Kiamat Yang Merekah

KIAMAT YANG MEREKAH

Catatan hampir pinggir buat album KIAMAT dari Rekah


 

Mataku jalang neon. Dadaku lokomotif. Keningku pabrik tua. Nafasku perburuan.”

 

—Rekah, BURSA ARWAH

 

Minggu, 1 Mei 2022, tepat di Hari Buruh Internasional, dekat La Republique Square yang megah sekaligus lengket, terjadi bentrok antar serikat buruh dan polisi yang memecah sampai La Nation Square di timur Paris dalam lengkungan sejarah kerja yang melengking-menajam.

54 buruh ditangkap.

Gas air mata menancap.

Jendela kota meleleh secara brutal.

Dan tubuh-tubuh manusia tersebar.

Mereka, para buruh, menuntut sekaligus mendesak—seakan membawa pisau, mengiris jalanan dengan dada terbongkar—perihal kenaikan gaji dan pembatalan rencana Macron menaikkan batas usia pensiun yang kian julang. Sementara itu, anarkis blok hitam menggeledah McDonald di Place Leon Blum dan menghancurkan beberapa agen real estate, memecahkan jendela serta membakar tempat sampah.

Di hari yang sama, Rekah, band post-hardcore (sebut saja demikian) asal Jakarta, merilis album terbarunya KIAMAT setelah sempat merilis mini-album Berbagi Kamar di tahun 2017. Sebuah album musik konseptual terkait mental yang amblas akibat kesibukan kerja dan paku yang menancap di kepala manusia modern. KIAMAT dirilis dalam bentuk kaset pita oleh salah satu label rekaman paling melesat saat ini dalam skena musik underground Greedy Dust dan juga tersedia dalam bentuk digital di The Storefront.

Terdapat 9 track di album ini yang kesemuanya ditulis dalam Bahasa Indonesia:

  1. 24 JAM DI FATMAWATI
  2. LUSA KIAMAT
  3. KABAR DARI DASAR BOTOL
  4. TERANG DILARANG MASUK
  5. BURSA ARWAH
  6. KERETA TERAKHIR DARI PALMERAH
  7. MENGAJARI API BERDANSA
  8. TRAGEDI PALING ANJING
  9. MAKAR/PENGHABISAN

 

Tentu, penulisan lirik berbahasa Indonesia menjadi poin lebih buat Rekah mengingat kebanyakan band atau musisi malah menggaris jarak terhadap Bahasa Indonesia dalam penulisan lagu-lagunya.

KIAMAT dibuka dengan 24 JAM DI FATMAWATI yang begitu kolosal menggambarkan lanskap gelap dunia post-industrial dengan fragmentasi dan distribusi kata yang solid. Dimulai dengan spokenwords menghantui “Baja-baja berlomba mencakar langit // Spion-spion bergesekan memercik sengit // Lelehan beton melahap buku-buku // Memuntahkan kembali apapun yang tak laku.” (24 JAM DI FATMAWATI), Rekah berhasil memecah ketegangan di akhir lagu dengan perayaan atas bebunyian, teriakan,  dan distorsi gitar yang tebal.

Kemudian disusul dengan beberapa track yang kurang lebih memiliki engahan napas dan rasa sakit yang sama di tengah jalan yang sudah dan belum dilalui.

Potret hancur lebur yang melankolis (juga berdesakan) muntah dari mulut Arespine Dymussaga Miraviori sebagai guest vocal dan layers di hampir seluruh album. Juga vokal dan gitar Tomo Hartono yang terdengar gersang meranggas sekaligus menghajar membuat tafsiran semesta kiamat benar-benar total di album ini.

Di tiap lagunya, KIAMAT terhubung satu sama lain, membikin pola benang merah yang tajam, dan hadir sebagai sebuah album yang melingkar. Track terakhir seolah tertali dengan track pertama dan hal itu seakan membuat KIAMAT tak memiliki akhir yang pasti, meskipun dengan sedikit optimisme yang retak. Ketertenggelaman di track awal (24 Jam di Fatmawati) di mana aku-lirik “sibuk tenggelam”, sejalan dengan “tiada akhir, semua berulang // aku tidak takut tenggelam// sekarang, dengan segenap perasaan (MAKAR/PENGHABISAN). Di titik ini, aku-lirik telah terbentur berbagai sejarah kerja dan eksploitasi yang memberinya sedikit optimisme akan hidup yang lebih waras.  Namun, segala tiada akhir, semua berulang. Perasaan bertengger di tepi jurang ketidakpastian masa depan. Karena itu, KIAMAT akan  terus berdentang. Tak membiarkan pendengarnya bernapas barang sedetik untuk tenggelam dalam kehancuran tanpa dasar.

