Jam Kerja Panjang Tak Akan Membuatmu Kaya

Layaknya pekerja kerah putih pada umumnya, jam kerja saya dalam seminggu fluktuatif, tergantung beban kerja, frekuensi keluar rumah, kehadiran pekerjaan sampingan, dan faktor-faktor lainnya. Namun pada umumnya, saya menghabiskan maksimal 50 jam/minggu untuk bekerja. 

 

Apakah bekerja 50 jam/minggu bikin saya kaya? Enggak juga sih. Saya pikir hal serupa juga terjadi ke Anda sekalian. Jam kerja panjang bukanlah kunci hidup enak. Jam kerja pendek justru menyediakan jawabannya. 

 

Enggak percaya? Lihat saja negara-negara kaya seperti negara-negara Nordik, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat.

 

Annual working hours vs. GDP per capita (ourworldindata.org) 

 

Justru negara-negara berpendapatan melarat sampai menengah paling banyak bekerja. Bangladesh, India, Tiongkok, Meksiko, dan Indonesia tercatat sebagai negara dengan jam kerja terbanyak. Negara-negara ini juga sarat dengan kepercayaan bahwa kerja keras–dalam hal ini, jam kerja panjang–bisa membuat orang-orang hidup berkecukupan. 

 

Tiongkok sempat dikritik habis-habisan karena mempromosikan kultur kerja 996 (kerja dari jam 9 pagi sampai 9 malam, 6 hari dalam seminggu). Tapi para CEO startup yang membuat ekonomi Tiongkok tumbuh malah membela sistem kerja yang tak manusiawi ini.

 

Jack Ma: “Kerja 996 adalah nasib yang patut disyukuri.”

 

Richard Liu, CEO JD.com: “JD.com tumbuh besar selama beberapa tahun terakhir. Jumlah orang yang direkrut ke JD.com semakin besar, tapi yang benar-benar bekerja malah sedikit sekali!” 

 

Indonesia juga kultur jam kerja panjang, meskipun tak sebrutal Tiongkok. Data BPS (2022) menunjukkan 38% bekerja 35-48 jam/minggu (setara 33,56 juta pekerja) dan 24,82% bekerja >48 jam/minggu (setara 21,94 juta pekerja). Rata-rata jam kerja di mayoritas sektor industri Indonesia sepanjang 39-47 jam kerja/minggu, dengan industri pertambangan, real estate, perdagangan dan reparasi kendaraan bermotor, transportasi dan pergudangan, dan pariwisata yang paling panjang kerjanya . 

 

 

 

 


 

Apakah jam kerja panjang setara dengan upah yang diterima? Tidak juga. Pekerja pariwisata yang notabene bekerja 47,5 jam/minggu hanya menerima Rp2.173.986 gaji dari Februari sampai Agustus 2022. Pekerja lainnya dari industri yang lebih mapan, seperti tambang rata-rata mendapatkan Rp5.296.339 per Februari sampai Agustus 2022. Ini cuma beda tipis dengan UMR Cikarang 2023 yang sebanyak Rp5.137.575.  

 

Bandingkan data dengan grafik pertama. Rata-rata jam kerja Jerman adalah 25,6 jam/minggu dengan nilai produk domestik bruto (PDB) sebanyak $47.961 (2019). Ini melahirkan pertanyaan: apa yang membuat negara-negara kaya ini bisa bekerja lebih sebentar? 

 

Jawabannya adalah produktivitas yang tinggi. Kenaikan produktivitas bisa terjadi dengan perkembangan teknologi dan pendidikan. Para petani dengan traktor punya hasil panen yang lebih banyak dengan waktu yang lebih sedikit dibanding para petani yang sehari-harinya membajak sawah dengan kerbau. Hal ini pula yang membuat negara-negara Eropa bisa mendongkrak GDP mereka sampai 10 kali lipat selama 7 dekade

 

Jam kerja yang lebih pendek juga membuat tingkat produktivitas pekerja meningkat. Hal ini tak hanya terjadi beberapa tahun terakhir, tapi justru sudah tercatat sejak Perang Dunia I dalam kasus pekerja pabrik amunisi. Pengumpulan data dilakukan oleh Health of Munition Worker Committee (HMWC) yang dibentuk oleh kerajaan Inggris untuk memastikan produksi amunisi terus berjalan. 

