AADD: Ada Apa dengan Drag?

Mendefinisikan Drag 

 

Drag. Apa sih itu? Istilah tersebut mungkin masih asing bagi mayoritas orang awam di Indonesia. Paling tahunya drag racing. Kalaupun tahu drag queen itu apa, kemungkinan kurang tahu juga drag racing itu apa. 

 

Ketika diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, padanannya selalu kurang tepat. Tidak hanya karena istilah tersebut lahir di Barat, tapi juga karena di Barat pun, ada kerancuan konsepnya yang mungkin sulit dipahami oleh orang awam. Pada dasarnya, drag queen adalah pria yang memakai atribut lawan jenis (cross-dressing) dengan tujuan untuk menghibur. Mungkin padanan yang paling tepat adalah waria walaupun istilah ini juga dipakai oleh transpuan. Ada istilah lain seperti wadam, banci, dan lain-lainnya, tapi istilah-istilah ini sudah jarang dipakai karena sering dijadikan ejekan. Supaya tidak rancu, artikel ini akan menggunakan istilah drag. 

 

Di Amerika Serikat, misalnya, di acara realitas-kontes RuPaul’s Drag Race mayoritas partisipannya adalah pria yang bernyanyi, menari, dan berkelakar. Mereka bukan transvestite—istilah kuno yang sudah jarang dipakai dan cenderung merujuk orang-orang yang berpakaian seperti perempuan untuk sehari-hari.

 

Walau mayoritas drag queen adalah laki-laki, non-biner, transpuan, atau gender lainnya juga bisa menjadi drag queen. Tapi khusus untuk perempuan ada istilah lain: drag king. Dalam drag, atribut feminin seringkali dilebih-lebihkan sehingga lebih menyerupai karikatur. Yang dilakukan oleh para drag queen bukannya meniru wanita, tapi menggunakan atribut feminin sebagai kostum. Perlu diingat pula aspek lebay ini diambil dari seni teatrikal dimana semuanya harus lebih besar, lebih berkilau supaya terlihat oleh penonton.

 

Selain berdandan semaksimal mungkin, aspek penting lain drag adalah lip syncing. Kegiatan ini memberikan kesempatan bagi pelakonnya untuk menjadi diva favorit mereka—dari Marilyn Monroe, Diana Ross sampai Mariah Carey. Mereka tak hanya “bernyanyi”, tapi juga  mengemulasikan gaya penampilan mereka di panggung. Dalam kacamata ini, emulasi femininitas dalam drag adalah sebuah perayaan terhadap ikon perempuan dan aspek glamor dalam feminitas. 

 

Drag sebagai Hiburan di Indonesia 

 

Di Indonesia, ada stereotip bahwa waria adalah pengamen atau pekerja seks komersial yang bekerja di jalanan. Padahal kita juga bisa melihat drag queens di tempat-tempat seperti Raminten Cabaret Show di Jogjakarta atau di Bali Joe dan Mixwell Bar di Bali. Tak hanya itu, beberapa sosok yang sering wara-wiri di TV juga bisa dianggap sebagai drag queen yang kerap kali memainkan peran komedis.

 

Presenter dan pelawak Tata Dado dalam sebuah acara dengan kelompok Lenong Rumpi.

 

Misalnya, mendiang Tata Dado dan Ade Juwita di komedi Lenong Rumpi di tahun 1990-an. Mereka muncul sebagai sosok dengan atribut dan kelakuan yang dilebih-lebihkan. Ada pula mendiang Dorce Gamalama, presenter dan penghibur transpuan dan punya acara TV-nya sendiri dulu serta berbagai kegiatan filantropis. Atau bahkan Tessy, anggota Srimulat yang sering memakai atribut feminin dengan logat Suroboyoan-nya untuk menghidupkan suasana dengan bertingkah kemayu. 

 

Di Barat, para sosok yang disebut ini mungkin tidak bisa disebut sebagai drag queen. Menariknya, di acara RuPaul’s Drag Race, bahkan ada tiga drag queen dengan keturunan Indonesia—namun tentu, mereka semua adalah warganegara asing. Raja Gemini asal Amerika (yang merupakan keponakan Buya Hamka); Megan Schoonbrood, asal Belanda; dan Keta Minaj, asal Belanda juga.

 

Drag queen dan penata rias Sutan Amrull, atau lebih dikenal sebagai Raja Gemini, pemenang season 3 RuPaul’s Drag Race.

 

Tapi harus diakui baik penghibur transpuan dan drag queen adalah hal yang sama karena memakai atribut feminin sebagai aspek integral dalam hiburan mereka. Dan ada satu hal lagi yang menyatukan keduanya: penghakiman dari masyarakat. 

 

Setidaknya ada dua kasus yang mengilustrasikan penghakiman masyarakat. Pada pertengahan 2010an, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan aturan melarang karakter pria yang bergaya seperti wanita di layar televisi Indonesia. Januari 2024, Ivan Gunawan ditegur oleh KPI sampai undur diri dari acara Brownis dan memutuskan untuk meninggalkan Indonesia. Sebagai penghibur yang selama bertahun-tahun menantang stereotip mengenai gender, beliau tidak asing dengan respon netizen yang menghakimi gaya ekspresinya. Teguran KPI adalah tendangan terakhir untuk Ivan.

 

Pukulan terakhir paling keras dirasakan oleh Dorce. Ketika ia meninggal, wasiatnya yang menyatakan ingin dikuburkan sebagai seorang perempuan tidak didengarkan. Ia dikubur sebagai laki-laki. Ini adalah kekalutan yang dirasakan oleh transpuan dan non-biner: ketika hidup, ekspresi gender dipermasalahkan; ketika mati, dipermasalahkan juga. 

