
Highlight
-
Kenapa Rohingya dibenci di Myanmar:
Etnis Rohingya dibenci karena dianggap sebagai imigran ilegal oleh pemerintah Myanmar. Mereka berbeda secara agama (Islam) dan etnis dari mayoritas penduduk Myanmar yang beragama Buddha, yang menimbulkan ketegangan sosial.
-
Apa yang terjadi pada Rohingya pada tahun 2017:
Pada tahun 2017, militer Myanmar melancarkan operasi besar di Rakhine, yang menyebabkan desa-desa Rohingya dibakar, banyak warga Rohingya dibunuh, dan lebih dari 700.000 orang melarikan diri ke Bangladesh.
-
Bagaimana kondisi pengungsi Rohingya di Bangladesh:
Pengungsi Rohingya di Bangladesh hidup di kamp-kamp yang padat dan minim fasilitas. Mereka kesulitan mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan yang layak.
-
Apa upaya internasional untuk membantu Rohingya:
Organisasi internasional seperti PBB memberikan bantuan kemanusiaan berupa makanan, layanan kesehatan, dan pendidikan di kamp-kamp pengungsi. Selain itu, beberapa negara menekan Myanmar melalui sanksi ekonomi untuk menghentikan diskriminasi.
Baca Juga:
Sejarah Awal Rohingya: Asal Usul, Kedatangan Islam, dan Kerajaan Mrauk U
Dilema Kemanusiaan untuk Pengungsi Rohingya
Apa Benar Islam Agama Tertua di Dunia
Kenapa Rohingya Dibenci dan Menjadi Target Pengusiran di Asia?
Sejarah Kelam Diskriminasi Terhadap Rohingya
Kenapa Rohingya Dibenci? Etnis Rohingya adalah kelompok minoritas Muslim yang tinggal di wilayah Rakhine, Myanmar, selama beberapa generasi. Namun, mereka tidak diakui sebagai warga negara oleh pemerintah Myanmar, yang menyebabkan mereka hidup tanpa kewarganegaraan dan hak-hak dasar. Situasi ini menjadikan Rohingya sasaran diskriminasi, pengusiran, dan kekerasan yang mengakar sejak lama. Kenapa Rohingya dibenci dan dianggap ancaman oleh sebagian besar masyarakat Myanmar? Artikel ini membahas secara mendalam latar belakang diskriminasi ini, serta kondisi kehidupan mereka di kamp-kamp pengungsi di berbagai negara.
Sejarah Diskriminasi Sistematis Terhadap Rohingya
1. Penolakan Kewarganegaraan pada 1982
Pada 1982, Myanmar mengesahkan Undang-Undang Kewarganegaraan yang secara resmi mencabut status kewarganegaraan Rohingya. Mereka dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh meskipun telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi. Kebijakan ini adalah dasar diskriminasi yang memungkinkan pengusiran besar-besaran dan tindakan represif lainnya.
2. Pembakaran Desa dan Eksodus Besar-besaran pada 2017
Konflik mencapai puncaknya pada 2017, ketika militer Myanmar melancarkan operasi militer di wilayah Rakhine yang berujung pada pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran desa-desa Rohingya. Aksi brutal ini memicu eksodus lebih dari 700.000 orang Rohingya ke Bangladesh dalam kondisi yang memprihatinkan.
Kondisi Pengungsi Rohingya di Negara-Negara Tetangga
1. Bangladesh: Krisis Kemanusiaan di Kamp Pengungsi
Bangladesh menjadi negara dengan populasi pengungsi Rohingya terbesar, menampung sekitar 967.842 orang di kamp-kamp pengungsian yang penuh sesak. Di sana, pengungsi hidup dalam kondisi sangat terbatas, dengan akses minim terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Masalah sanitasi yang buruk dan penyebaran penyakit menambah beban bagi para pengungsi yang sudah kehilangan tempat tinggal.
2. Indonesia: Penampungan Sementara di Lokasi Terbatas
Di Indonesia, sekitar 808 pengungsi Rohingya menetap sementara di lokasi penampungan yang disediakan oleh pemerintah dan organisasi kemanusiaan. Meski mendapatkan perlindungan dasar, banyak di antara mereka mengalami kesulitan dalam mengakses hak-hak lainnya, seperti pendidikan dan pekerjaan.
3. Malaysia dan Thailand: Penampungan Sementara dengan Banyak Kendala
Malaysia dan Thailand juga menjadi tujuan pengungsi Rohingya, namun kedua negara ini memiliki kebijakan yang ketat terhadap pengungsi, yang sering kali membuat mereka hidup dalam ketidakpastian dan keterbatasan. Banyak dari pengungsi di negara-negara ini harus menghadapi stigma, diskriminasi, dan sulitnya mendapatkan izin tinggal yang sah.
Kenapa Rohingya Dibenci di Myanmar?
1. Perbedaan Agama dan Identitas Etnis
Myanmar didominasi oleh penganut agama Buddha, sementara Rohingya mayoritas beragama Islam. Perbedaan agama ini menjadi salah satu alasan utama munculnya diskriminasi dan ketegangan sosial. Pemerintah Myanmar bahkan sering kali memandang Rohingya sebagai "ancaman" bagi stabilitas nasional, yang memicu munculnya propaganda yang memperburuk hubungan antara Rohingya dan penduduk asli Myanmar.
2. Stereotip dan Stigma sebagai "Imigran Gelap"
Rohingya sering kali dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh, meskipun banyak bukti sejarah yang menunjukkan mereka telah lama tinggal di Rakhine. Stereotip ini diperkuat oleh pemerintah Myanmar, yang menggambarkan mereka sebagai "penyusup" tanpa ikatan budaya dengan Myanmar. Stigma ini menyebabkan masyarakat setempat memandang Rohingya sebagai kelompok yang tidak diinginkan.
Upaya Internasional Menyelesaikan Krisis Rohingya
1. Sanksi Ekonomi dan Tekanan Politik terhadap Myanmar
Berbagai negara dan organisasi internasional, termasuk PBB, telah memberikan sanksi ekonomi kepada Myanmar sebagai respon terhadap kekerasan terhadap Rohingya. Namun, sanksi ini belum cukup untuk menghentikan diskriminasi, karena pemerintah Myanmar masih mempertahankan sikap represif terhadap Rohingya.
2. Bantuan Kemanusiaan di Kamp Pengungsi
Organisasi kemanusiaan, seperti UNHCR dan UNICEF, aktif memberikan bantuan di kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh dan negara-negara lain. Bantuan ini mencakup suplai makanan, layanan kesehatan, dan akses pendidikan bagi anak-anak pengungsi. Meski demikian, kondisi di kamp-kamp pengungsi masih jauh dari layak dan membutuhkan dukungan berkelanjutan dari komunitas internasional.
Tantangan dalam Mencapai Solusi Jangka Panjang untuk Rohingya
Krisis Rohingya adalah contoh nyata diskriminasi yang melibatkan aspek etnis dan agama. Ketidakmampuan pemerintah Myanmar untuk memberikan hak-hak dasar kepada Rohingya telah memperparah kondisi mereka, menjadikan mereka hidup dalam ketidakpastian di kamp-kamp pengungsi yang penuh sesak. Meskipun bantuan internasional terus mengalir, krisis ini membutuhkan solusi yang lebih permanen agar Rohingya dapat hidup dengan aman dan bermartabat di tempat yang mereka anggap sebagai rumah.