Judi, Bayang-Bayang Match Fixing, dan Mereka yang Kalah Bertaruh di Piala Dunia
Piala Dunia Qatar memang kotor sejak dari persiapan sampai pelaksanaannya. Bahkan Mahfud Ikhwan bisa membuat daftar hal-hal ganjil di dalamnya hanya dari pekan pertama pelaksanaannya. Namun, Piala Dunia tetaplah Piala Dunia. Ia masih mampu menyedot perhatian pecinta sepakbola dari seluruh dunia, termasuk para penjudi.
Andreas Krannich, Direktur Pelaksana situs analisis data olahraga Sportradar, memperkirakan perputaran duit judi di setiap laga di Piala Dunia Qatar mencapai 1 miliar euro atau sekitar Rp 16 triliun secara global. Dengan total 64 pertandingan dari penyisihan sampai final pada 18 Desember nanti, maka perputaran duit judi bisa mencapai Rp 1.024 triliun.
Angka tersebut lebih tinggi dibandingkan keuntungan yang mungkin diraih Qatar sebagai tuan rumah. Pemerintah Qatar memperkirakan mendapat tambahan devisa sebesar US$ 17 miliar atau sekitar Rp 267 triliun dari 1,5 juta penonton Piala Dunia. Pendapatan yang sangat sedikit bila dibandingkan modal penyelenggaraan sebesar US$ 200 miliar atau setara Rp 3.144 triliun.
Namun, bila berkaca pada perputaran duit judi di Piala Dunia 2018 yang mencapai 136 miliar euro atau setara Rp 2.213 triliun, semestinya Piala Dunia Qatar bisa mencetak lebih dari itu. Apalagi Amerika Serikat (AS) baru saja melegalkan judi olahraga. Kini, sebanyak 31 negara bagian telah melegalkan judi olahraga, dibanding hanya tiga negara bagian pada 2018 lalu.
Berdasarkan laporan American Gaming Association baru-baru ini, 29 persen warga dewasa AS menyatakan bakal menonton Piala Dunia dan memasang taruhan. Sebanyak 20,5 juta orang warga dewasa AS pun menyatakan berencana bertaruh setotal US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 28,2 triliun.
Laporan tersebut mencatat 24 persen warga dewasa AS bakal bertaruh untuk negaranya. Dengan lolosnya AS ke babak 16 besar usai mengalahkan Iran di laga pamungkas Grup B, besar kemungkinan jumlah warga AS yang bertaruh untuk negaranya akan meningkat. Begitu pula nominal taruhan. Bagaimanapun, judi selalu menjanjikan kemenangan. Ketika kemenangan sudah terlihat terang, janji itu terlihat semakin nyata.
Hal lain yang membuat Piala Dunia kali ini lebih banyak menyedot penjudi dari edisi sebelumnya, adalah karena diselenggarakan di Asia. Berdasarkan data International Betting Integrity Association (IBIA), penjudi olahraga terbanyak di dunia berasal dari Asia. Penjudi Asia menyumbang hampir separuh dari total US$ 478 miliar perputaran duit judi olahraga global pada 2019.
Grafik Proporsi Perputaran Duit Judi Berdasarkan Benua
(Sumber: IBIA)
Di Bawah Bayang-Bayang Match Fixing
Meskipun demikian, match fixing atau pengaturan skor membayangi para penjudi yang menitipkan nasib kepada tim yang berlaga di Piala Dunia Qatar.
Pertanda sudah terlihat sebelum pertandingan pembuka antara Qatar melawan Ekuador. Seorang penulis dan pakar urusan politik bernama Amjad Taha jelang pertandingan tersebut menuduh Qatar telah menyuap beberapa pemain Ekuador agar sengaja mengalah dengan uang setotal US$ 7,4 juta.
Taha menyampaikan tuduhannya melalui cuitan Twitter. Ia pun mengklaim telah mengkonfirmasi praktik kotor tersebut kepada “orang dalam” kedua tim. Menurutnya, pertandingan akan berakhir dengan skor 1-0 dengan gol tercipta di babak kedua untuk kemenangan Qatar.
