lalu. Di era saya remaja, televisi hampir tiap hari menyajikan acara musik yang menampilkan pop-pop generik. Hampir keseluruhan lagu bertema cinta dalam format band. Tapi tak jadi soal, yang penting dimainkan format band, kata saya.
Namun cerita berubah saat umur memasuki kepala dua. Pintu kesombongan dan merasa punya selera bagus mulai terbuka lebar.
Di televisi, saya lihat 7 pria melenggak-lenggok di atas panggung sambil menyanyikan lagu I Heart You. Ketujuh remaja tanggung itu meliuk-liuk melantunkan lirik-lirik cinta dangkalan. Lirik Cenat-cenut, girl i love you, girl i love you terdengar diulang-ulang. Apa, sih, receh banget? Persepsi saya tentang apa yang disebut ‘keren’ menyangkut di imaji rocker: celana sobek, penampilan asal-asalan, bergaya urakan. Melihat SM*SH tampil di televisi bikin hati gusar, dan seperti bapak-bapak saya mengeluh: akan ke mana masa depan musik? Seolah saya adalah satu-satunya orang yang bisa menyelamatkan dunia musik.
Meski gondok melihat mereka, saya sempat mencari tahu siapa yang mempengaruhi grup ini. K-Pop. Hah industri pop Korea? Apaan sih?
Kalau dipikir-pikir hari ini, betapa aneh sikap saya saat itu. Misalnya saya tidak suka SM*SH, bukan berarti ketidaksukaan itu jadi kesimpulan untuk tidak mau mengenal dunia itu seluruhnya–yang mungkin suatu saat bisa saya sukai? Hanya karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Peribahasa itulah paling tepat menggambarkan betapa tengilnya saya di masa itu.
Yang Luput dari Jangkauan
Pengaruh internet berdampak besar atas Korean Wave, budaya populer Korea merambat cepat lewat produk-produk hiburan seperti drama, musik, film hingga merembet ke gaya hidup banyak orang. Tak hanya di Indonesia, K-Pop menyebar ke seluruh dunia. Tapi, saya memilih denial. Semakin besar suara mereka terdengar, semakin kuat pula saya menutup kedua telinga saya.
Padahal kalau ditanya kenapa tak suka K-pop, saya juga tak punya alasan jelas. Palingan, saya hanya beri jawaban yang tak kalah generik, seperti: Industri K-Pop hanya menempatkan idola sebagai objek. Belum lagi boy band tuh kebanyakan pupur dan mengganggu (kini saya menyesali betapa seksisnya saya di masa lalu).
Tentu saja jawaban itu mengada-ada dan cenderung dipaksakan.
Padahal kalau saja saat itu saya mau sedikit berpikir adil, unit rock seperti Kiss, Mötley Crüe, dan deretan musisi glam rock juga memakai make-up tebal untuk mendukung penampilan mereka. Mereka pun juga jadi objek popularitas yang dikelilingi banyak penggemar yang fanatik. Lagu-lagu mereka dikumandangkan. Gaya mereka ditiru habis-habisan. Saat manggung, nama band mereka diteriaki histeris oleh para fansnya. Bukankah industri hiburan secara umum memang seperti itu?
Alasan saya saat itu, jika dipikirkan hari ini, bukan lagi soal ego yang tergores melainkan malah terdengar seperti orang yang sangat insecure, yang takut bahwa dunia musik yang saya kenal, yang menjadi tempat paling nyaman di dunia ini, dunia yang saya tahu dengan baik lekuk jalannya akan digusur; akan tidak ada lagi.
Satu lagi upaya yang sekonyong-konyong saya lakukan untuk menyerang K-Pop dan para penggemarnya. Dalam keterbatasan pengetahuan, saya dengan santainya menuduh mereka hanya menyanyikan lagu-lagu cinta dangkalan, picisan atau tema-tema remaja jatuh cinta. Kesimpulan bodoh ini memalukan setelah di kemudian hari saya tahu jika BTS punya banyak lagu-lagu sosial atau kritik terhadap generasi muda.
Dengar saja salah satu lagunya berjudul Spine Breaker. Dalam lagu itu, BTS mempertanyakan ulang mengapa banyak generasi muda menghabiskan uang demi berbelanja pakaian mahal atas nama mode terbaru. Bagaimana sebuah band yang subur di tengah industri justru mempertanyakan makna konsumerisme membuat saya bertanya-tanya, kira-kira hal apa lagi yang saya tidak tahu tentang industri ini hanya karena kesombongan saya?
Belum lagi, dulu saya menganggap mereka lahir dari proses instan. Benarkah? Pertanyaan tersebut langsung terjawab hanya dengan menonton Blackpink: The Movie yang menampilkan perjalanan panjang Jisoo, Jennie, Rosé and Lisa untuk sampai di titik di mana mereka berada saat ini.
Kini saya kehabisan akal untuk menyerang industri K-Pop. Paling banter saya hanya sanggup menyoroti bagaimana kelakuan K-popers yang seakan rela mati untuk sang idola. Itu pun tak menjawab substansi mengapa saya tak menyukai K-Pop mengingat penggemar The Beatles dulu juga nangis-nangis melihat The Beatles secara live, seolah mereka berhadapan dengan nabi.
Kata orang, selera tak bisa diperdebatkan. Ya itu benar. Tapi masalahnya, saya terlalu cepat mengambil kesimpulan. Ini keren, itu tidak. Padahal jika mau membuka diri mendnegarkan lagu-lagu tersebut, bisa jadi saya jatuh cinta dengan musik K-Pop. Toh kalau dengar lagu-lagu mereka sekarang, saya happy kok dengarnya.
