Menguak Budaya Flexing dari Joki Strava Hingga Sewa Lanyar di Media Sosial

Penulis: Achmad Susanto
Editor: Hamim Septian
Menguak Budaya Flexing dari Joki Strava Hingga Sewa Lanyar di Media Sosial

Highlight

  • Apa itu jasa joki Strava?

Jasa joki Strava adalah layanan di mana seseorang menyewa orang lain untuk menjalankan aktivitas olahraga mereka dan hasilnya akan diunggah ke akun Strava penyewa.

  • Mengapa orang menyewa joki untuk naik gunung?

Orang menyewa joki untuk naik gunung agar bisa mendapatkan foto dan video dari puncak gunung tanpa harus mendaki sendiri.

  • Apa dampak negatif dari budaya flexing?

Dampak negatif dari budaya flexing termasuk keborosan, stres, kecemasan, dan kompetisi tidak sehat di lingkaran pertemanan.

  • Bagaimana cara menghindari budaya flexing?

Cara menghindari budaya flexing antara lain dengan meningkatkan rasa percaya diri, fokus pada diri sendiri, dan tidak mencari pengakuan dari orang lain.

 

Baca juga:
Kelakuan Anak-anak Orang Kaya yang Bikin Ngelus Dada
Kenapa Kita Gampang Tertipu Kisah-Kisah Orang Kaya
Kenapa Harus Main Sendiri Kalau Ada yang Ngejokiin?

 

Menguak Budaya Flexing dari Joki Strava Hingga Sewa Lanyar di Media Sosial

Fenomena flexing atau budaya pamer semakin marak di era digital, di mana individu memamerkan kekayaan, gaya hidup mewah, atau pencapaian mereka di media sosial. Dulu, tindakan pamer ini hanya bisa dilakukan saat berkumpul dengan teman-teman atau dalam lingkaran sosial terbatas. Namun, sekarang internet memungkinkan siapapun untuk memperlihatkan kemewahan mereka kepada audiens yang jauh lebih luas. Meskipun terlihat biasa saja, budaya ini sebenarnya bisa berbahaya karena dapat memicu perasaan iri, kecemasan, dan tekanan sosial di antara para penonton. Selain itu, flexing juga dapat mendorong perilaku konsumtif yang tidak sehat dan menciptakan persepsi yang salah tentang kebahagiaan dan kesuksesan.

Pengenalan Budaya Flexing

"Flexing" adalah istilah slang yang digunakan untuk menggambarkan tindakan memamerkan atau menunjukkan sesuatu dengan cara yang mencolok atau berlebihan, biasanya untuk menunjukkan kekayaan, status sosial, atau pencapaian. Ini sering kali melibatkan penggunaan media sosial untuk memperlihatkan barang-barang mahal seperti pakaian bermerek, gadget terbaru, mobil mewah, atau gaya hidup mewah lainnya. Flexing bertujuan untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan dari orang lain, sering kali melalui likes, komentar, dan pengikut di platform seperti Instagram, Facebook, atau TikTok. Meski bagi sebagian orang flexing adalah cara untuk merayakan pencapaian, bagi yang lain ini bisa dianggap sebagai perilaku sombong atau tidak sensitif terhadap orang-orang yang kurang beruntung.

Budaya flexing atau pamer kini menjadi tren yang sulit dihindari, terutama dengan berkembangnya media sosial. Dulu, pamer mungkin hanya terjadi ketika kita berkumpul dengan teman-teman, menunjukkan barang baru atau menceritakan pencapaian terbaru. Namun, kini media sosial memungkinkan kita untuk memamerkan segala hal kepada audiens global. Dari pakaian bermerek, gadget terbaru, hingga pencapaian hidup seperti perjalanan atau kesuksesan karier, semua dipamerkan secara terbuka. Fenomena ini mencerminkan perubahan dalam cara kita mencari validasi dan pengakuan, dengan likes dan komentar menjadi bentuk baru dari apresiasi sosial. Namun, meski terlihat menyenangkan, budaya ini juga dapat menimbulkan tekanan sosial dan standar yang tidak realistis bagi banyak orang.

Makin Boros Makin Keren

Salah satu aspek berbahaya dari budaya flexing adalah dorongan untuk terus membeli barang-barang mahal demi mendapatkan pengakuan dan validasi dari orang lain. Semakin sering kita pamer, semakin banyak uang yang dihabiskan untuk membeli barang-barang mewah yang mungkin tidak benar-benar diperlukan. Hal ini bisa menyebabkan kondisi keuangan yang tidak sehat, seperti pengeluaran yang berlebihan atau bahkan utang, demi mempertahankan citra "makin boros makin keren." Selain itu, kompetisi tidak sehat dapat muncul di antara teman-teman atau dalam komunitas online, di mana individu merasa perlu untuk selalu melebihi satu sama lain dalam hal materi. Situasi ini tidak hanya berdampak buruk pada keuangan pribadi, tetapi juga dapat menimbulkan stres dan tekanan sosial yang tinggi.