Tuduhan Taha tak terbukti. Dalam pertandingan itu, Qatar kalah 0-2 dari Ekuador. Qatar pun menjadi tuan rumah pertama dalam sejarah yang kalah beruntun dalam tiga laga penyisihan grup.
Namun, bukan berarti bayang-bayang match fixing telah sepenuhnya hilang dari Piala Dunia Qatar. Sebuah laporan dari Diario Marca–media massa olahraga asal Spanyol, mengungkap wasit Janny Sikazwe yang memimpin pertandingan antara Kanada vs Belgia ternyata sebelumnya pernah terlibat serangkaian skandal.
Pada 2018 lalu, Federasi Sepakbola Afrika (CAF) menskors Janny Lantaran menghentikan pertandingan antara Tunisia vs Mali pada menit ke-85. Ia pun menolak meninjau VAR untuk potensi kartu merah yang dianggap mempengaruhi keseluruhan pertandingan. Wasit asal Zambia ini juga sempat terlibat skandal pengaturan skor dalam pertandingan Liga Champions Afrika antara Esperance dan Primiero Agosto.
Ketika memimpin pertandingan Kanada vs Belgia, Janny menjadi sorotan lantaran menolak melihat VAR untuk dua potensi penalti bagi Kanada pada menit ke-14 dan ke-38. Padahal tayangan ulang memperlihatkan pelanggaran jelas terjadi terhadap pemain Kanada di kotak penalti Belgia.
Sampai saat ini, FIFA belum melakukan penyelidikan resmi atas kasus tersebut. Janny pun masih menjadi salah satu wasit Piala Dunia 2022. Sementara Kanada sudah dipastikan tak lolos ke babak 16 besar.
Tentu saja para penjudi patut khawatir terhadap potensi match fixing. Namun, mereka bisa sedikit mengurangi kekhawatiran karena FIFA telah bekerja sama dengan Sportradar, FBI, Interpol, dan IBIA untuk mengawasi seluruh pertandingan di Piala Dunia 2022. Pertanyaannya, apakah kamian masih percaya FIFA?
Mereka yang Kalah Judi
Kini, babak penyisihan grup telah hampir rampung. Banyak kejutan telah terjadi, seperti kemenangan Arab Saudi atas Argentina dan Jepang atas Jerman. Sekali lagi meminjam istilah Mahfud Ikhwan, menjadi hasil yang disoraki pecinta sepakbola, mereka yang secara alamiah cenderung mendukung tim lebih lemah.
Namun, bagi para penjudi kejutan tersebut adalah bencana. Tim yang lebih kuat selalu memberi janji kemenangan. Sehingga, secara alamiah penjudi cenderung bertaruh untuk tim yang lebih kuat dalam sebuah pertandingan. Kekalahan mereka, tentu saja berarti kehilangan uang.
Dimas, teman saya dan tentu bukan nama sebenarnya, adalah salah satu korbannya. Bermodal keyakinan pada Thomas Muller, ia bertaruh Rp 1 juta untuk Jerman. Namun, gol Ritsu Doan dan Takuma Asano di babak kedua mesti membuatnya terpaksa merelakan uang tersebut kepada bandar. Sampai kemarin, ia masih emosi ketika saya menyinggung kembali soal pertandingan tersebut.
Kerugian Dimas sebetulnya bukan apa-apa dibanding para penjudi lain. Melansir Daily Mail, seorang penjudi asal Australia kalah US$ 160 ribu atau sekitar Rp 2,5 miliar usai Argentina kalah dari Arab Saudi. Sementara, penjudi asal Australia lainnya kalah US$ 181 ribu atau Rp 2,8 miliar karena terlalu percaya diri memegang Jepang saat melawan Kosta Rika.
Saya bukan penjudi dan tak berjudi selama Piala Dunia 2022. Namun, buat para penjudi di luar sana ada baiknya mengikuti petuah David Sumpter: jangan berpijak pada kekuatan tim dan statistik pertandingan, tapi di tim mana potensi untung lebih besar.