Keberadaan Muslim di Antariksa

Penulis: Hamim Septian
Editor: Achmad Susanto
Keberadaan Muslim di Antariksa

Highlight

  • Mengapa Penting:

Keberadaan Muslim dalam perjalanan antariksa memiliki signifikansi yang mendalam, menunjukkan bagaimana tantangan ritual keagamaan dapat dihadapi dan diatasi dalam lingkungan luar angkasa. Ini menciptakan pemahaman tentang integrasi antara keyakinan agama dan eksplorasi ilmiah di antara komunitas Muslim.

  • Gambaran Besar:

Gambaran besar ini mengulas sejarah perjalanan antariksa Muslim sejak awal abad terakhir hingga kontroversi terkini mengenai perjalanan ke Mars. Dari perjuangan Sultan bin Salman Al-Saud hingga pandangan berbeda dalam komunitas Muslim, artikel ini memberikan gambaran luas tentang bagaimana eksplorasi luar angkasa berdampingan dengan praktik keagamaan.

  • Sorotan:

  1. Perkembangan perjalanan antariksa sejak 1961 dan kontribusi Muslim yang masih rendah.
  2. Tantangan keagamaan yang dihadapi oleh Muslim di luar angkasa, termasuk salat dan puasa Ramadan.
  3. Pengalaman Sultan bin Salman Al-Saud sebagai astronot Muslim pertama.
  4. Perdebatan terkini mengenai perjalanan ke Mars dalam pandangan keagamaan.
  • Perspektif Luas:

Perspektif luas ini menyajikan pandangan dari berbagai tokoh, negara, dan zaman, menunjukkan keragaman dalam pendekatan terhadap tantangan keagamaan di luar angkasa. Dari Uni Soviet hingga Malaysia, artikel ini mencakup berbagai perspektif.

  • Perspektif Mendalam:

  1. Penjelasan rinci mengenai tantangan praktik keagamaan dalam antariksa.
  2. Pengalaman Sultan bin Salman Al-Saud dan pandangan berbeda Anousheh Ansari.
  3. Panduan keagamaan untuk astronot Muslim, termasuk fatwa dan pertemuan para ahli  hukum Islam.
  • Kilas Balik:

Kilas balik pada sejarah rekrutmen astronaut dan dampaknya pada partisipasi Muslim. Pengalaman pertama Sultan bin Salman Al-Saud dan evolusi pandangan terhadap keagamaan di antariksa. Perdebatan kontemporer mengenai perjalanan ke Mars dan reaksi dari komunitas Muslim.

 

Baca juga:
Pemuda-Pemudi Indonesia Jompo Karena Jarang Olahraga
Nasib Pekerja Jakarta, Stres & Tua di Jalan
Gula, Kamu Enak Tapi Jahat (Kalau Berlebihan)


Keberadaan Muslim dalam Antariksa: Tantangan dan Pemikiran Keagamaan

Tantangan Menarik dalam Perjalanan Antariksa bagi Muslim

Perjalanan antariksa membawa sejumlah tantangan menarik bagi umat Islam, karena beberapa praktik Islam terkait dengan geografi Bumi atau orbit benda langit. Sebagai contoh, banyak Muslim melaksanakan salat dengan menghadap ke Mekah, namun saat berada dalam orbit Bumi pada kecepatan 17.400 mil per jam, Mekah bergerak dengan cepat di bawah wahana antariksa. Selain itu, banyak Muslim melaksanakan salat lima kali sehari, namun astronot mengalami matahari terbit dan matahari terbenam setiap sembilan puluh menit saat berada dalam orbit.

Pengalaman Pertama Astronot Muslim dalam Antarktika (Antariksa)

Astronot Muslim pertama yang menghadapi tantangan-tantangan ini adalah Sultan bin Salman bin Abdulaziz Al-Saud, seorang pilot tempur dan pangeran Arab Saudi. Pada tahun 1985, ia menjadi Spesialis Payload untuk misi NASA STS-51G, menggunakan pesawat ulang-alik Discovery untuk meluncurkan tiga satelit. Sultan memilih untuk tidak berpuasa selama Ramadan selama pelatihan dan di antariksa, tetapi membawa Al-Qur'an kecil dan doa dari ibunya yang memohon perlindungan dari Tuhan.

Pandangan Berbeda terhadap Praktik Keagamaan di Antariksa

Astronot Muslim berikutnya adalah kosmonot dari Uni Soviet. Tidak ada bukti bahwa praktik keagamaan mempengaruhi perjalanan antariksa mereka. Mereka lebih fokus pada misi ilmiah daripada praktik keagamaan, terutama di Uni Soviet yang negaranya secara resmi ateis. Begitu juga dengan Anousheh Ansari, wanita Muslim pertama di antariksa, yang membayar biaya yang tidak diungkapkan—beberapa sumber menyebutkan $20 juta—untuk pergi ke Stasiun Luar Angkasa Internasional pada 2006.

Pedoman Keagamaan untuk Astronot Muslim

Pada tahun 2007, Malaysia mengirimkan astronot pertamanya ke ISS sebagai bagian dari kesepakatan senilai $900 juta dengan Rusia. Dr. Sheikh Muszaphar Shukor, seorang dokter Muslim, diluncurkan menggunakan pesawat ruang angkasa Soyuz TMA-11. Sebelum peluncuran, Dr. Shukor menyatakan bahwa sementara prioritas utamanya adalah melakukan eksperimen, ia juga khawatir akan menjaga praktik keagamaannya di antariksa.

Untuk membantu astronot Muslim di masa depan, pemerintah Malaysia menggelar pertemuan 150 cendekiawan hukum Islam, ilmuwan, dan astronot. Mereka menghasilkan fatwa berisi panduan praktik keagamaan. Seperti misalnya Bagaimana cara shalat di luar angkasa? Mereka menyarankan agar astronot menghadap Mekah jika memungkinkan, atau menghadap Bumi secara umum, atau bahkan "ke arah mana saja" saat melaksanakan salat. Terkait waktu salat dan puasa Ramadan, mereka menyarankan agar mengikuti zona waktu tempat asal astronot.

Perdebatan dalam Komunitas Muslim Mengenai Perjalanan ke Mars

Meskipun ada panduan resmi, beberapa Muslim melihat batasan keagamaan terhadap perjalanan ke luar angkasa. Pada 2014, setelah ribuan Muslim mendaftar untuk perjalanan satu arah ke Mars melalui organisasi Mars One, sebuah majelis fatwa di Uni Emirat Arab mengeluarkan fatwa yang menentang Mars One. Mereka berpendapat bahwa risiko perjalanan tersebut setara dengan bunuh diri, dengan merujuk pada ayat Al-Qur'an yang melarang membunuh diri atau orang lain.

Meskipun beberapa ahli hukum Islam menolak fatwa tersebut, perdebatan tetap berlanjut di komunitas Muslim seiring dengan peningkatan jumlah Muslim yang melakukan perjalanan ke luar angkasa. Mereka terus menghadapi pertanyaan-pertanyaan keagamaan seputar perjalanan ke luar angkasa, sambil mengutip ayat Al-Qur'an yang mendukung eksplorasi luar angkasa. "Wahai jamaah jin dan manusia! Jika kalian mampu melewati zona langit dan bumi, maka lakukanlah!" (Q. 55:33).