
Highlight
-
Mengapa Penting:
Proses pemakzulan (impeachment) memiliki signifikansi penting untuk menjaga akuntabilitas dan keadilan dalam pemerintahan. Ini tidak hanya merupakan alat untuk menangani pelanggaran etik pejabat publik, tetapi juga fondasi bagi sistem pemerintahan yang seimbang.
-
Gambaran Besar:
Gambaran besar menyeluruh tentang sejarah dan prosedur pemakzulan, melibatkan perbandingan antara Inggris, Amerika Serikat, dan Indonesia. Dari akar sejarahnya di Inggris hingga perkembangannya di Amerika Serikat dan Indonesia, proses ini menjadi inti dalam dinamika politik.
-
Sorotan:
Sorotan pada pemakzulan di Inggris, Amerika Serikat, dan Indonesia membuka wawasan terhadap perbedaan implementasi dan dampaknya. Kasus-kasus terkenal, seperti William, Baron Latimer, hingga upaya pemakzulan terhadap Donald Trump dan peristiwa di Indonesia, menjadi titik fokus yang menarik.
-
Perspektif Luas:
Perspektif luas dengan merinci sejarah pemakzulan dari Inggris hingga Amerika Serikat dan Indonesia. Memahami konteks hukum dan politik di berbagai negara memberikan pandangan yang kaya terhadap pentingnya pemakzulan sebagai instrumen penegakan hukum.
-
Perspektif Mendalam:
Selain memberikan gambaran umum, tulisan ini juga menawarkan perspektif mendalam pada sejarah pemakzulan di masing-masing negara melalui kasus-kasus spesifik, seperti pemakzulan terhadap Andrew Johnson, Richard M. Nixon, dan upaya pemakzulan di Indonesia.
-
Kilas Balik:
Kilas balik pada upaya pemakzulan di Indonesia 78 tahun yang lalu, termasuk maklumat 3 Juli 1946, menyajikan pemahaman mendalam tentang peristiwa tersebut. Sejarah pemakzulan di Indonesia menjadi cerminan peristiwa bersejarah yang mencerminkan kompleksitas politik pada masa itu.
Baca juga:
Pemuda-Pemudi Indonesia Jompo Karena Jarang Olahraga
Nasib Pekerja Jakarta, Stres & Tua di Jalan
Gula, Kamu Enak Tapi Jahat (Kalau Berlebihan)
Sejarah dan Dinamika Proses Pemakzulan: Perbandingan Antara Inggris, Amerika Serikat dan Indonesia
Pemakzulan di Inggris
Pemakzulan pertama kali muncul di Inggris pada abad ke-14 sebagai upaya untuk memulai penyidikan pidana berdasarkan protes publik. The Good Parliament of 1376 melahirkan kasus pemakzulan pertama, yang paling penting adalah kasus William, Baron Latimer ke-4. Sejak itu, pemakzulan tidak hanya menjadi alat untuk memulai penyidikan pidana tetapi juga metode persidangan.
Pemakzulan jarang digunakan hingga abad ke-17. Pada abad ke-17, pemakzulan dihidupkan kembali sebagai cara parlemen untuk menyingkirkan menteri yang tidak populer. Dari 1621 hingga 1679, banyak pejabat utama kerajaan dipecat atau setidaknya terancam oleh metode ampuh parlementer ini.
Pemakzulan di Amerika Serikat
Proses pemakzulan jarang digunakan di Amerika Serikat, sebagian karena kenyataan bahwa itu sangat merepotkan. Dapat memakan waktu berhari-hari, menghasilkan ribuan halaman kesaksian, dan melibatkan tekanan politik yang rumit. Meskipun demikian, pemakzulan dianggap sebagai bagian integral dari sistem pemerintahan AS yang menyeimbangkan kekuasaan.
Andrew Johnson menjadi presiden AS pertama yang berusaha dimakzulkan pada tahun 1868, tetapi dibebaskan dengan selisih satu suara. Kasus-kasus lain termasuk Presiden Richard M. Nixon pada tahun 1974 dan Presiden Bill Clinton pada 1998, serta dua kali impeach terhadap Donald Trump pada 2019 dan 2021.
Pemakzulan di Indonesia
78 tahun yang lalu, Indonesia mengalami upaya pemakzulan terhadap pemerintah yang sah. Ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Perdana Menteri Sutan Sjahrir memicu peristiwa ini, melibatkan tokoh-tokoh pergerakan seperti Tan Malaka dan Achmad Soebardjo.
Kronologi Upaya Pemakzulan di Indonesia
Pada 23 Maret 1946, tokoh-tokoh pergerakan dari Persatuan Perjuangan, seperti Tan Malaka, Achmad Soebardjo, dan Sukarni, ditangkap dengan tuduhan penculikan terhadap anggota kabinet Sjahrir. Pada 26 Juni 1946, Sutan Sjahrir dan anggota kabinet diculik, memicu keadaan darurat yang menyebabkan Soekarno mengambil alih kekuasaan pemerintahan.
Maklumat 3 Juli 1946 dan Puncak Upaya Pemakzulan
Pada 3 Juli 1946, Mayor Sudarsono dan kelompoknya menyerahkan maklumat kepada Presiden Soekarno, mendesak penghentian Kabinet Sjahrir II dan penyerahan kekuasaan politik, sosial, dan ekonomi kepada Dewan Pimpinan Politik yang diusulkan. Meskipun upaya pemakzulan terjadi, Sjahrir akhirnya dibebaskan melalui desakan publik.