Bagi saya, mendengarkan KIAMAT seperti mendengar jeritan mental yang terlampau sakit dan jungkir balik terkait benturan kecemasan akan realitas: hantaman kerja dan eksploitasi. Tokoh ‘Aku’ dalam KIAMAT adalah gambaran diri yang ambles secara fisik maupun mental yang terus ditempa di mesin kerja berkarat.

Tentu, masing-masing dari kita akan dan sudah mengalami hal yang sama semenjak sejarah dunia berubah menjadi sejarah kerja dan eksploitasi. Semenjak ide dan keterampilan ditukar jadi nilai-nilai abstrak. Semenjak kelahiran ditulis dengan angka-angka dan masuk mesin cetak-siap-kerja. Semenjak kepingan koin menjadi biografi kekayaan yang samar.

Semua kesemenjakan yang melengkung itu kemudian ikut mendefinisikan aktivitas, ekosistem, bahkan manusia itu sendiri. Menciptakan sekat-sekat rasial dan barbar terhadap identitas minor tertentu dalam klasifikasi kerja, meskipun buruh tetap menjadi objek yang tak lebih berharga dari nilai barang yang diciptanya—sebagai selubung atas dunia modern yang memaksa semuanya mesti bergerak secara terus-menerus.

Dalam dunia yang kadung melesat itu, manusia dituntut ambisius, kompetitif, dan siap menuruti segala perintah yang mengkerangkeng, terutama dalam pekerjaannya sendiri yang kemudian menentukan nilainya dalam masyarakat. Seolah-olah ialah yang membutuhkan pekerjaan itu dan bukan sebaliknya, hanya untuk memberi nilai pada dirinya sendiri. Dan buat siapa yang menolak berlari mengejar dunia macam itu akan tertinggal dan tercerabut.

Namun sayangnya, tetap tak ada ruang buat sinismu. Sebab, “Trauma dan sesakku: Mereka tak peduli!” (BURSA ARWAH). Dunia terus bergerak, sementara kiamat mengepung di belakangnya. 

Tetapi, banyak kepala telah bergeser ke arah dunia yang demikian di samping terjangan iklan yang masif dan ajakan untuk terus belanja dan moral kapitalistik yang julang dan langit seperti neraka bocor: dentum kiamat yang dibuat untuk menyerang mental secara personal maupun komunal dalam lengkung sejarah kerja dan ekploitasi.

Misalnya, hasil rekap 2022 menyatakan bahwa buruh atau pegawai masih bertengger di komposisi penduduk Indonesia yang bekerja.  Di samping itu, proporsi pekerja yang menerima gaji tidak layak pun meningkat. Tahun lalu, sebanyak 29,11% buruh menerima gaji yang rendah. Sedang di tahun 2021 proporsinya mencapai angka 27,67%. Jumlah buruh dengan upah rendah yaitu dari 13,59 juta orang pada 2021, menjadi 14,83 juta pada 2022. Artinya, terjadi penurunan proporsi buruh yang menerima upah layak dari tahun 2021 sampai 2022. 

Belum lagi masih marak terjadi ketimpangan upah atas nama gender yang mestinya tak dapat diperhitungkan sama sekali. Rata-rata upah buruh laki-laki sebesar Rp 3,1 juta per bulan sedangkan untuk buruh perempuan sebesar 2,86 juta per bulan. Dalam spektrum pendidikan juga kurang terjadi hal serupa: buruh laki-laki yang berpendidikan universitas mendapat upah sebesar Rp 5,21 juta per bulan. Sementara buruh perempuan berpendidikan universitas hanya mencapai Rp 4,39 juta per bulan. 