Penyebab Flexing

Apa yang membuat seseorang suka pamer? Ada beberapa penyebab utama:

1. Merasa insecure dan tidak percaya diri
Banyak orang merasa tidak percaya diri dengan apa yang mereka miliki, sehingga merasa perlu untuk menunjukkan hal-hal mahal agar terlihat lebih baik.

2. Ingin tampil lebih baik
Keinginan untuk tampil lebih baik di mata orang lain mendorong orang untuk pamer.

3. Kecemburuan sosial
Melihat orang lain sukses dan memiliki banyak hal bisa menimbulkan kecemburuan, yang kemudian memicu perilaku pamer.

Cara Menghindari Flexing

Untuk menghindari budaya flexing, ada beberapa langkah yang bisa diambil:

1. Tingkatkan rasa percaya diri
Bangun kepercayaan diri dari dalam diri, bukan dari pengakuan orang lain.

2. Fokus pada diri sendiri
Alih-alih membandingkan diri dengan orang lain, fokuslah pada kemajuan pribadi.

3. Jangan mencari pengakuan dari orang lain
Cari kebahagiaan dari hal-hal sederhana dan bukan dari pengakuan orang lain.

Contoh Flexing Ekstrem

Budaya pamer atau flexing telah merasuk ke berbagai aspek kehidupan, hingga mencakup hal-hal yang tidak masuk akal seperti menyewa joki untuk naik gunung atau menggunakan jasa joki Strava. Dalam upaya untuk tampil lebih hebat atau mencapai prestasi yang mengesankan di mata orang lain, beberapa orang rela membayar joki untuk melakukan kegiatan fisik atas nama mereka, seperti mendaki puncak gunung atau mencatat rekor bersepeda di aplikasi olahraga seperti Strava. Fenomena ini mencerminkan tingkat ekstrem dari budaya flexing, di mana pencapaian otentik diabaikan demi tampilan luar yang mengesankan. Tindakan ini tidak hanya merugikan diri sendiri dalam hal finansial, tetapi juga menghilangkan makna sejati dari usaha dan pencapaian pribadi, serta menipu orang lain dengan pencitraan yang tidak jujur.

Jasa Joki Naik Gunung

Salah satu contoh ekstrem dari budaya flexing adalah jasa joki naik gunung, di mana orang-orang rela membayar mahal untuk mendapatkan foto dan video dari puncak gunung tanpa harus mendaki sendiri. Fenomena ini mencerminkan kecenderungan untuk menampilkan pencapaian tanpa melakukan usaha yang sebenarnya. Riska, seorang pendaki asal Makassar, awalnya hanya iseng menawarkan jasa ini kepada teman-temannya, namun ternyata banyak yang berminat. Kliennya hanya perlu memberikan ponsel atau kamera, dan Riska akan melakukan pendakian serta mengambil gambar di puncak sebagai bukti bahwa "klien" tersebut telah mendaki. Fenomena ini menunjukkan bagaimana dorongan untuk tampil hebat di media sosial bisa mendorong perilaku yang tidak otentik, bahkan hingga merogoh kocek dalam-dalam demi mendapatkan pengakuan.

Jasa Joki Strava

Sama seperti jasa joki naik gunung, jasa joki Strava juga menawarkan layanan yang memungkinkan seseorang membayar orang lain untuk menjalankan aktivitas olahraga atas nama mereka. Dalam layanan ini, joki akan melakukan aktivitas seperti berlari atau bersepeda dan mencatat hasilnya menggunakan akun Strava sang penyewa. Hasil tersebut kemudian dapat dipamerkan di media sosial sebagai pencapaian pribadi, meskipun sebenarnya tidak dilakukan oleh si penyewa. Meskipun layanan ini mungkin memuaskan kebutuhan akan pengakuan sosial, dampaknya jauh dari positif. Lebih bermanfaat jika seseorang berolahraga sendiri, mendapatkan manfaat kesehatan yang sesungguhnya dan merasakan kebanggaan atas pencapaian pribadi. Jasa joki Strava hanya memperkuat budaya pamer yang superfisial, tanpa memberikan nilai sebenarnya dari aktivitas fisik dan usaha pribadi.