 

Emulasi Feminitas sebagai Masalah 

 

Walaupun Ivan Gunawan dan Dorce bukanlah drag queen, mereka sama-sama menggunakan atribut feminin yang ‘ekstra’ ketika menghibur masyarakat. Namun hal ini tidak membuat mereka luput dari penghakiman masyarakat.  

 

masyarakat ternyata juga turut menghakimi mereka. Mungkin ini mengapa seni drag sendiri belum menjadi mainstream di Indonesia. Selain karena akarnya yang Barat, emulasi femininitas dan ekspresi gender non-tradisional macam apapun belum memiliki ruang aman. Ah, tapi di Indonesia kan ada Didik Nini Thowok, maestro tari yang meleburkan batas gender dalam seni pertunjukan, dan juga ada berbagai macam praktek yang ragam dalam tari tradisional, seperti tari Lengger Lanang, Gandrung, dan Jathil Reog. Nampaknya, memang di Indonesia seni drag yang lebih otentik bisa punya ruang aman melalui seni tradisional. 

 

Titik masalahnya, kemudian, berada di aspek hiburannya. Bahkan ketika membahas seni tradisional pun, banyak dari praktik tersebut yang masih berdasarkan nilai-nilai heteronormatif. Laki-laki dilukiskan sebagai yang dominan, sementara perempuan sebagai yang submisif; si gagah versus si gemulai. Alih-alih menentang nilai biner gender, ia hanya mereproduksinya dalam bentuk dan konteks yang lain. 

 

Hiburan melalui humor yang berasal dari atribut dan ekspresi yang mengemulasikan femininitas menjadi masalah ketika humornya masih terbatas di ‘wah, dia ini sebenarnya laki-laki yang berpura-pura menjadi perempuan’. Sehingga, terlepas dari prestasi dan kemampuan sang pelakon, titik eksistensinya hanyalah bergantung pada fakta bahwa dia bukan ‘perempuan tulen’.

 

Mengapa titik hiburannya berada di fakta bahwa seorang drag queen adalah seorang laki-laki yang menjadi perempuan? Apakah karena ketika seorang laki-laki memakai atribut feminin, hal tersebut dianggap rendah dan aneh sehingga patut ditertawakan? 

 

Misalkan, di acara Srimulat, kalau Nunung memakai sarung dan peci, apakah dia akan mendapatkan reaksi yang lebih tergelitik (terlepas dari kelucuan Nunung sendirinya, tentunya) dari penonton Srimulat daripada ketika Tessy memakai kebaya dan sanggul? Seberapa sering kita melihat perempuan berpakaian seperti laki-laki untuk tujuan humor dibanding sebaliknya? Atau yang lebih “napak tanah”: yang mana yang akan dianggap aneh di kejadian sehari-hari—perempuan memakai kemeja dan celana atau laki-laki memakai gaun?

 

Pergeseran Perspektif mengenai Ekspresi Gender 

 

Salah satu aspek terbesar yang membedakan feminitas dan maskulinitas adalah betapa luasnya lahan ekspresi dalam femininitas. Mungkin ini alasan mengapa feminitas menjadi aspek yang penting dalam drag. Dalam masyarakat yang patriarkis, mereka yang termarjinalkan-lah yang harus mencari berbagai cara untuk mengekspresikan diri mereka ketika masyarakat menekan semua orang untuk mengikuti aturan yang hitam dan putih mengenai ekspresi diri. 

 

Dalam memahami drag dan bagaimana hal tersebut bisa muat dalam konteks Indonesia, penting bagi kita untuk pertama mengakui batasan kita, yaitu dalam terbatasnya keterbukaan masyarakat Indonesia terhadap hal-hal yang menentang status quo, dan kemudian, apakah hal yang dilakukan tersebut benar-benar menantang status quo atau malah menciptakan masalah baru. 

 

Mungkin, dengan begitu, tidak lagi penting apakah ekspresi gender seseorang sesuai dengan ekspektasi masyarakat terhadap gender orang tersebut, dan drag, beserta jenis ekspresi lainnya, bisa menjadi sarana untuk membebaskan kita dari kekangan standar masyarakat yang heteronormatif. Representasi yang positif di media bisa menciptakan masyarakat yang lebih terbuka dan toleran yang tentunya punya imbas positif ke semua orang. 

 

Sayang, di Barat sedang ada kepanikan sosial terhadap drag queen dan komunitas trans yang bekerja di lingkungan anak-anak. Pasalnya, seni drag seringkali ditujukan sebagai hiburan dewasa. Sebagai kaum yang termarjinalkan, tentu mereka tidak pernah dianggap family friendly. Tapi, sama halnya dengan hal-hal lain, pelakon drag bisa mengubah caranya membawa lakon dan dirinya supaya lebih ‘ramah anak’, ‘kan? 

 

Lagipula, anggapan bahwa hal - hal yang berbau LGBTQ+ itu hanya untuk dewasa pun sebenarnya konyol. Mereka yang LGBTQ+ pun pernah menjadi anak kecil dan penting juga mereka memiliki representasi yang positif di masyarakat mereka. Di tahun 2024 sudah seharusnya kita menanggalkan apapun yang berbau feminin itu negatif—ini termasuk drag sebagai seni maupun individu yang memilih mengekspresikan dirinya dengan atribut feminin