Jadi saat editor saya, Sabda Armandio, meminta saya menceritakan pengalaman saya tentang K-Pop sekaligus me-review satu lagunya saya mengambil kesempatan itu untuk meminta maaf. Mengingat betapa sentimennya saya dulu terhadap musik K-Pop, saya jadi teringat nasihat orang-orang tua di kampung: Hanya karena tak kenal dan tahu cara menari, janganlah lantai yang kamu persalahkan.
Oke, setelah menulis ini saya agak sedikit lega. Saya berusaha mendengarkan K-Pop secara khusyuk untuk pertama kali dalam hidup saya. Saya memilih track Face dari NU’EST.
Face - NU'EST
Kenapa saya justru memilih track dari 10 tahun lalu, yang grupnya baru saya tahu kemudian bahkan sudah bubar? Jawabannya sederhana saja: Tidak sengaja. Video ini muncul di feed YouTube saya, dan angka 128 juta viewers bikin saya mengucek mata.
Didengar sekali. Ini apa sih? Tapi kepala saya ikut goyang-goyang kecil. Didengar dua kali, kaki saya mulai menghentak. Saya ingin mendengarnya lagi.
Saya memutuskan untuk riset lebih banyak tentang NU’EST (dan di sinilah saya tahu grup ini sudah tidak aktif sejak 2022. Sad.) Lagu Face rupanya merupakan debut. Secara keseluruhan, aransemen lagu ini merupakan perpaduan synthesizer yang catchy dengan drum digital yang repetitif, khas musik dansa. Kedua elemen ini menjadi pengiring masing-masing personel NU’EST untuk menyanyikan tiap liriknya.
Sebetulnya, progresi lagunya klise sekali. Lagu ini menggunakan pola vi–IV–I–V, pola paling umum di musik pop. Kamu cuma perlu membolak-balik polanya I–V–vi–IV, V–vi–IV–I, dan seterusnya dan kamu tetap akan membuat lagu yang terdengar memuaskan telinga. Selain itu saya cukup merasa terganggu dengan penggunaan falseto di bagian verse, vokal yang tipis jadi terasa tidak seimbang dengan hentakan musik yang keras. Tetapi semua terbayar di bagian refrain di mana semua kekuatan, baik instrumen maupun vokal, dari lagu ini terkonsentrasi, dan menghasilkan bagian reff yang powerful.
Saya belum mencari tahu arti liriknya, tetapi dugaan awal saya adalah ini lagu tentang remaja belasan yang sedang mengalami masalah dalam percintaan. Kalau mau menduga-duga lebih jauh, dari judulnya Face dan progresi dimulai dari kunci minor mengisyaratkan bahwa lagu ini tentang menghadapi sesuatu: mungkin ini lagu tentang seseorang yang sedang mengumpulkan keberanian untuk menghadapi pujaannya, atau menghadapi ketakutannya setelah kehilangan kekasih, atau menghadapi rasa kecewa karena diputusin pacar.
Saya sok tahu saja. Ini juga berdasarkan stereotipe pola lagu vi–IV–I–V yang kerap ditemukan di khazanah musik populer, sebut saja Dua Sejoli dari Dewa 19, I’m Falling in Love dari J-Rocks, pokoknya kebanyakan lagu yang hits.
Ternyata, setelah melihat video klip dan membaca liriknya, saya keliru total. Face membicarakan bullying dan diskriminasi di lingkungan sekolah. Kepala saya seperti meledak. Setelah saya cermati, saya merasa tersindir dengan lagu ini karena, seperti yang sudah saya ungkapkan di awal, saya pernah berpikir seperti seorang bully yang merisak K-Pop.
Lirik seperti, “The insides of your head is so light that your words are like feathers.” menggambarkan betapa gampang bagi saya menilai buruk sesuatu yang tak saya pahami. Dan dalam bait, “In this small, palm-sized place you search for the Himalayas.” menyindir betapa saya dulu mengira musik rock adalah jagat raya, musik lain cuma numpang sehingga saya boleh merasa angkuh karena mengidolakan band-band besar di genre ini. Ternyata musik rock tidak sehebat dan seluas itu, ia bahkan menyimpan kebusukannya sendiri.
Setelah memahami liriknya, adegan-adegan di video klip Face jadi masuk akal.
Isu bullying dipertegas dalam video klip dibuka oleh adegan lima member mereka JR, Aron, Baekho, Minhyun dan Ren yang menunduk di kursi kelas. Setelah itu, terlihat siswa yang berjalan di lorong menuju lokernya. Saat membuka loker miliknya, ia melihat tumpukan sampah di dalamnya.
Siswa tersebut hanya mampu diam saja. Saat meninggalkan loker dan berjalan ke luar lorong, ia bertemu siswa lain yang mencoba menganggu. Berkat keberanian yang dipupuk, ia akhirnya berani melawan.
Alih-alih menampilkan cerita pemuda korban bullying yang sarat dengan kesedihan dan ketidakberdayaan, video klip ini malah kuat menonjolkan dance personel NU’EST yang terlihat keren. Tak sebatas itu, video klip ini juga makin terlihat keren saat adegan pertengkaran dibalut dengan koreografi yang solid.
Koreografi favorit saya dalam video klip ini ada di bagian dubstep breakdown (saya sempat berpikir kenapa mereka menyelipkan dubstep di lagu ini? Soalnya selain kesannya maksa banget, juga tren dubstep sepertinya sudah lewat. Lalu saya teringat ini lagu tahun 2012). Pada bagian ini, seluruh personel melakukan sinkronisasi tarian mengikuti ritme dubstep. Saya terpukau.
Secara garis besar, video klip ini sejalan dengan makna lagu yang mereka sampaikan: hadapi rasa takutmu. Bukankah lagu ini juga mengusung semangat pembebasan yang juga ditempuh Nirvana, Pearl Jam atau deretan band rock lain dalam lagu-lagunya?