Sewa Lanyard Pas Bukber

Fenomena ini paling ramai terjadi di bulan puasa, saat undangan buka bersama (bukber) mengalir deras dan menjadi ajang sosial yang dinanti. Beberapa orang menyewa lanyard dengan nama perusahaan besar seperti Pertamina, PLN, BRI, atau BCA, meskipun mereka tidak bekerja di perusahaan tersebut. Tujuannya adalah untuk memberikan kesan bahwa mereka bekerja di tempat yang bergengsi dan memiliki posisi yang mapan, sehingga terlihat keren dan tidak madesu (masa depan suram). Ini adalah salah satu bentuk dari budaya pamer yang semakin marak, di mana penampilan dan persepsi sosial menjadi lebih penting daripada kenyataan. Fenomena ini mencerminkan tekanan sosial yang dirasakan banyak orang untuk menunjukkan keberhasilan atau status yang tinggi, meskipun dengan cara yang tidak otentik.

Sewa iPhone untuk Pamer

Bukan hanya lanyard, sewa iPhone juga marak di momen Ramadhan, ketika orang-orang ingin tampil lebih mewah di acara buka bersama atau pertemuan sosial lainnya. Harga sewa iPhone bervariasi, mulai dari Rp 75 ribu hingga Rp 600 ribu tergantung spesifikasi dan modelnya. Fenomena ini menggarisbawahi tekanan sosial untuk menunjukkan status melalui perangkat teknologi yang dianggap lebih prestisius, seperti iPhone, meskipun hanya untuk sementara. Pertanyaan yang muncul adalah, "Emangnya salah pakai HP Android?" Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan menggunakan HP Android, namun keinginan untuk pamer dan mengikuti tren bisa mendorong seseorang untuk mengeluarkan uang hanya demi penampilan sesaat. Ini menunjukkan bagaimana budaya pamer dapat mempengaruhi perilaku konsumtif, bahkan pada hal-hal yang seharusnya tidak perlu dipamerkan.

Dampak Negatif Flexing

Budaya flexing membawa banyak dampak negatif, baik bagi individu maupun masyarakat:

1. Keborosan
Membeli barang-barang yang tidak perlu demi pamer hanya akan membuat kita boros.

2. Stres dan kecemasan
Terus-menerus mencari pengakuan dari orang lain bisa menimbulkan stres dan kecemasan.

3. Kompetisi tidak sehat
Flexing bisa memicu kompetisi tidak sehat di antara teman-teman.

Flexing dan Kesehatan Mental

Budaya flexing, yang mendorong individu untuk terus membandingkan diri dengan orang lain dan mencari validasi eksternal, bisa berdampak buruk pada kesehatan mental. Ketika seseorang melihat pameran kekayaan, gaya hidup mewah, atau pencapaian orang lain di media sosial, mereka mungkin merasa tidak puas dengan diri sendiri atau merasa tertinggal. Tekanan untuk tampil sempurna dan mendapatkan pengakuan sosial dapat menimbulkan rasa cemas, stres, dan bahkan depresi. Selain itu, upaya untuk terus mengikuti tren dan standar yang tinggi ini sering kali membuat seseorang merasa tidak pernah cukup, menciptakan lingkaran ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan yang sulit dihindari. Hal ini menunjukkan pentingnya memiliki kesadaran dan kontrol atas penggunaan media sosial serta fokus pada pencapaian dan kebahagiaan pribadi yang otentik.

Peran Media Sosial dalam Flexing

Media sosial memainkan peran besar dalam menyebarkan budaya flexing. Dengan kemudahan berbagi momen hidup, banyak orang merasa perlu untuk menunjukkan hal-hal yang sebenarnya tidak penting. Fenomena ini mendorong individu untuk memamerkan gaya hidup mewah, barang-barang bermerek, dan pencapaian materi lainnya demi mendapatkan pengakuan dan validasi dari orang lain. Akibatnya, banyak yang terjebak dalam lingkaran pamer yang tidak sehat, di mana nilai-nilai kesederhanaan dan kebahagiaan sejati tergantikan oleh obsesi untuk terlihat sukses di mata dunia maya.

Bagaimana Mengubah Kebiasaan Flexing

Mengubah kebiasaan flexing tidaklah mudah, tetapi bisa dilakukan dengan langkah-langkah berikut:

1. Sadari dan akui masalahnya
Langkah pertama adalah menyadari dan mengakui bahwa kita memiliki kecenderungan untuk flexing.

2. Buat rencana untuk berubah
Buatlah rencana konkret untuk mengubah kebiasaan flexing, seperti mengurangi penggunaan media sosial atau berhenti membeli barang-barang yang tidak perlu.

3. Cari dukungan
Cari dukungan dari teman atau keluarga yang bisa membantu kita mengubah kebiasaan ini.

Budaya flexing atau pamer memang menjadi tren yang sulit dihindari, terutama dengan adanya media sosial. Namun, penting untuk diingat bahwa pamer hanya akan membawa dampak negatif, baik dari segi keuangan maupun kesehatan mental. Dengan meningkatkan rasa percaya diri dan fokus pada diri sendiri, kita bisa menghindari budaya ini dan hidup lebih bahagia tanpa harus mencari pengakuan dari orang lain.