 

Hasil observasi HMWC cukup mengejutkan. Mereka menemukan produktivitas pekerja lebih tinggi kala jam kerja diatur agar lebih pendek. Komite tersebut akhirnya memutuskan untuk memangkas jam kerja menjadi 67 jam/minggu bagi laki-laki dewasa dan anak-anak serta 60 jam/minggu untuk perempuan. Para pekerja juga diberi libur di hari Minggu. Keberhasilan kebijakan ini yang nantinya meniti jalan ke jam kerja 40 jam/minggu di Inggris.  

 

Penelitian Liu, Chen, dan Gan (2019) juga menunjukkan jam kerja yang panjang memiliki efek negatif terhadap kesehatan dan performa kerja. Lebih dari itu, jam kerja panjang juga menghambat pertumbuhan ekonomi-sosial masyarakat. Menariknya, jam kerja panjang yang dialami laki-laki punya efek negatif ke pertumbuhan ekonomi. Justru menaikkan jam kerja perempuan–yang secara historis kerap mendapatkan jam kerja dan gaji yang lebih kecil karena harus melakukan kerja perawatan–bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

 

Namun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tak akan bisa mendulang keuntungan dari memangkas jam kerja tanpa persiapan yang matang. Pasalnya, tingkat pendidikan kita belum merata: hanya 8% penduduk Indonesia yang sarjana. Sebetulnya banyak orangtua yang ingin menguliahkan anaknya, sayangnya terkendala oleh biaya pendidikan tinggi yang semakin mencekik. 

 

Pengembangan dan persebaran teknologi juga belum cukup mumpuni untuk memangkas jam kerja secara keseluruhan. Infrastruktur sepenting internet saja belum merata sampai sekarang. Perkembangan infrastruktur yang masih terpusat di Jawa, ditambah dengan kasus korupsi besar-besaran di berbagai daerah terpinggir.

 

Kemungkinan orang-orang Indonesia lebih banyak bekerja karena gaji bulanan mereka tak bisa menopang kehidupan sehari-hari. Data BPS per Agustus 2022 menyatakan rata-rata gaji nasional sebesar Rp3.100.000/bulan. Pendapatan riil perorangan mungkin lebih kecil atau bahkan lebih besar, mengingat banyak daerah Indonesia memiliki UMR tiris (Yogyakarta dan Jawa Tengah). Belum lagi pekerja-pekerja informal yang kerap kali digaji dibawah UMR. Lalu, jauh di sebelah sana ada startup bros yang (klaimnya) overpaid. 

 

Terakhir, jam kerja rendah tapi dengan gaji yang tinggi hanya bisa dicapai dengan industrialisasi besar-besaran. Dalam kasus Asia, Jepang dan Korea Selatan bisa maju berkat kondisi historis, diikuti dengan impor dan implementasi diikuti dengan inovasi teknologi. Apa yang terjadi di Indonesia malah sebaliknya: kita terlambat mengembangkan industri manufaktur, lalu dihantam oleh deindustrialisasi prematur dan krisis ekonomi 1997-1998. 

 

Namun mungkin masih ada harapan untuk pekerja Indonesia, terutama pekerja kerah putihnya. Pandemi dua tahun terakhir membuat kita semua memikirkan fungsi pekerjaan dalam hidup kita. Banyak dari kita yang mulai mempertimbangkan metode kerja yang lebih efektif tapi juga sesuai dengan gaya hidup–entah itu WFO, hybrid, WFH, atau bahkan WFA. Tapi yang paling penting, pandemi membuat kita lebih sadar bahwa bekerja bukanlah satu-satunya tujuan dalam hidup. 

 

Lagian daripada kerja terus dan bikin bos makin kaya, mending tutup laptop terus nyantai gak sih?