Sejarah Ganja di Aceh: Dari Bumbu Masakan hingga Pengobatan

Penulis: Achmad Susanto
Editor: Hamim Septian
Sejarah Ganja di Aceh: Dari Bumbu Masakan hingga Pengobatan

Highlight

  • Apakah semua makanan khas Aceh mengandung ganja?

Tidak, penggunaan ganja di Aceh dalam pengolahaan makanan kini sudah sangat jarang ditemui. Tidak semua makanan khas Aceh mengandung ganja.

  • Mengapa ganja digunakan dalam masakan Aceh?

Ganja digunakan dalam masakan Aceh untuk menambah cita rasa, bukan untuk efek memabukkan.

  • Apa saja makanan khas Aceh yang dikatakan mengandung ganja?

Beberapa makanan khas Aceh yang dikatakan mengandung ganja antara lain Kuah Beulangong, Kari Sie Itek, dan Ie Bu Peudah.

  • Apa langkah yang diambil BNN untuk menghapus stigma negatif ini?

BNN Provinsi Aceh akan melakukan razia di rumah dan warung di Aceh untuk memastikan tidak ada penggunaan ganja dalam makanan.

  • Bagaimana dampak stigma negatif ini terhadap Aceh?

Stigma negatif ini dapat mengurangi minat wisatawan untuk mencicipi makanan khas Aceh dan berdampak pada perekonomian lokal.

 

Baca juga:
Kisah Siti Manggopoh Melawan Belanda
Perbedaan Nasi Kapau dan Nasi Padang
Nasi Padang, Ganja dan Trauma Orang Minang

 

Sejarah Penggunaan Ganja di Aceh

Ganja pertama kali dibawa ke Nusantara oleh pedagang dan pelaut Gujarat dari India sekitar abad ke-14. Di Aceh, ganja digunakan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Salah satu penggunaan utama ganja adalah dalam bidang pengobatan. Selain pengobatan, ganja juga memiliki peran penting dalam pertanian dan kuliner Aceh. Masyarakat Aceh menggunakan ganja sebagai bumbu penyedap rasa dalam berbagai masakan tradisional. Dalam Kitab Tajul Muluk, sebuah naskah kuno yang berasal dari Arab dan dibawa ke Aceh oleh saudagar dari Persia dan Turki sekitar abad ke-16, terdapat catatan mengenai pemanfaatan ganja sebagai bumbu masakan dan ramuan herbal. Penggunaan ini tidak hanya terbatas pada aspek kuliner, tetapi juga meliputi pengobatan berbagai penyakit, termasuk rematik dan nyeri, yang tercatat dalam karya Sir William Brooke O'Shaughnessy pada tahun 1839.

Meskipun pada awalnya ganja digunakan secara luas, pemerintah kolonial mulai memberlakukan pengawasan ketat terhadap budidaya ganja di Aceh dan Sumatera Barat. Pada tahun 1927, dengan diterbitkannya Dekrit Narkotika, ganja secara resmi dinyatakan ilegal, sejalan dengan tren global yang mengarah pada pelarangan zat-zat tertentu.

Manfaat Ganja dalam Masakan Aceh

Ganja dalam masakan Aceh digunakan bukan untuk efek memabukkan, melainkan untuk menambah cita rasa yang khas dan mendalam. Penggunaan ganja dalam masakan Aceh tercatat dalam naskah kuno Tajul Muluk yang berasal dari abad ke-16. Dalam naskah tersebut, ganja disebutkan sebagai obat untuk penyakit tertentu serta sebagai bahan penyedap rasa yang penting. Dalam kuliner Aceh, biji ganja yang dihaluskan sering ditambahkan ke dalam berbagai hidangan tradisional, seperti kuah beulangong dan kari kuah bebek, untuk memberikan aroma yang menggugah selera. Selain meningkatkan cita rasa, ganja juga dianggap dapat membuat daging lebih empuk dan berfungsi sebagai pengawet alami.

Kuliner Aceh yang Mengandung Ganja

Kuliner Aceh dikenal dengan kekayaan cita rasa dan penggunaan rempah-rempah yang melimpah. Di antara berbagai hidangannya, ada beberapa makanan khas yang dikatakan menggunakan ganja sebagai bumbu, menciptakan pengalaman rasa yang unik dan mendalam. Berikut adalah 3 makanan khas Aceh yang dikatakan menggunakan ganja sebagai bumbu antara lain:

1. Kuah Beulangong: Kari Khas Aceh yang Kaya Rempah

Kuah Beulangong adalah salah satu kuliner legendaris dari Aceh yang terkenal dengan cita rasanya yang kaya dan kompleks. Makanan ini sering kali dihidangkan dalam acara-acara besar seperti pernikahan, kenduri, atau acara adat lainnya.

Ciri Khas Kuah Beulangong

  • Rempah yang Melimpah: Kuah Beulangong menggunakan berbagai rempah seperti kunyit, jahe, lengkuas, ketumbar, dan tentu saja, ganja sebagai salah satu bahan penyedap.
  • Daging: Biasanya menggunakan daging sapi atau kambing yang dimasak hingga empuk.
  • Proses Memasak: Memasak kuah beulangong memerlukan waktu yang cukup lama, dimulai dari mengolah rempah hingga daging benar-benar menyerap bumbu.

Penggunaan Ganja

Penggunaan ganja dalam Kuah Beulangong adalah untuk memberikan aroma dan rasa yang khas, bukan untuk tujuan memabukkan. Meskipun demikian, sekarang penggunaan ganja sudah jarang dilakukan, digantikan dengan rempah lain yang memberikan efek serupa.