Pendek kata, berdasar tinjauan realitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa dentum kiamat yang dibuat untuk menyerang mental secara personal maupun komunal benar adanya dalam lengkung sejarah kerja dan eksploitasi. Hal tersebut membikin manusia makin murung dan rusak mentalnya. Mercer Marsh Benefits mengungkap 37% pekerja Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental sehari-harinya imbas ketidakpastian ekonomi yang mencekik.

Dan di tengah lengkungan sejarah kerja dan eksploitasi yang tak pernah putus itu, Rekah, menolak kiamat yang dibentuk secara struktural akibat kapitalisme. Melalui album ini, dengan perlawanan mental secara personal melalui lirik bergerak dan jerit distorsi—sebab personal is political, Rekah berhasil menyentuh lubang-lubang jiwa yang terlanjur keropos dan bernanah.

Berangkat dari jeritan itu, melalui 9 lagu dalam KIAMAT, setidaknya Rekah percaya: satu-satunya cara untuk keluar dari lengkungan sejarah (kerja dan eksploitasi) yang semakin melingkar itu, adalah keluar, membawa parang, dan berkata “tidak”, lengkap dengan segala kebebasan dari kecemasan yang menyertainya.

Dengan terus terang Rekah keluar dan turun ke jalan terkait penolakannya melalui lirik berikut:

 

Merapat! Merapat! Semua mata padaku!

Bagikan anggurnya! Senin kini milikmu!

Jagal majikan dan gantung bangsawan!

 

Jika dilihat lebih dalam, penggalan tersebut memiliki nafas yang sama dengan sebuah amukan manifesto. Kita bisa membayangkan amukan tersebut memecah di Paris dengan segala konsekuensinya. Dengan kehancuran total McDonald’s dan kaca-kaca pecah berserak. Tentu, kehancuran macam ini bukan hal baru dalam sejarah manusia mengingat kehancuran menjadi salah satu syarat untuk membentuk dunia baru, tatanan yang sama sekali baru.

Selain itu, persentuhan Tomo dengan teks-teks puisi Charil Anwar ikut membentuk atmosphere kebebasan-diri dalam lirik-liriknya. Di sana, saya melihat Chairil yang mungkin hidup kembali dalam lanskap gelap dunia yang dipenuhi kabel-kabel dan gedung-gedung tinggi.

Tentu, penulisan lirik yang terlampau puitik dan beberapa pembongkaran akan bahasa tersebut menjadi soal yang menarik. Dan terdapat di semua lagu! BURSA ARWAH, misalnya. 

 

“Mataku jalang neon. Dadaku lokomotif. Keningku pabrik tua. Nafasku perburuan.”

 

Dalam lirik tersebut, kita bisa melihat bagaimana Tomo meminjam spirit Charil untuk mendefinisikan manusia yang teralienasi oleh pekerjaannya. Mata jadi neon. Dada jadi lokomotif. Kening jadi pabrik tua. Tapi napas, adalah perburuan!

Manusia dalam titik ini, bagi Tomo, mungkin telah menjadi mesin yang siap menyala kapan pun. Dua kalimat pertama menggambarkan situasi yang stagnan, dalam artian sebagai sesuatu yang begitulah adanya, telah dikuasai. Kalimat ketiga menggambarkan pabrik tua yang sepi dan tak beroperasi. Sementara nafas tetap mendesis memburu apa yang ia kehendaki.

Pada akhirnya, melalui eksplorasi lirik (terkait bahasa yang dibongkar-pasang) dan nada, Rekah mengajak pembacanya untuk keluar dan kembali mempertanyakan arti kiamat yang sebelumnya hanya berada di atas langit. Inilah kiamat yang dimaksud Rekah: segala macam distorsi yang membuat manusia lumpuh didikte mesin dan dibuat oleh pasar, negara, bahkan kebudayaan tertentu.

Sebab betapa pilunya kiamat jika itu malah hanya memusnahkan semesta diri kita sendiri. Terlebih jika kiamat itu terjadi pada masing-masing individu yang berimbas pada kemusnahan semesta secara kolektif, atau bahkan kolosal. Dan yang selamat hanyalah biang kerok (para kapitalis) pembuat bencana dari semua penderitaan itu.