2. Kari Sie Itek: Kari Bebek dengan Rasa yang Kuat

Kari Sie Itek atau kari bebek adalah hidangan yang tidak kalah populer di Aceh. Kari ini dikenal dengan rasanya yang kuat dan kaya rempah.

Ciri Khas Kari Sie Itek

  • Bahan Utama: Bebek yang digunakan biasanya dipilih yang masih muda agar dagingnya lebih empuk dan gurih.
  • Rempah: Menggunakan berbagai jenis rempah seperti bawang merah, bawang putih, jahe, kunyit, dan sedikit ganja untuk memperkuat rasa.
  • Kuah Kental: Kuah kari yang kental dan pekat adalah ciri khas dari Kari Sie Itek.

Penggunaan Ganja

Seperti halnya Kuah Beulangong, ganja dalam Kari Sie Itek digunakan dalam jumlah yang sangat kecil, lebih sebagai penyedap rasa. Penggunaan ini pun sudah sangat jarang ditemukan dalam praktik memasak saat ini.

3. Ie Bu Peudah: Bubur Rempah yang Memiliki Rasa Khas

Ie Bu Peudah adalah bubur rempah khas Aceh yang sering disajikan saat perayaan tertentu atau sebagai menu sarapan.

Ciri Khas Ie Bu Peudah

  • Bahan Utama: Terbuat dari beras yang dimasak dengan santan dan berbagai rempah.
  • Rempah: Menggunakan rempah-rempah seperti lada, kayu manis, cengkeh, dan terkadang ganja untuk memperkaya cita rasa.
  • Tekstur: Bubur ini memiliki tekstur yang lembut dan rasa yang hangat di tenggorokan, cocok untuk dimakan di pagi hari.

Penggunaan Ganja

Dalam Ie Bu Peudah, ganja digunakan untuk memberikan aroma dan sedikit rasa yang khas. Namun, penggunaannya kini sudah hampir tidak pernah dilakukan karena berbagai alasan kesehatan dan hukum.

Stigma Negatif dan Upaya BNN

Kepala BNN Provinsi Aceh, Brigjen Pol Marzuki Ali Basya, menyatakan bahwa stigma negatif terkait penggunaan ganja dalam kuliner Aceh harus dihapus. BNN akan melakukan razia di rumah dan warung di Aceh untuk memastikan tidak ada penggunaan ganja dalam makanan. Hal ini dilakukan untuk mengubah pandangan masyarakat dan wisatawan tentang kuliner Aceh.Menurut Marzuki Ali Basya, BNN akan melakukan razia di rumah dan warung di Aceh untuk memastikan tidak ada penggunaan ganja dalam makanan. Ini dilakukan untuk mengubah pandangan masyarakat dan wisatawan tentang kuliner Aceh.

Peran BPOM, MPU, dan Kementerian Agama

Dalam upaya menghapus stigma negatif terkait penggunaan ganja dalam kuliner Aceh, BNN Provinsi Aceh bekerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, dan Kementerian Agama. Kolaborasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa makanan yang disajikan di Aceh tidak hanya aman dari bahan-bahan terlarang tetapi juga memenuhi standar kehalalan yang diakui. BPOM berperan dalam melakukan pengawasan dan uji laboratorium terhadap makanan yang beredar untuk memastikan tidak ada kandungan ganja atau zat berbahaya lainnya. MPU Aceh memberikan panduan dan sertifikasi halal, serta melakukan sosialisasi kepada pelaku usaha kuliner mengenai pentingnya menjaga kehalalan dan kualitas makanan. Sementara itu, Kementerian Agama turut serta dalam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya konsumsi makanan yang halal dan thayyib (baik). Kerja sama lintas sektor ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan wisatawan terhadap keamanan dan kehalalan makanan di Aceh, sekaligus mengubah stigma negatif yang selama ini melekat.

Perspektif Budayawan Aceh

Budayawan Aceh, Iskandar Tungang, berpendapat bahwa razia ini justru dapat memperkuat stigma negatif terhadap kuliner Aceh. Menurutnya, seharusnya ada pendekatan yang lebih edukatif dan persuasif untuk mengubah pandangan masyarakat tentang penggunaan ganja dalam makanan. Pendekatan yang lebih edukatif dan persuasif diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat tentang keamanan dan kehalalan makanan, serta mengurangi stigma negatif terhadap kuliner Aceh. Dengan demikian, upaya untuk memastikan keamanan makanan di Aceh sebaiknya juga disertai dengan sosialisasi yang menyeluruh untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik di kalangan masyarakat.

Dampak Sosial dan Ekonomi

Stigma negatif terhadap kuliner Aceh tidak hanya berdampak pada citra daerah, tetapi juga pada perekonomian lokal. Wisata kuliner adalah salah satu daya tarik utama Aceh, dan stigma ini dapat mengurangi minat wisatawan untuk mencicipi makanan khas Aceh. Oleh karena itu, upaya untuk menghapus stigma ini sangat penting untuk menjaga keberlanjutan ekonomi masyarakat Aceh. Kuliner Aceh adalah warisan budaya yang kaya dan harus dijaga. Meskipun ada stigma negatif terkait penggunaan ganja, sebenarnya ganja digunakan untuk menambah cita rasa dan bukan untuk efek memabukkan. Upaya BNN dan berbagai pihak terkait untuk menghapus stigma ini sangat penting agar kuliner Aceh dapat dinikmati tanpa prasangka negatif, sehingga dapat mendukung pertumbuhan ekonomi lokal dan memperkuat citra positif Aceh sebagai destinasi wisata kuliner yang aman dan lezat.